webnovel

KENANGAN YANG TERSIMPAN

Kalau ada Bram, aku justru lebih senang. Kalau tidak ada Bram, rasanya sepi. Perempuan berambut gelombang itu semakin jatuh cinta pada Bram. Ia masih teringat dengan masa lalunya bersama Rakha. Rakha yang sudah lama meninggalkannya. Kini, Kei hanya ingin dicintai oleh Bram.

dhila_6432 · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
11 Chs

KAMU, CEMBURU?

Kelas berakhir pukul delapan malam. Hari ini terasa sepi bagiku, karena tidak mendapatkan jadwal yang sama dengan kedua sahabatku.

Karena hari ini cukup melelahkan, aku segera bergegas keluar dari gedung fakultas. Dan mencari taxi.

"Kei..." Panggil seseorang dari kejauhan yang tak lain adalah Samuel.

Aku tak menyangka, jika mendapatkan satu jadwal yang sama dengannya.

"Eh, Samuel. Iya ada apa?" Aku sedikit terkejut dengan keberadaannya di depan kampus.

"Sendirian? Jani sama Rahma mana?"

"Iya, mereka nggak ada kelas sore ini. Jadi ya, aku sendirian. Kalo kamu? Baru selesai kelas?" tanyaku balik padanya.

Ia mengangguk, "Iya, nunggu temen-temen juga."

"Temen siapa? Mana orangnya?" Aku berusaha mencari-cari sekeliling tempat.

"Oh itu. Bram sama Anang udah nunggu di mobil. Tuh, mobilnya." Sambil menunjuk mobil warna merah yang parkir di sebrang jalan kampus.

"Ah, iya.." Aku tak tahu harus mengatakan apalagi pada Samuel.

"Pulang naik apa?" Ia menanyakan hal tersebut karena merasa aku tidak membawa kendaraan, dan lebih tepatnya seperti sedang menunggu jemputan.

"Oh itu. Niatku akan pesan taxi. Kalo nggak ya, pesan ojek online. Kenapa memang?"

"Gimana kalo bareng sama kita aja? Lagian udah lumayan malem. Nggak enak juga, kalo perempuan naik taxi sendirian." Samuel menawarkan untuk memberiku tumpangan.

Aku sedikit merasa tidak enak. Kalau harus naik satu mobil dengan laki-laki. Apalagi ada Bram. Mengapa harus ada Bram?

"Nggak ngerepotin emang?" Kataku, karena merasa tidak enak , jika harus menumpang pada mobil Samuel.

"Ya nggak lah Kei. Lagian ada Bram juga kok. Tenang aja. Enjoy" kata Samuel sambil mengerjapkan mata, memberiku sinyal. Kalau di mobil sudah ada Bram.

Ini yang membuatku merasa canggung. Ada Bram. Apalagi kemarin ia baru saja main ke rumahku.

Dengan senang hati dan perasaan sedikit takut. Aku menerima tawaran Samuel. Aku mengikuti Samuel menuju mobil yang sudah berhenti di sebrang jalan kampus. Aku duduk di jok belakang. Tepatnya sebelah Bram. Kukira Bram yang akan mengambil alih kemudi. Ternyata Anang. Dan Samuel? Pastinya ia akan duduk di sebelah Anang. Karena ia tahu, ia paling senang kalau aku harus berdampingan dengan Bram.

Bram sedikit terkejut dengan kehadiranku. Aku benar-benar merasa canggung kali ini. Aku hampir kebingungan setengah mati, karena pria yang sedang duduk di sebelahku adalah pria dingin yang suka mendiamkanku.

"Kenapa kamu di sini?" Tanyanya dengan raut wajah terkejut, dengan kehadiranku di sebelahnya.

Aku yang sedikit terkejut, belum saja menjawab, sudah terpotong oleh Samuel.

"Gimana kalo kita nongkrong dulu sebentar? Kei mau kan?" Tawar Samuel, sambil menatap spion depan yang mengarah padaku.

"Ha? Nongkrong? Boleh deh." ucapku secara spontan. Aku tidak tahu, mengapa ini merasa canggung. Padahal aku belum meminta izin pada Ayah dan Bunda.

"Oke deh. Kei ikut kita bertiga ya?" Ucapnya mengatakan mengarah pada kedua temannya.

"Kenapa dia harus ikut?" Kini giliran Bram berbicara.

"Kei nggak ada yang jemput. Jadi aku nawarin dia buat nebeng ke mobil kita. Sekalian nongkrong bareng." jelas Samuel.

Selama di perjalanan, kami berempat hanya diam. Tak ada yang memulai obrolan. Sesampainya di kafe, kami berempat turun.

Di dalam kafe, banyak orang yang memandangku dengan tatapan heran. Mungkin karena aku perempuan sendiri, dan datang berkerumun dengan ketiga laki-laki. Bukankah itu sedikit aneh dan hal yang tidak biasa?

"Udah nggak usah dihirauin, nggak ada yang salah dari kamu. Kami juga nggak ngapa-ngapain kamu." Kata Anang, mengerti keadaan di sekitar kafe.

Kami mencari tempat duduk. Setelah mendapatkan tempat duduk yang jumlahnya cukup dengan jumlah kami. Samuel langsung memesan minuman dan beberapa snack camilan untuk kami makan.

Kami memesan beberapa minuman, seperti jus dan minuman bersoda. Tidak berakohol tentunya.

Sambil menunggu pesanan datang, kami menyempatkan waktu untuk berbincang. Samuel membuka pembicaraan.

"Oh iya Kei. Tadi sore waktu kamu berangkat. Aku lihat kamu diantar sama cowok. Pacar kamu?" Samuel menyeletus begitu saja.

"Oh itu, Ken. Dia kakakku." kataku mengangguk.

"Kakak, tapi kenapa mesra banget ya aku lihatnya? Aku perhatiin juga, kamu ketawa-ketawa seneng banget." Pembahasan kali ini mengarah padaku.

"Oh, bukan gitu maksudnya..Sam.." Belum selesai melanjutkan ucapanku. Pesanan sudah datang. Membuat pembicaraan kami, berhenti sebentar.

Aku sekilas memandang wajah Bram. Raut wajahya benar-benar datar. Tatapannya dingin. Seperti tak ada yang dipikirkan. Layaknya orang tak punya beban hidup. Ia hampir menyerupai manusia batu.

"Jadi, dia siapamu Kei?" Samuel membuatku benar-benar dalam masalah besar.

"Dia kakakku, Sam. Ken namanya. Tadi dia nganterin aku sampe depan warung. Karena nggak mau dilihat banyak orang." jelasku padanya. Ia mengangguk, memahami perkataanku.

"Aneh ya, harusnya kalo saudara sendiri nggak perlu malu nganterin adiknya kuliah. Terus juga, kamu tadi ketawa-ketawa, kayak seneng banget gitu. Cara pandangmu ke cowok yang tadi sama kamu, bener-bener kayak orang pacaran." Tegas Samuel memperjelas pembahasan ini. Bahkan aku tidak tahu maksud Samuel mengatakan hal tersebut untuk apa.

Bram berdeham, "Bahasnya yang lain aja bisa nggak?" Ucap Bram sedikit dengan nada marah.

"Lah kenapa jadi kamu yang marah gitu?" Anang sedikit bingung, dengan ucapan yang baru saja Bram katakan.

"Ngapain bahas tentang cowok yang jalan sama dia. Nggak penting." Ucapan Bram kali ini benar-benar seperti orang sedang cemburu.

Apa? Bram cemburu? Yang benar saja..

"Ya kan aku juga nanyanya ke, Kei, Bram. Bukan ke kamu." Ketus Samuel pada Bram.

"Ya tapi bahas yang lain aja, kan bisa."

"Kenapa? Cemburu kalo aku bahas tentang cowoknya Kei?" Samuel justru memperkeruh keadaan. Bram yang daritadi sudah menahan emosinya untuk tidak ikut campur, dan memilih untuk mendengarkan saja. Kini amarahnya semakin kalut.

"Cemburu? Buat apa saya cemburu?" Kelak Bram

"Ya kalo kamu nggak cemburu. Nggak seharusnya kamu seperti itu Bram."

Bram terdiam. Merasa bersalah. Benar kata Anang. Tidak seharusnya ia marah seperti itu.

Untuk apa Bram marah? Apa Bram cemburu padaku? Cemburu dengan laki-laki yang tadi sore mengantarku? Ah, yang benar saja.

Karena merasa perbincangan kami tidak pada tempatnya. Dan membuatku sedikit canggung untuk berbicara dengan ketiga orang ini. Aku memilih untuk ke kamar mandi sebentar. Sembari menenangkan pikiran dan menetralisir kegugupan yang kurasakan saat ini.

"Ehm, boleh aku ke kamar mandi sebentar?" Pintaku pada Samuel.

"Boleh, silahkan Kei." Samuel memberiku jalan untukku menuju kamar mandi.

Di kamar mandi, aku berusaha menenangkan pikiran dan detak jantung yang daritadi sudah berdegup tak karuan. Mengapa semuanya menjadi rumit.

Setelah beberapa menit di dalam kamar mandi merasa tenang. Aku berniat untuk kembali lagi ke meja yang berisi Samuel dan kedua sahabatnya. Aku hanya diam, menikmati minuman MatchaLatte , favoritku.

Karena merasa canggung dengan suasana diam. Aku memutuskan untuk menyambung pembicaraan yang sempat putus tadi.

"Samuel udah punya pacar?" Tanyaku menatap ke arahnya.

Ia menggeleng, "Belum. Tapi sesegera mungkin untuk punya." kekehnya padaku. Aku ikut tertawa kecil. Aku mencoba menggodanya dengan candaan.

"Lagi suka sama siapa?" Tanyaku sekali lagi pada Samuel. Samuel terdiam, matanya menoleh ke kanan dan kiri. Terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Kalo bicara tentang suka sama siapa, sekarang lagi suka sama salah satu sahabatmu." ucap Samuel secara spontan dan jujur. Benar tebakan yang kumiliki, pasti Samuel sedang menyukai salah satu dari kedua sahabatku.

"Kira-kira siapa?"

"Kasih tahu nggak ya?" Aku berusaha memaksa Samuel, agar ia mau memberitahuku.

"Pelit nih.. Kasih tahu dong," Paksaku padanya

"Jani. Perempuan yang sedang kusukai itu Jani, Kei. Tapi aku belum berani buat ngungkapin ke dia." Samuel benar-benar, pria yang idaman semua wanita. Ia selalu peka, dan perasaannya begitu tulus.

"Kamu suka sama Jani? Demi apa Sam?"  Aku berpura-pura terkejut. Padahal aku sudah tahu, kalau Samuel sudah menyukai Jani sejak pertemuan awal mereka.

"Iya. Hanya aja, karena aku nggak mau Jani semakin jauh sama aku, kalau aku ngungkapin perasaanku sekarang." Benar, terkadang ketika kita sudah berteman sangat lama. Dan perasaan itu muncul secara tiba-tiba.

Tak bisa dipungkiri, kalau Samuel bisa menyukai Jani dengan sangat cepat.

Pada hakikatnya, persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Selalu ada saja risikonya.

Pasti salah satu dari kedua orang tersebut, memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman.

Sudah kubuktikan dengan persahabatanku dan Rakha. Kami berteman selama tiga tahun. Dan tiga tahun itu, dengan susah payahnya aku untuk membuatnya jatuh cinta denganku. Perasaan itu dengan tak terduga muncul begitu saja. Membuatku ingin menjadikan Rakha lebih dari sekedar teman atau pun sahabat. Tapi harapan itu justru membuatku kecewa. Kupikir Rakha memiliki perasaan yang sama denganku. Namun, ternyata tidak. Jauh berbeda dari ekspetasi yang kubayangkan.

"Kenapa kamu nggak coba ngobrol berdua sama dia, Sam? Siapa tahu, Jani juga punya perasaan yang sama denganmu." Aku mencoba memberikan Samuel semangat. Supaya, harapan yang ia miliki pada Jani, tidak membuatnya kecewa.

"Secepatnya aku coba deh. Biar nggak kelamaan. Takut Jani diambil orang." Kami semua tertawa renyah. Mendengar candaan perasaan Samuel yang benar-benar menginginkan Jani. Terkecuali, laki-laki yang ada di sebelahku saat ini.

"Kalo kamu, udah punya pacar?" Tanyaku secara spontan pada Bram.

Bram yang tadinya melamun karena tidak ingin mendengarkan obrolan kami. Kini, dengan pertanyaanku yang barusan kulontarkan. Membuatnya menoleh ke arahku.

"Siapa?"

"Ya, kamu."

"Saya? Enggak ada pacar." Jawabnya singkat.

"Enggak ada pacar, atau memang belum punya?" Aku sedikit menggodanya dengan pertanyaan tersebut. Supaya, ia tidak terlalu dingin padaku.

"Kenapa?" Ia justru memberiku pertanyaan balik.

"Kenapa apanya?"  Aku semakin tidak tahu dengan apa yang ia ucapkan barusan.

"Kenapa saya harus jawab  pertanyaan kamu?" Aku menahan emosiku padanya. Karena aku tahu, menanggapi Bram dengan cara kekerasan atau pun umpatan. Tidak membuatnya menyesal.

"Aku cuma nanya, Bram." jawabku sedikit menyerah.

"Saya sedang nggak ada pendamping." Kali ini ia menjawab dengan tegas.

Bram cemburu? Raut wajahnya mengatakan, kalau ia benar-benar marah ketika ia mendengar Samuel mengatakan tentang laki-laki yang bersamaku sore tadi. Ah, mana mungkin.

Karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dua jam sudah, aku menghabiskan perbincangan dengan ketiga laki-laki ini. Menyenangkan, hanya saja yang membuatku merasa kurang adalah, ketidakhadiran kedua sahabatku, ditambah lagi Bram yang tak ada henti-hentinya mendiamkanku.

"Nanti kasih tahu Anang jalan arah ke rumahmu ya, Kei." Samuel yang sedang mengenakan seat belt.

"Iya, nanti aku kasih tahu kok."

"Nggak usah. Saya tahu jalannya." Ucapannya kali ini terdengar lebih ketus. Aku tidak tahu, mengapa Bram terdengar lebih sensitif hari ini.

Anang dan Samuel hanya saling menatap, ketika mendengar ucapan Bram yang seakan-akan, hanya ia yang tahu jalan menuju rumahku.

"Iya deh, yang tahu jalan rumah calon pacarnya" goda Anang pada Bram.

Bram hanya diam, tak mengubris kedua sahabatnya yang sedang berusaha membuatnya tertawa.

Sampai di depan halaman rumahku. Aku turun, berpamitan dengan mereka bertiga. Namun, Bram justru ikut turun bersamaku.

"Saya antar. Sekalian minta maaf, karena udah bawa kamu pulang malam." Ucapnya, lalu mengikutiku dari belakang.

Bukankah itu berlebihan, jika Bram melakukan hal tersebut?

Aku masuk ke dalam rumah, mengetuk pintu. Dan ternyata Bi Anna yang membukakan pintu gerbang untukku. Bram kuajak masuk, dan ia mengiyakan ajakanku. Di ruang tamu, sudah ada Ayah dan Ken yang duduk di kursi sofa, sambil menonton acara siaran televisi.

"Ayah.." Panggilku perlahan. Ayah yang tahu kedatanganku, langsung mematikan televisi, dan mempersilahkanku dan Bram untuk duduk.

Kami berdua pun duduk, di hadapan Ayah dan Ken.

"Baru pulang?" Tanyanya dengan raut wajah yang biasa. Tak marah, juga tak dalam keadaan baik-baik saja.

"Iya, tadi Kei nongkrong dulu sama temen-temen."

Potong, Bram, "Saya yang minta Kei buat nemenin saya di kafe om. Setelah, Kei keluar dari kampus. Bram langsung ajak Kei, untuk keluar sebentar di kafe dekat sini." Kata Bram. Kali ini Bram berbicara panjang. Tak biasanya ia seperti ini.

"Oh sama kamu?" Bram mengangguk, menanggapi pertanyaan Ayah.

"Maaf Om, kalau semisal Bram nggak minta izin dulu. Maafin, Bram."

Apa? Bram bisa meminta maaf?

Ayah tersenyum. "Nggak apa-apa Bram. Makasih ya, kamu sudah jagain, Kei." Kali ini aku merasa lega. Ayah tak marah pada Bram atau pun diriku.

"Oh, jadi taxi sama ojek onlinenya, namanya Bram?" Ucap Ken mengompori keadaan.

Ayah tertawa, Bram tersenyum simpul. Aku hanya menatap Ken dengan tatapan tajam.

"Siapa suruh Kakak minta Kei buat naik taxi." Ucapku ketus padanya.

Setelah obrolan singkat dari kami berempat. Bram memutuskan untuk pamit. Ia mencium tangan Ayah dan berpamitan pada Ken.

"Sukses bro, semoga bisa dapetin, Kei." Sorak Ken menyamangati Bram. Seolah Bram sedang melakukan pendekatan denganku. Padahal tidak begitu adanya.

Bram hanya tersenyum, kali ini senyumannya berbeda. Sedikit terlihat tulus sekali. Jarang sekali aku melihat Bram tersenyum seperti itu.

Kuantar Bram ke depan halaman rumah. Ia masuk ke dalam mobil. Ketika ia sudah berada di dalam mobil, ia membuka jendela kaca separuh, hampir terlihat setengah kepalanya.

"Masuk, udaranya dingin. Jangan begadang. Saya pamit." Ia langsung menutup kaca jendela mobil. Keadaanku? Jangan tanya lagi. Pipiku sudah seperti kepiting rebus. Merah dan panas sekali. Bram benar peduli padaku. Tapi, jika ia peduli denganku. Mengapa tiap kali kuajak bicara, ia selalu diam dan bahkan hampir tak ingin bicara denganku.

Mobil yang dikendarai oleh Anang melaju, meninggalkan halaman rumahku. Setelah itu, aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Bukan main rasanya, ketika orang dingin sudah mengeluarkan kepeduliannya.

Malam itu, aku benar-benar senang. Hampir tak bisa tidur, karena memikirkan kejadian yang baru saja Bram lakukan padaku. Saking senangnya, aku langsung mengirim pesan pada Jani, untuk meminta kontak line Bram.

JANI

Jan, udah tidur?

Aku mau minta tolong nih

Mintain kontak linenya Bram dong.

Pliss..

Setelah kukirim pesan pada Jani, kuputuskan untuk tidur. Walaupun sebenarnya susah, hanya saja besok aku ada jadwal kelas pagi. Karena takut kesiangan. Mau tak mau, aku harus tidur lebih awal.