webnovel

Bab 1 : Menginjakan kaki di dunia baru (1)

Saat membuka mata yang pertama kali kulihat adalah langit kelabu yang tertutupi awan hitam dan abu-abu, bergerak perlahan mengikuti arahan sang angin. Seluruh tubuhku basah kuyup terkena rintik hujan gerimis yang sepertinya tidak akan berhenti untuk sementara waktu.

Aku tidak tahu mengapa, tapi dalam benakku terbesit bahwa akan sangat menyenangkan jika saat ini aku dapat membasahi tenggorokanku dengan segelas kopi panas, tidak aku tidak suka panas, mungkin hangat..?

 Itu terdengar sangat konyol, lagi pula siapa yang ingin meminum kopi di tengah hujan seperti ini? Oh, itu aku. Sial.

Usai termenung untuk beberapa waktu, aku mulai bangkit dari tempatku berbaring. Badanku terasa sangat sakit ketika kugerakkan, terutama pada bagian persendian.

Tak butuh waktu lama untuk aku menyadari bahwa banyak sekali luka di sekujur tubuhku; pakaian yang sekarang aku kenakan pun terlihat sangat memprihatinkan, banyak sobekan dan bekas lumpur berwarna kemerahan menempel dimana-mana, sepertinya warna kemerahan tersebut karena tercampur dengan darah.

 Apa yang terjadi dengan tubuh ini?

Kulihat tempatku berbaring, ternyata aku berada di atas puing-puing kayu yang gosong dan mulai menghitam; tampak jelas kayu tersebut telah terbakar sebelumnya. Dan di sekitarku banyak sekali mayat-mayat manusia berserakan. 

 Apa yang telah terjadi di sini, bukankah aku seharusnya bereinkarnasi?? 

Bukankah reinkarnasi itu terlahir kembali menjadi bayi, dan hidup di keluarga yang berbeda? Tetapi apa ini, aku tidak merasakan perbedaan sedikit pun selain rasa sakit di sekujur tubuhku. Tinggiku juga sama sekali tidak berubah, dan wajahku....

Terpikirkan akan wajahku, aku melihat genangan air tidak jauh dari tempatku berdiri. Kutatap genangan air itu dengan seksama, airnya sangat kotor, tapi syukurlah aku dapat melihat bagaimana rupaku di dunia ini. 

 "Tapi… bukankah ini wajah asliku?" gumamku pelan, seakan tidak percaya aku menarik pipiku. Sakit, sepertinya ini bukan mimpi dan aku juga tidak berhalusinasi ketika bertemu perempuan yang mengaku dewi itu.

Baiklah, sepertinya aku tidak bereinkarnasi menjadi orang lain seperti karakter utama yang ada pada novel-novel picisan, aku juga tidak terlahir kembali dalam keluarga baru. 

Tidak, aku terlahir di keluarga baru; lebih tepatnya tubuh ini memiliki keluarga. 

Mungkinkah aku tidak bereinkarnasi, tapi malah merasuki tubuh diriku sendiri dari dunia yang berbeda? Transmigrasi jiwa? Apa pun itu aku berterima kasih kepadanya, berkat dia aku masih bisa hidup.

 "Apa yang akan aku lakukan sekarang..." ucapku menatap langit, lalu menghela nafas, "untuk sekarang aku akan mencari tahu apa yang sedang terjadi di sini."

Aku berjalan melewati mayat-mayat di sekitarku, cukup banyak yang mati di sini jika kau ingin tahu, tapi aku tidak peduli entah siapa mereka. 

Mungkin akan ada yang aku kenali jika ini benar dunia yang sama dengan bumi, tapi dari sekian banyak wajah, tak ada yang familiar di mataku.

Ketika menyusuri tempat tempat ini mataku teralihkan oleh sesuatu. Berjarak beberapa langkah dariku, terdapat satu mayat yang membuatku terpaku, dan itu adalah mayat dari seorang wanita.

Rambutnya indah dan berwarna hitam legam, mengenakan pakaian seperti wanita bangsawan dari era pertengahan. Lalu di pelukannya itu terdapat seorang anak perempuan yang cantik dengan rambut sebatas bahu. 

 Aku mengenali perempuan ini, dia ... dia ibuku. Mungkinkah dia benar ibuku, tapi dari dunia ini? Lalu untuk anak perempuan di pelukannya, aku sama sekali tidak mengenalinya. 

Untuk sekarang, mari bercerita tentang diriku dan tentang masa lalu yang aku alami.

Di dunia sebelumnya aku adalah seorang yatim piatu. Ibuku meninggal karena melindungiku dari serangan monster di kota saat aku kecil, dan ayahku menghilang setelah berkata akan melunasi hutang-hutangnya. 

Tidak ada yang mau mengurusku, saudara, paman, dan bibi pun enggan membiarkanku menumpang tinggal. Umurku masih tujuh tahun kala itu. 

Aku mendengar mereka berunding tentang siapa yang akan mengadopsiku, tetapi mereka semua sepertinya keberatan. Setelah berbicara lama ternyata masih ada yang mau mengurusku, yaitu nenekku.

Ia adalah ibu dari ayahku, nenekku yang berasal dari ibuku sudah meninggal sejak ibuku masih muda. Nenek adalah satu-satunya orang yang tulus menyayangiku, dan ikhlas membesarkanku seperti anaknya sendiri.

Berkat dirinya aku bisa bersekolah hingga tingkat menengah atas, ia bahkan memaksa diriku untuk masuk ke dalam perguruan tinggi; tetapi aku menolak keras.

Aku ingin langsung bekerja dan sesegera mungkin membantunya. Nenek agak kecewa dengan keputusan yang aku ambil, menurutnya itu gegabah.

Tetapi ia merasakan keinginan tulusku dan pada akhirnya membiarkanku untuk bekerja. 

Dua tahun kemudian sekelompok orang yang mengaku sebagai penagih hutang datang menghampiri kediaman kami. 

Nenek terlihat sangat ketakutan ketika bertemu para penagih hutang tersebut, mereka dengan entengnya mengancam kami dengan pisau dan senjata api. Meskipun dalam ketakutannya itu nenek tetap melindungiku dibalik tubuhnya.

Setelah memberi ancaman kepada kami, penagih hutang itu pergi. Aku berkata kepada nenek bahwa aku akan melunasi hutang-hutang keluargaku, tapi nenek hanya berkata.

 "bukankah nenek juga keluargamu? Jadi biarkan nenek membantu cucu yang nenek sayangi..," pinta nenek sembari memeluk tubuhku.

Aku hanya terdiam tak bisa berkata-kata, yang hanya bisa kulakukan saat itu adalah meminta maaf kepada beliau. 

Perasaan bersalah menyelimuti jiwa dan ragaku. Aku merasa kehadiranku hanya menjadi beban untuk tubuhnya yang rentan termakan usia.

Pagi hari sekali, aku pergi mencari pekerjaan yang mendatangkan hasil dengan cepat. Kudengar menjadi porter atau pengangkut barang untuk para pemburu sangat menguntungkan. 

Aku melewati hari-hariku menjadi seorang porter dengan hasil yang memuaskan, aku tidak lambat dalam membawa barang, dan aku juga cepat bertindak. Mungkin itu sebabnya, banyak Pemburu yang senang kepadaku dan terkadang memberikan bonus. 

Selesai bekerja aku tidak langsung pulang ke rumah, aku sengaja pulang sedikit terlambat karena aku ingin membelikan makanan kesukaan nenek, yaitu bubur nasi lembut dengan potongan ayam halus di atasnya.

Usai membeli makanan, teleponku tiba-tiba berdering. Ternyata paman, dengan segera aku mengangkat panggilan tersebut. Belum sempat aku memberi salam paman menyela dengan nada tinggi.

 "Dari mana saja kamu?!" bentaknya keras ditelepon. "Apa kamu tidak mengetahui jika nenek sekarang sedang sekarat di rumah sakit?!"

Menerima lontaran amarah tersebut membuatku tertegun, dan mencoba mencerna ucapan paman. Tapi tanpa sadar aku membentak balik paman, lalu bertanya di mana lokasi rumah sakit tempat nenek di rawat.

Paman tersentak mendengar suaraku, ia sepertinya sadar bahwa aku pun tidak tahu menahu tentang hal ini. Paman langsung mengirimkan lokasi rumah sakit yang berjarak beberapa kilo dari rumah nenek.

Segera aku berlari sekuat tenaga, aku berlari dengan sangat cepat dan mungkin lebih cepat dari juara lari nasional di negaraku. Kakiku terselimuti aura biru, aura ini adalah energi sihir atau mana.

Sihir di dunia ini sudah bukan lagi takhayul, beberapa tahun silam tiba-tiba muncul bulan kedua di luar angkasa. Tidak ada yang tahu mengapa bulan tersebut muncul, dan keanehan mulai terjadi dimana-mana.

Setengah dari populasi di seluruh dunia pingsan setelah menatap bulan di langit, dan yang tidak kehilangan kesadaran terkena serangan panik, tidak mengerti apa yang terjadi. 

Setelah terbangun mereka berkata bahwa mereka diberikan misi oleh dewa untuk membunuh monster-monster yang akan datang melalui portal.

Mereka juga diberkahi kekuatan yang beragam, ada yang bisa mengeluarkan api dari tangannya, menggunakan pedang seperti seorang ahli secara tiba-tiba, bahkan memanggil monster besar dari ketiadaan. 

Mereka adalah generasi pertama dari manusia yang telah diberkahi kekuatan dari para dewa. Selain sebagai genarasi pertama, orang-orang yang memiliki kekuatan dan membantu membasmi monster lebih dikenal sebagai Pemburu Monster.

Terdengar aneh dan sangat tidak mungkin memang, tapi semua itu benar-benar terjadi. Kejadian luar biasa itu terjadi puluhan tahun yang lalu, dan orang tuaku adalah salah satu dari orang-orang yang diberikan kekuatan. 

Orang tuaku bukan dari generasi pertama, mereka tidak pernah bertemu dewa atau pun dewi. Generasi kedua hanyalah sekumpulan orang yang tiba-tiba membangkitkan kekuatan, kekuatan yang dibangkitkan pun juga lemah. 

Misalnya saja ibuku yang hanya bisa membuat matanya fokus untuk dua puluh lima meter di depannya, dan ayahku yang cuma bisa mengambang di udara setinggi lima belas meter saja.

Aku sebagai keturunan mereka adalah generasi ke tiga, atau bisa disebut hanya keturunan dari orang yang telah membangkitkan kekuatan. Karena itu pula aku dapat menggunakan atau merasakan mana. 

Petinggi-petinggi negara pernah memutuskan untuk pergi ke bulan yang ke dua untuk mencari tahu apa yang terjadi; tetapi sekeras apa pun usahanya, mereka tak pernah sampai.

Pada akhirnya semua orang menganggap bulan kedua itu adalah tempat dewa dan dewi berada kemudian menamainya Bulan Suci. 

Kesampingkan itu, saat aku sudah tiba di depan kamar rumah sakit aku melihat nenek sedang terbaring lemas, di wajahnya terdapat alat pernafasan yang terhubung dengan tabung oksigen dan ditangannya pun terdapat selang infus. 

Aku menatap paman dan bertanya apa yang terjadi, tapi paman tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia diam sejenak, beberapa detik kemudian barulah ia berbicara. 

 "Nenek menjadi korban tabrak lari, pelakunya masih belum tertangkap tetapi polisi sudah mengetahui identitasnya," jelasnya lirih kepadaku. 

 Tabrak lari?

 "Lalu nenek?" tanyaku kembali kepadanya, sambil berjalan mendekati kasur nenek. 

 "Nenek koma, dokter berkata bahwa ia tidak tahu apakah nenek dapat bertahan," saut paman pelan dengan ekspresi sedih dan perasaan putus asa. "Dokter berkata, kita hanya bisa bergantung pada kemauan nenek untuk hidup."

Nenek sudah seperti ibu keduaku, aku tak akan sanggup jika harus kehilangan sosok ibu untuk yang kedua kalinya. Aku dan paman mulai berhenti bicara, membuat suasana di ruang perawatan menjadi hening. 

Namun, ketika kami berdua tenggelam dalam kesedihan; pintu mulai terbuka perlahan. Seorang suster lalu melangkah masuk ke dalam dan berbicara dengan nada pelan, ia mengatakan bahwa kami harus segera membayar biaya rawat inap nenek. 

Aku dan paman kemudian mengikuti suster ke ruangan administrasi. Petugas administrasi rumah sakit mengatakan biaya yang harus dikeluarkan sebesar lima ratus dolar per hari.

Mendengar penjelasan darinya, aku hanya diam dan menatap berkas yang harus aku beri tanda tangan sebagai penanggung jawab. Wajahku menjadi pucat pasi, tidak mengetahui apa yang harus dilakukan.

Melihatku kebingungan, paman menepuk pundakku. Ia menandatangani berkas dan menjadi penanggung jawab nenek. 

 "Jangan khawatir Melvis; paman akan membantu biaya perawatan nenek, setidaknya untuk satu minggu ke depan." ujarnya kepadaku.

 "Paman... aku pasti akan menggantinya" sahutku lirih, lalu memeluknya dengan erat. 

  "Jangan terlalu dipikirkan, sekarang fokus saja pada pekerjaanmu" balas paman memeluk balik diriku, "kamu bisa menggantinya kapan saja" sambungnya. 

Aku hampir tidak percaya paman memberikan uang simpanannya untuk membayar administrasi nenek. Aku sangat bersyukur, seminggu itu waktu yang cukup untuk diriku mencari uang. 

Setelah waktu besuk berakhir, paman dan aku pulang ke rumah masing-masing. Paman sempat menawarkan untuk mengantarku pulang dengan mobilnya, tapi aku menolaknya. 

Sampai di rumah aku langsung pergi menuju kamarku, kuletakan makanan yang sebelumnya ingin kuberikan pada nenek di atas meja belajar. 

Aku berpikir akan membuangnya, tapi pasti nenek akan marah kepadaku jika aku membuang-buang makanan. Pada akhirnya aku memakan bubur dingin itu, dan tidur untuk bekerja lebih keras esok harinya.

Dua minggu berlalu, nenek masih dalam kondisi koma. Meski masih tak sadarkan diri, sekarang kondisi nenek sudah tidak menghawatirkan. 

Aku bekerja dan terus bekerja. Aku terus mengejar uang untuk membiayai nenek di rumah sakit, paman juga terkadang datang untuk menjenguk dan memberikan sedikit uang kepadaku, tapi aku kembali menolaknya.

Aku tidak ingin merepotkan paman, karena paman juga masih mempunyai banyak tanggungan. Sore itu di pusat kota, aku ikut serta sebagai pengangkut pada pembasmian monster di sebuah portal yang telah teridentifikasi berisikan monster lemah. 

Ketika kami semua berada di dalam portal, grup pemburu yang menyewaku semuanya mati terbunuh. Seharusnya ini adalah pembasmian yang mudah, dan proses penaklukan juga hampir selesai. 

Tapi karena keteledoran, seluruh grup pemburu akhirnya dimusnahkan. Karena berada di barisan paling belakang, aku dapat bertahan hidup. 

Walaupun sekarang aku berhasil bertahan hidup karena sebuah keberuntungan kecil. Aku menyadari bahwa mungkin ini adalah hari terakhirku.

Dalam keputusasaan aku mengingat nenek yang sedang koma di rumah sakit, jika aku tidak ada maka nenek akan hidup sendiri dan menderita karena hutang. Hal ini membakar api perjuangan dalam jiwaku untuk terus mencoba bertahan hidup. 

Monster-monster yang berada di hadapanku terlihat menyeramkan. Mereka berukuran kecil, mirip seperti anak manusia tetapi berwarna hijau dan seluruh giginya adalah taring. Mereka membawa pedang berkarat dan pisau-pisau dari batu atau tulang. 

Orang-orang menyebut mereka, goblin. Peri hijau jahat, pemakan manusia, keji, dan senang memperkosa wanita, bahkan anak-anak. 

Tangan kananku sudah tidak bisa digunakan karena patah, pandanganku pun mulai rabun akibat kehilangan banyak darah di kepala. Tapi aku tidak menyerah, dan tetap melawan goblin-goblin biadab itu.

Perlawanan terakhirku sepertinya akan sia-sia, dan saat pedang berkarat milik goblin itu hampir menusuk jantungku... aku mendengar suara. 

[SELAMAT! KARENA KAMU ADALAH MANUSIA PERTAMA YANG BERHASIL MENGAKTIFKAN PLAYER SYSTEM]

[KEGIGIHANMU TELAH DIAKUI KONSTELASI PENJAGA PLANET BUMI]

[INGIN MENGAMBIL KELAS PROFESI?]

[YA/TIDAK]

...sebuah hologram muncul di hadapanku.

Mungkin akan lebih baik jika tulisan sistem tidak di bold?

Chutaaacreators' thoughts