webnovel

KEJAWEN : Sebuah Aliran Kepercayaan

"Tidak ada yang benar-benar sendiri selama ini, cukup buka mata dan perhatikan dengan jelas" Arif, seseorang yang tak tau terlahir dari keluarga spesial. Suatu ketika dia harus menanggung semua masalah yang diperbuat keluarganya. Teror terus menerus membuat Arif hampir menyerah dan menyudahi semuanya. Sampai akhirnya dia tau cara mengendalikannya.

HemaYnara · Horreur
Pas assez d’évaluations
17 Chs

8. Surat

****

     Nana berdiri kaku melihat kedatangan Arif yang tiba-tiba. Ia masih tak mengerti dengan siapa barusan ia bicara.

     "Na, lo kenapa?" Tanya Arif memastikan.

     "Rif, ta...tadi kan lo di...sini sama gue" jawab Nana terbata-bata.

     "Gue baru aja ngecek ke depan, lo kan liat sendiri pas gue pergi"

     "Ma..masa sih?" Ucap Nana bingung.

     "Ada apa sih Na?"

     Nana menengok kembali ke arah jejak yang di tunjukan tadi, ternyata jejak itu tidak hilang, masih ada di sana.

     Lalu Nana menunjuk ke arah jejak itu agar Arif dapat melihatnya. "Liat Rif"

     Arif melirik ke arah jari Nana menunjuk, dia pun bingung dengan keberadaan jejak tersebut.

     "Jejak siapa nih?" Ucap Arif lalu melangkah mendekati jejak tersebut.

     "Tadi lo bilang ini jejak seseorang"

     "Kata gue?" Bingung Arif.

     "Ya..gitu lah, gu...gue masih bingung"

     Arif mendekati Nana, dia tau kalau saat ini sahabatnya itu sedang ketakutan sekaligus bingung.

     "Hei Na, liat gue" ucap Arif memegang pundak Nana agar menenangkan.

     Nana menatap Arif, tatapannya masih seperti orang yang ling lung.

     "Lupain yang barusan terjadi, dan inget, tujuan kita ke sini buat bikin semua hal itu hilang, oke?"

     "Oke"

     "Mungkin itu jejak kaki kak Gema, wajar aja ada jejak kaya gitu karna rumah ini aja kotor jarang di bersihin, iya nggak?" Ungkap Arif agar Nana merasa lebih tenang.

     "Iya, lo bener Rif" sahut Nana, dia sekarang sudah tak ketakutan seperti tadi.

     "Lebih baik kita lanjutin, kita belum dapet info apa-apa di sini"

     "Nggak Rif" ucap Nana, dia kali ini semangat.

     "Nggak gimana maksud lo?"

     "Gue rasa gue paham sesuatu"

     "Sesuatu? Apa sih nggak ngerti gue"

     "Ayo, ikut gue ke rubanah sekarang" ajak Nana.

     Arif hanya mengikuti saja kemauan Nana, dia itu sangat teliti. Jadi wajar saja Arif mau menurutinya.

****

     Arif dan Nana kembali lagi ke dalam rubanah, kini Nana membuka album foto itu lagi dan menunjukan foto foto tersebut.

     "Oke mana bukunya?" Pinta Nana.

     Arif mengeluarkan buku tersebut dan memberikannya ke Nana.

     "Nih Na, ada apa sih?"

     Nana tak menjawabnya, dia terus fokus terhadap buku itu dan foto yang di pegangnya.

     "Lo inget kan, pas gue bilang ini buku yang pertama?" Tanya Nana.

     "Iya, kenapa?"

     "Kayanya gue salah Rif"

     "Maksudnya? Salah gimana?"

     "Coba deh lo perhatiin lebih jelas, corak buku yang di pegang temennya bapak lo dan punya kita itu beda" jelas Nana.

     Arif segera melihat foto tersebut dan bukunya, mencoba memperhatikan lebih detail lagi sesuai perintah Nana.

     "Oh iya, ada sedikit perbedaan" ungkap Arif yang menyadari hal tersebut.

     "Itu artinya buku ini emang punya keluarga lo Rif"

     "Tapi kenapa ya orang itu punya juga?"

     Nana lalu membuka buka kembali album foto tersebut, dia memperhatikan setiap orang yang ada di sana.

     "Na lo nyariin apa?" Tanya Arif bingung.

     "Ketemu!" Seru Nana.

     "Apaan sih?"

     "Lo liat ini lagi Rif" tunjuk Nana ke salah satu foto tersebut.

     "Buku yang sama?" Heran Arif.

     "Lo salah, buku ini beda lagi, kayanya ini buku khusus yang di kasih buat setiap orang yang berbeda"

     "Kenapa ya?"

     "Gue juga nggak ngerti"

     Nana lalu melirik tajam ke Arif, dia masih ingin mengetahui hal lain.

     "Rif lo beneran nggak inget siapa mereka?" Tanya Nana serius.

     "Kalo gue inget pasti udah gue jelasin Na"

     "Sedikit pun?"

     "Cuma sedikit yang bisa gue inget, dan tadi udah gue ceritain semua"

     "Kak Gema tau nggak ya soal ini?"

     Mendengar ucapan Nana barusan tentang Gema, membuat Arif teringat kembali sesuatu yang ia lihat di kamar Gema.

     "Oh iya, gue tadi nemu sesuatu di kamar kak Gema sebelum lo akhirnya teriak manggil gue" ungkap Arif.

"Manggil lo?" Kini Nana yang di buat bingung.

"Ya...gitu lah"

     "Nemuin apa lo?"

     "Semacam surat, tapi gue belom baca isinya apa"

     "Itu pasti surat dari Kak Gema, ayo Rif kita harus liat isinya"

     "Ayo, kita ke kamar Kak Gema sekarang" ajak Arif.

     "Album fotonya sekalian kita bawa aja yuk Rif" pinta Nana, album foto itu masih saja ia dekap di tangannya.

     "Iya, kita bawa aja, nanti kalo Kak Gema udah sadar bisa kita kasih tunjuk"

     "Oke kalo gitu"

     Nana segera memasukan album foto itu ke dalam tasnya lalu segera pergi mengikuti Atif ke kamar Gema.

     Tapi saat Nana akan menaiki tangga keluar dari rubahan, langkahnya terhenti saat dia menatap sebuah ukiran yang di gantung di bawah tangga tersebut.

     "Arif sebentar" tahan Nana dan membuat Arif terhenti.

     "Ada apa Na?"

     Arif menengok dan melihat Nana pergi ke bawah tangga tersebut, ia pun segera turun kembali dan mengikuti Nana.

     "Na lo ngapain?" Tanya Arif

     "Rif sini, lo perhatiin deh" unjuk Nana ke sebuah ukiran tersebut.

     "Agak gelap, sebentar gue nyalain flash dulu di hp gue"

     Arif lalu mengambil ponselnya dan menyalakan senter di sana agar lebih jelas pandangannya.

     "Ukiran?" Bingung Arif.

     "Iya, dan coba deh lo perhatiin, bentuk dan tulisan yang ada di sini tuh sama persis yang yang ada di buku lo"

     "Masa sih?"

Arif lalu melihat kembali corak yang ada di buku dan di ukiran kayu tersebut, terlihat sama persis. Seperti sebuah pasangan dari bukunya.

"Lo bener Na, ini mirip"

     "Pasti ini ada artinya Rif"

     "Oke, coba lo minggir dulu sebentar"

     Arif lalu membuka kamera ponselnya dan bersiap mengambil foto ukiran tersebut.

Cekrekk

     "Mau lo apain?" Tanya Nana bingung.

     "Lo bilang kan ini pasti ada artinya, setelah pulang dari sini kita coba cari deh di internet arti tulisan ini"

     "Tumben lo pinter"

     "Lebih dari 3 kali gue di hantui bikin otak gue jalan"

     "Nyeremin sumpah Rif, gue sih nggak mau ya" decak Nana, dia menatap Arif merinding.

     "Udah ayo kita ke kamar Kak Gema" ajak Arif lagi.

     "Oh iya, ayo deh, gue juga mau cepet cepet pergi dari sini"

     Tanpa banyak bicara lagi, Arif dan Nana pun bergegas menuju kamar Gema untuk mengecek surat yang di temukan Arif.

****

     Arif dan Nana sampai di depan kamar Gema, mereka berdiri diam tak melanjutkan langkahnya lagi.

     "Ada apa Rif, kok kita nggak masuk?" Tanya Nana.

     Arif berdiri mematung "nggak ada angin kan ya Na?"

     Nana melirik sekitar dan memastikan.

     "Iya nggak ada, kenapa sih?"

     "Terakhir kali gue ke sini, pintunya ke buka, sekarang ke tutup rapet banget, dan kita nggak denger sama sekali kalo pintunya ke tutup"

     Mata Nana membulat sempurna saat Arif bicara seperti itu, tubuhnya ikut mematung seketika. Bulu kuduk pun terasa merinding.

     "Rif..." lirih Nana lemas, dia pun memegangi tangan Arif karena ketakutan.

     "Nggak apa-apa, ayo kita masuk" ucap Arif menenangkan Nana.

     Arif mengambil gagang pintu tersebut dan membukanya perlahan, jantungnya berdebar hebat karena tak tau apa yang akan ia temui di dalam.

Cekitttt

     Suara berdecit itu selalu saja terdengar, membuat suasana hening ini menjadi lebih menyeramkan.

     "Huft..." Arif menghela napas lega, ternyata tak ada siapa-siapa di dalam kamar Gema.

     "Astaga, jantung gue udah mau copot" sahut Nana.

     Nana dan Arif pun segera masuk dan mencari surat tersebut, tapi saat Arif menemukan surat itu, keadaannya berbeda.

     "Ini suratnya bukan Rif?" Tanya Nana menunjuk sebuah surat di atas kasur Gema.

     "I...iya" gugup Arif melihat surat itu sudah berpindah.

     "Yaudah, ayo kita baca"

     Nana lalu mengambil surat tersebut dan duduk di atas kasur Gema, ia membuka kertas tersebut perlahan. Tapi pandangannya teralihkan ketika melihat Arif mematung kembali di hadapan Nana.

     "Ada apa lagi Rif?" Tanya Nana lemas.

     "Ah nggak, bukan apa-apa, ayo coba buka isinya apa" pinta Arif.

     Ia bertingkah seolah semuanya tak ada yang aneh di sana, tangannya di lipat di atas dada agar menandakan semuanya baik-baik saja.

     Nana membaca surat tersebut, tapi ia tak sanggup lagi membacanya saat tau siapa penulisannya.

     Lalu, Nana memberikan surat itu ke Arif agar ia membacanya sendiri.

     "Kayanya lo baca sendiri aja deh Rif, gue nggak berhak"

     "Nggak berhak gimana maksud lo?"

     "Nih" Nana memberikan surat itu, ia seketika bungkam.

     Arif mengambilnya, dia lalu membukanya. Arif tak langsung membaca, seperti kebiasaannya ia pasti membaca bagian paling bawah terlebih dahulu agar tau siapa penulisnya.

     Dan di sana tertera sangat jelas siapa penulisannya itu. Ini dari bapak.

Untuk kedua anak ku, Gema dan Arif

Saat kalian membaca surat ini, itu artinya kalian sudah cukup dewasa untuk mengerti situasi kalian yang sekarang. Sudah waktunya juga kalian menghadapinya.

Dan itu artinya juga bapak sudah tidak ada di dunia ini, bapak pergi lebih dulu demi kalian dan ibu kalian.

Bapak minta maaf karena belum sempat memberitahu lebih jelas tentang segala hal yang kalian hadapi.

Tapi bapak yakin, suatu saat kalian bisa menebus semua ini dan menyelesaikan kesalahan yang sudah bapak perbuat.

Dari Bapak

     Pikiran Arif kacau seketika saat membaca tulisan tersebut. Apa maksudnya? Kenapa baru sekarang? Arghhhh.

     "Rif.." panggil Nana pelan.

     "Ayo kita pergi dari sini Na" ucap Arif lemas.

     "Lo nggak apa-apa"

     "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok"

     Nana sudah lama berteman dengan Arif, ia tau jelas kalau sekarang Pikiran Arif sedang kacau.

      "Yaudah ayo kita ke rumah gue aja ya" ajak Nana dan berdiri menghampiri Arif.

     "Iya Na"

     Arif dan Nana keluar kamar Gema dan meninggalkan rumah tersebut. Informasi yang mereka temukan sekarang sepertinya lebih dari sekedar cukup, dan Arif juga sepertinya sudah tak bisa berlama lama lagi di sana.

****

     Di atas motor, Arif selalu melamun. Yang ada di pikirannya masih tentang surat tersebut.

     "Arif lampu merah!" Teriak Nana menepuk nepuk pindah Arif agar ia tersadarkan.

     "Astaga" kaget Arif yang baru saja sadar.

     "Rif lo jangan ngelamun dong"

     "Iya sorry Na, gue lagi sedikit kurang fokus"

     "Minggir"

     "Hah?" Bingung Arif.

     "Di depan minggir, biar gue yang bawa motor lo sampe rumah gue"

     "Apaan sih Na, udah biar gue aja" tolak Arif meski setengah sadar.

     "Gue masih sayang sama diri gue dan nggak mau celaka, jadi lebih baik di depan lo minggir dan biar gue aja yang bawa motor, nggak usah nolak!" Paksa Nana.

     Arif sendiri pasrah, lalu setelah lampu hijau menyala ia meminggirkan motornya agar Nana dapat bergantian membawanya.

     Arif memang sedang tak ingin melakukan apa-apa sekarang ini. Sangat malas.

****

     Setelah perjalanan yang cukup panjang, sampai lah mereka di rumah Nana. Hari pun sudah mulai sore, langit jingga terlihat menawan hari ini.

     "Rif lo mau makan apa? Gue laper nih" tanya Nana lalu berjalan menuju dapur.

     "Apa aja deh Na, samain aja sama lo"

     "Oke kalo gitu, gue masak mie aja biar cepet"

     Setelah menaruh tasnya di meja makan, Nana segera mengambil mie yang ada di atas raknya dan memasak untuk mereka berdua.

     Sedangkan Arif masih berbaring di sofa ruang tamu dan memikirkan tentang surat barusan.

     "Udah Rif lo nggak usah di pikirin lagi, nanti lo sakit" ucap Nana sembari memasak.

     "Gue cuma bingung aja Na"

     "Gue juga sama bingungnya kaya lo Rif"

     Arif memejamkan matanya, ia berusaha menghilangkan setiap kata yang di tulisan bapak untuknya.

     Tapi setiap ia menutup mata selalu saja teringat tentang kenangannya bersama bapak, dan jika di bandingkan dengan hari ini, semua kenangan itu terasa menyedihkan.

     Tak butuh waktu lama, mie buatan Nana pun akhirnya jadi.

     "Rif, udah Mateng nih, sini makan" suruh Nana yang menyiapkan makanan di meja makan.

     "I'm coming" sahut Arif berjalan menuju meja makan.

****

     Nana memperhatikan lekat Arif, wajahnya masih saja murung saat memakan mie tersebut.

     "Terus sekarang gimana?" Tanya Nana memecahkan keheningan.

     "Hmm...kenapa kenapa?" Arif melamun.

"Soal yang di rumah kak Gema, lo mau nyari tau apa lagi?"

"Lo ada laptop kan?"

"Ada, kenapa?"

"Gue pinjem boleh"

"Sebentar gue ambil dulu di kamar"

Nana pergi ke kamarnya untuk mengambil laptop dan meninggalkan Arif sendirian di dapur. Ia masih saja melamun memikirkan surat dari bapaknya, terasa janggal.

****

Nana kembali dari kamarnya membawa laptop, ia lalu memberikannya ke Arif agar dia bisa melakukan apapun yang ingin dia lakukan.

"Nih, lo mau nyari info apa?" Tanya Nana.

"Soal ukiran itu" sahut Arif lalu menyalakan laptop Nana dan membuka internet.

"di internet bisa nyari lewat gambar emangnya Rif?"

"Semoga aja bisa, gambarnya kurang jelas soalnya"

Nana memindahkan duduknya yang dari berhadapan menjadi bersebelahan dengan Arif. Ia sangat penasaran apa yang akan Arif temukan di internet.

"Belom ada yang cocok Rif?" Tanya Nana.

"Belom, kayanya gambar ukiran ini nggak ada di internet deh"

"Coba sini biar gue buka di website satu lagi"

Nana lalu mengambil alih laptopnya dan mencoba mencari arti ataupun info apapun itu tentang ukirannya.

"Nah, ini ketemu Rif, ada satu" seru Nana menunjukan penemuannya.

"Wangsuli budi?"

"Itu artinya balas Budi, tapi maksudnya apa ya?"

Arif masih tak mengerti maksudnya, surat dari bapak dan arti ukiran yang di buku ini semuanya terasa tak masuk akal. Apa yang harus Arif tebus? Kesalahan apa yang bapak buat?

****