****
"Balas Budi?" Bingung Arif.
Nana masih terus membaca setiap arti tulisan ukiran itu di internet, sedangkan Arif masih terus melamun memikirkan maksudnya.
"Kayanya ini ukiran buatan tangan sendiri deh Rif, gue nggak nemu apa-apa soal ukirannya" ucap Nana.
"Mungkin ini pemberian dari teman-teman bapak"
Nana lalu mematikan laptopnya dan menutupnya. Ia lalu menatap Arif, banyak sekali hal yang tidak dapat ia mengerti tentang keluarga Arif.
"Rif..." panggil Nana.
"Apa?"
"Udah sore, kita lanjutin besok aja ya, lo harus istirahat"
"Tapi Na..." lirih Arif lemas.
"Gue tau ini penting, tapi ada yang lebih penting lagi selain ini, kak Gema Rif"
"Iya gue paham Na"
"Gue akan bantu lo terus, tapi lo nggak bisa terus terjebak dalam hal ini selamanya, lo punya kehidupan normal Rif yang perlu lo jalani" ujar Nana bijak.
Ucapan Nana memukul keras kepala Arif, semuanya yang dikatakan barusan benar. Mungkin saat ini Arif banyak sekali pertanyaan yang ingin segera ia selesaikan, tapi ia sadar tidak semudah itu.
"Oke, kita lanjutin besok" sahut Arif.
"Lusa deh Rif. Hehe" sangkal Nana.
"Kenapa?"
"Besok kita beda shif" ungkap Nana.
"Bukannya kita satu shif terus?" Bingung Arif
"Bang Roni udah minta gue tukeran shif dari minggu lalu, katanya dia mau ke nikahan adiknya"
"Terus lo besok masuk apa?" Tanya Arif.
"Besok gue shif dua, closingan gue"
Arif menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia menjadi bingung.
"Gue masuk pagi, terus lo sama siapa aja besok?" Tanya Arif lagi.
"Bertiga doang gue, bareng Bara sama Yudis, mana mereka suka lama closingannya"
Lagi-lagi Arif menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Duh, gue sendirian kalo gitu nyari infonya"
"Nggak usah Rif, lusa juga kita satu shif lagi, tar baru deh gue bisa temenin lo"
"Masa? Lo tukeran sehari doang?"
"Iyalah, males gue kalo harus bareng mereka"
"Bagus deh kalo gitu, kita bisa lanjutin nyari infonya"
"Lo besok pulang kerja mau langsung ke kak Gema Rif?" Tanya Nana.
"Iya, gue harus jagain dia terus"
"Yaudah, gue pulang kerja nemenin lo di rumah sakit ya"
"Nggak apa-apa emang Na?"
"Yaelah santai aja kali Rif, lo kaya baru kenal gue sehari dua hari aja"
"Oke kalo gitu"
Arif menatap jam dinding yang ada di dapur Nana, ternyata sudah mau magrib dan dia belum siap-siap untuk menginap di rumah sakit hari ini.
"Udah sore nih, gue balik dulu ya Na, mau ngambil baju buat nginep di rumah sakit" ungkap Arif.
"Oh oke Rif, kalo ada apa-apa hubungin gue aja ya"
"Iya santai aja"
Arif berjalan keluar dari dapur menuju sofa untuk mengambil tas miliknya.
"Yaudah, gue pulang dulu ya Na" pamit Arif.
"Iya, yuk gue temenin keluar"
Nana mengantar Arif ke depan rumahnya sampai ia menaiki motornya.
Arif menyalakan motornya, ia lalu berpamitan kembali ke Nana. Nana hanya melambaikan tangannya ke Arif.
"Hati-hati Rif" ucap Nana yang melihat Arif sudah menjauh.
****
Nana masuk kembali ke dalam rumahnya, ia teringat sesuatu.
"Ya ampun, gue lupa ngasih album foto punya keluarganya si Arif"
Nana lalu berjalan mengambil tasnya dan mengecek isi tas tersebut. Dan ternyata benar, album foto itu masih ada di tasnya.
"Pelupa banget sih gue"
"Gue chat aja deh si Arif, biar besok gue balikinnya"
TO : Arif
Rif, album foto keluarga lo ada di gue nih, tadi ketinggalan lupa nggak gue kasih ke lo. Besok pulang kerja gue balikin ya.
Setelah mengirimi pesan ke Arif, Nana membuka kembali laptop miliknya dan membaca kembali arti ukiran tersebut.
Nana mencoba mencari informasi lebih lanjut tentang ukiran atau buku yang Arif punya. Mungkin saja Nana bisa mendapatkan sedikit info.
"Arif...Arif...ada masalah apa sih sama keluarga lo?"
Pencarian Nana sia-sia, ia tidak menemukan apapun tentang sejarah ukiran dan buku tersebut. Seperti tidak pernah ada di dunia ini sama sekali.
Nana kemudian mengambil album foto keluarga Arif dan melihat lihatnya kembali. Banyak sekali foto kenangan Arif dan keluarganya di sana semasa kecil.
Nana memperhatikan setiap foto Arif yang ada di sana, Arif terlihat bahagia sekali bersama bapak nya.
"Keluarga ini terlihat normal, apa yang salah?"
Halaman demi halaman Nana buka, di halaman pertama album foto itu terdapat foto Arif dengan Gema, mereka sedang bermain.
Di tengah halaman album foto itu mulai menunjukan kegiatan Arif dengan keluarganya yang sering piknik di sebuah rumah.
Beberapa halaman terakhir album foto tersebut mulai menunjukan kegiatan bapak Arif dan teman-temannya.
"Mereka aneh" gumam Nana.
Pranggg!
"Astaga..!!" Nana terkejut.
Nana menengok dengan cepat, entah bagaimana piring yang ada di wastafel itu bisa terjatuh dengan sendirinya.
"Cih...ngerjain gue aja"
Serpihan beling piring tersebut segera Nana bersihkan, jika tidak mungkin ia akan terluka dengan tidak sengaja saat melewatinya.
Nana berjongkok dan mengumpul serpihan demi serpihan di tangannya.
Perasaan sekitar mulai aneh dirasakan oleh Nana, ketika dia berjongkok seperti ada seseorang yang berdiri di belakangnya.
Bayangan hitam besar tergambar jelas di lantai yang tersorot oleh lampu dapur. Nana dengan cepat memejamkan matanya dan berusaha menenangkan dirinya.
"Please jangan sekarang! Please jangan sekarang!"
Lalu, Nana membalikan badannya dan mengecek siapa orang yang sedang berdiri di belakangnya.
Wushhh! Sebuah kain hitam yang membentuk seseorang terjatuh di lantai, Nana kebingungan kain apa itu dan datang dari mana?.
"Aghh, kain apaan nih?" Nana menendangkan pelan kain tersebut karena kesal.
Napasnya masih sulit ia atur, detak jantungnya pun masih berdebar cukup kencang karena rasa ketakutannya.
Nana tak menghiraukannya lagi, ia lalu segera membuang serpihan piring yang pecah barusan dan membereskan barang barangnya.
Tapi saat Nana ingin membereskan laptop dan album foto keluarga Arif, ada sebuah foto yang membuatnya tertarik.
"Datang dari mana ini foto?" Ungkap Nana bingung.
"Tunggu, ini siapa? Banyak banget, hampir di setiap foto, kenapa gue bisa ga sadar?"
Krekk krekk! Terdengar sesuatu yang janggal di depan rumah Nana.
Nana terkejut, ia segera menutup album foto itu dan berjalan menuju sumber suara untuk memastikan siapa di sana.
Kaki Nana mendadak lemas, ia juga sulit untuk menelan ludahnya karena terasa kering.
Ada sebuah sodet di dekat Nana, ia segera mengambilnya dan berjalan mengendap ke depan. Dia berjaga jaga jika ada hal mengerikan seperti tadi akan ia temui.
Lalu, Drrttdrttt!
"ARGHHHHH!"
Ponsel Nana berdering sangat kencang membuatnya ter peloncat kaget dan berteriak. Dengan cepat Nana mengangkat panggilan tersebut.
"Halo? Siapa nih?" Ucap Nana yang sedikit lemas.
"Halo Na, kenapa deh lo?" Itu suara Arif.
"Arif astaga, lo bikin kaget gue"
"Kan gue cuma nelpon, kenapa lo sampe kaget?"
"Rif...ada seseorang di rumah gue" bisik Nana pelan.
"Hah? Siapa Na?"
"Gue nggak tau Rif, tapi gue takut" napas Nama mulai berat, ia pun sedikit bergetar saat bicara.
"Na, lo tenang aja, nggak akan ada apa-apa"
"Tapi Rif, gue baru aja deng..."
Tap! Sebuah tangan menepuk pundak Nana.
"ARGHHHHHH!!!" Nana berteriak kencang.
"Nana! Kamu kenapa?" Tanya seorang perempuan, itu ibu Nana yang baru saja pulang.
"Ibu?" Bingung Nana.
"Ibu panggil panggil dari tadi nggak denger?"
"Nana kira siapa bu, bikin takut aja"
"Jangan bengong aja makanya, anak perawan kerjaaannya ngelamun"
"Ih apaan sih bu, aku tuh lagi di dapur mana denger"
"Halo Na! Na! Lo kenapa? Baik-baik aja kan? Nana!" Arif terus menerus memanggil Nana.
Nana sendiri lupa jika dia sedang bicara di telpon dengan Arif.
"Halo iya Rif, maaf tadi ada ibu gue" lanjut Nana.
"Ya Allah, gue kira ada apa sampe lo teriak kenceng kaya gitu"
"Iya Rif sorry ya, nanti gue telpon lagi"
"Iya, album foto besok jangan lupa bawa ya"
"Oke Rif, bye"
"Bye"
Panggilan dari Arif lalu Nana sudahi, ia terus bicara kembali dengan ibunya.
"Ibu udah pulang dari rumah bibi?" tanya Nana.
"Iya, udah kelamaan juga di sana, bosan ibu juga"
"Ayah mana?" Tanya Nana lagi sembari melirik lirik ke arah pintu masuk.
"Lagi beli makan dulu ke depan buat kita makan malam"
"Oh gitu"
"Kamu kenapa sih teriak teriak, bikin berisik aja" kini giliran Ibu Nana yang bertanya.
"Ada piring pecah bu" jujur Nana.
"Kamu jatoh in?"
"Jatoh sendiri bu"
"Ah kamu ngawur aja kerjaannya" ucap ibu Nana yang tak percaya lalu berjalan menuju kamarnya di lantai dua.
"Ih ibu Nana serius, tadi piringnya jatoh sendiri" Nana menyusul ibunya.
"Kalo nggak ada yang jatuh in mana bisa pecah sendiri? Sama setan gitu?" Ungkap ibu Nana yang membuat Nana langsung bungkam.
Nana tak lagi meladeni ibunya dan hanya berdiri di ujung tangga.
"Kenapa kamu diem?" Tanya ibu Nana lagi.
"Nggak apa-apa bu"
"Yaudah, ibu mau mandi dulu, gerah. Kamu juga mandi sono, bau banget, ibu bisa cium dari sini juga"
"Apa sih bu, Nana wangi kok"
"Ibu malah kaya nyium bau mayat"
Degh! Jantung Nana seolah berhenti saat ibunya bicara seperti itu. Membuat tubuh Nana merinding seketika.
Ibu Nana langsung pergi begitu saja membawa tasnya ke dalam kamar. Sedangkan Nana hanya berdiri diam memikirkan kejadian tadi.
Nana sadar, ia tidak bisa terbawa suasana seperti ini. Semua yang Nana rasakan sekarang pasti hanya sekedar rasa penasaran Nana dengan keluarga Arif sehingga terus terbayang bayang.
****
Setelah membereskan barang barang yang berantakan di dapur dan menaruhnya di kamar kembali. Nana tak lagi masuk ke kamar dan hanya menonton TV di ruang tengah.
"Kamu udah makan Na?" Tanya Ayah Nana yang baru saja datang membawa bungkusan makanan dari luar.
"Udah yah, tadi sama Arif di sini"
"Ada Arif juga ke sini?" Tanya Ayah Nana lagi lalu duduk di samping Nana.
"Iya, kak Gema kakaknya Arif masuk rumah sakit yah, jadi dia butuh temen"
"Sakit apa kakaknya?"
"Nana juga nggak tau yah, udah beberapa hari ini dia koma"
"Ya ampun, parah banget ya"
"Iya yah, Nana juga kasian sama Arif"
"Nanti ajak Arif makan malam di sini bareng aja"
"Oke, nanti Nana ajakin"
"Nanti ibu sama ayah juga kalau ada waktu mungkin akan jenguk kakaknya Arif"
"Iya yah"
"Yaudah, nih kamu makan aja, mungkin sekarang udah laper lagi, muka kamu pucet gitu"
Ayah Nana memberikan sebungkus makanan dan menunjuk wajah pucat Nana. Tanpa di sadari ternyata wajah Nana sudah pucat sejak kejadian tadi.
"Masa sih yah?" Nana mengambil ponselnya dan membuka kamera untuk memastikan.
"Iya, kaya belum makan"
"Ah nggak yah, Nana baik-baik aja"
"Yaudah, ayah ngasih ini ke ibu kamu dulu kalo gitu"
"Oke yah"
Ayah Nana lalu pergi menemui ibu di lantai atas, meninggalkan Nana sendiri dengan pikirannya.
"Hari ini makin aneh aja"
****
Arif baru saja melaksanakan shalat magrib, setelah pulang dari rumah Nana ia mampir sebentar ke masjid agar bisa melaksanakan shalat magrib berjamaah.
Saat Arif sedang menyalakan motornya, ia merasakan seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jauh.
"Kayanya bukan lo doang Na yang ngerasain ada orang di deket lo" gumam Arif.
Tanpa ingin berlama-lama lagi, Arif segera menyalakan motornya dan pergi secepat mungkin dari sana menuju rumah.
****
Arif akhirnya sampai di rumah susunnya, ia segera mengambil beberapa baju untuk menginap di rumah sakit menemai kakaknya.
Tis! Tis! Suara tetesan air terdengar jelas malam ini, suasanya menjadi lebih hening dari biasanya.
"Dasar rumah tua, kayanya gue harus ganti nih keran air" ucap Arif melihat keran wastafelnya bocor.
Arif tak butuh waktu lama untuk berkemas, ia hanya membawa beberapa baju ganti dan baju kerjanya untuk besok pagi.
Arif bersantai lebih dulu di sofanya sebelum berangkat sembari melamun tentang surat dari bapaknya.
"Pak...Arif nggak tau harus apa sekarang" gumam Arif pelan.
Sudah beberapa hari ini Arif sering merasakan kehadiran makhluk halus di sekitarnya, dan terkadang ia sulit membedakan kehadiran orang hidup atau orang mati.
Seperti yang sekarang ia rasakan, Arif sudah merasakan sesuatu mengawasinya dari setelah ia shalat.
"Apalagi sekarang" lemah Arif sembari menutup matanya.
Matanya perlahan ia buka lalu menengok ke sebuah gorden di dekat di pintu masuk.
"Astagfirullah!"
Arif dibuat terkejut dengan sebuah bayangan yang ada di balik gordennya. Seperti seseorang sedang berdiri di sana dan memperhatikan Arif.
Lagi dan lagi suasanya menjadi lebih dingin dan membuat Arif merinding, sekujur tubuhnya seperti mati rasa.
Arif memberanikan dirinya untuk berjalan mendekati apapun itu di sana, ia perlahan membuka pintunya dan mengintip siapa orang di balik bayangan itu.
Saat Arif mengintip, ia di buat kaget kembali.
"Om Dafa!" Heran Arif.
"Eh Arif, udah pulang?" Tanya Om Dafa basa-basi.
"Ngapain om di sini malem malem?"
"Nggak apa-apa cuma mau ngecek kamu baik baik aja atau nggak"
"Makasih om, tapi Arif baik-baik aja"
Om Dafa tak lagi bicara, cukup aneh melihat seorang Om Dafa diam lama seperti ini. Sangat bertolak belakang dengan kepribadian dia biasanya.
"Ada apa Om?" Tanya Arif memastikan.
"Sekarang kamu udah tau soal kemampuan kamu dan keluarga?
****