"Kenapa kembali? Mau minta maaf?" tanya Virginia pada pria tersebut.
"Kau sedang mencari pekerjaan, bukan?"
Virginia terdiam mendengar pertanyaan yang diberikan oleh pria tersebut.
Ia lupa, amplop coklat ia bawa-bawa, amplop berisi surat lamaran untuk mencari pekerjaan, tapi tidak bisa ia temukan lantaran selalu ditolak.
"Iya, aku sedang mencari pekerjaan!" sahut Virginia, dilupakannya sikap menyebalkan pria itu, karena buatnya, pekerjaan adalah hal yang paling ingin ia dapatkan.
"Ikut aku!"
"Apa?"
"Kurang jelas?"
"Tentu saja kurang jelas! Memangnya, ikut denganmu bisa mendapatkan pekerjaan apa?"
"Mau tidak?"
"Aku perlu tahu, kamu mau berikan aku pekerjaan apa? Mana mungkin aku main percaya dengan seseorang yang tidak aku kenal sama sekali."
"Ya, sudah! Kalau tidak mau!"
Pria itu kembali ingin tancap gas dari tempat itu, tapi buru-buru Virginia mengejar.
"Bisakah kamu bicara sabar sedikit untuk menerangkan apa yang kau sebut pekerjaan itu? Wajar bukan jika aku ingin tahu? Aku perempuan, kau pria, jika aku bekerja aku harus tahu apa yang akan aku kerjakan!"
"Memangnya, yang di dalam pikiranmu itu apa? Aku akan memperkerjakan kamu wanita penghangat tempat tidurku?"
Wajah Virginia merah padam mendengar apa yang diucapkan oleh pria tersebut.
Andai saja ia bisa menjangkaunya tentu saja ingin sekali ia menarik satu telinga lelaki itu dengan keras.
"Tidak usah! Aku bisa cari pekerjaan yang lain, daripada aku bekerja tapi aku tidak tahu pekerjaan apa yang harus aku lakukan!"
Virginia hilang selera untuk mengetahui pekerjaan apa yang ditawarkan padanya.
Kata-kata pria itu membuat Virginia menilai, lelaki itu bukan lelaki yang tidak bisa dipercaya.
"Menjaga toko bunga milikku!"
Langkah kaki Virginia terhenti ketika mendengar suara pria itu mengucapkan pekerjaan apa yang akan ia lakukan.
Gadis itu membalikkan tubuhnya, dan menatap lelaki itu dengan tatapan mata ingin tahu.
"Kamu punya toko bunga?"
"Ibuku yang punya, tapi beliau sekarang hilang entah ke mana, aku hanya menjaganya untuk dia, sekarang sedikit tidak terawat, tapi pembeli terus saja berdatangan, ingin aku tutup sayang juga, biar bagaimanapun itu peninggalan ibuku!"
Ternyata, dia pria yang sayang ibunya juga, aku pikir hanya karena kata-kata dia yang kurang enak didengar, dia pemuda yang tidak tahu berbakti pada orang tua....
Virginia bicara demikian di dalam hati.
"Baiklah, di mana tokonya? Aku akan ke sana!"
Karena sudah tahu apa yang akan ia kerjakan, Virginia akhirnya mengiyakan tawaran pria aneh tersebut. Ia butuh pekerjaan! Itu saja hal yang ia pikirkan.
"Naiklah! Memangnya kau ingin ke sana dengan kakimu itu? Bisa-bisa semua jari kakimu akan sebesar kepalan jahe!"
Sialan! Kalau bukan karena aku butuh pekerjaan, aku pasti tidak mau ikut dengannya, mulutnya saja begitu, tidak nyaman didengar!
Virginia mengomel di dalam hati, tapi akhirnya menurut juga dengan apa yang diminta oleh pria tersebut, menghampiri motornya, dan berdiri sejenak di dekat motor itu lalu menatap wajah lelaki di atas motor itu dengan tatapan mata serius meskipun wajah itu terhalang dengan helm yang dipakainya.
"Namamu siapa?" tanyanya dengan suara tegas.
"Lian!" sahut lelaki itu singkat.
"Aku Virginia, terimakasih kamu mau memberikan aku pekerjaan, bisakah aku mempercayaimu sekarang?"
"Virginia? Apakah kamu akan menegaskan pada semua pria, bahwa kamu masih Virgin?"
"Apa maksudmu?"
"Kenapa kamu menyebutkan namamu yang itu kepadaku? Mau mengatakan aku ingin bertanya kau virgin atau tidak?"
Wajah Virginia merah padam kembali mendengar ucapan pria yang menyebutkan namanya Lian itu. Gadis itu jadi malu, antara malu dan juga kesal, kenapa sejak tadi pria ini selalu berusaha mencari masalah dengannya?
"Sudahlah! Rasanya, aku tidak bisa bekerja sama dengan pria yang sembarangan bicara sepertimu!"
Virginia memutar tubuhnya, merasa tidak berminat lagi untuk menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh Lian, karena ia tidak suka dengan mulut pria itu yang dinilainya tidak dijaga.
"Hei! Aku hanya bercanda! Kenapa suka sekali marah? Kamu tidak akan terlihat cantik kalau wajahmu itu seperti burung hantu yang sedang marah!"
"Mulutmu yang suka sembarangan! Kamu pikir, hal semacam itu bisa dijadikan bahan bercanda? Tidak pernah dimarahi orang tua bicara yang tidak sopan?"
"Sudahlah! Lupakan! Naiklah! Aku akan mengantarmu ke toko, aku tidak punya banyak waktu untuk berdebat denganmu!"
"Aku tidak mau ikut, kalau kamu tidak berjanji untuk menjaga ucapanmu itu!"
"Baiklah! Baik! Aku tidak akan bicara banyak padamu, lagipula nanti juga aku jarang pulang, kau yang akan mengurus toko sendiri, jadi jangan berpikir kita akan bisa banyak waktu untuk bercengkrama!"
Virginia mencibir. Bercengkrama? Pilihan kata apa itu?
Gadis itu mengomel lagi di dalam hati, dan akhirnya ia mengalah. Naik ke atas boncengan Lian, dan detik berikutnya, Lian sudah membawa motor besarnya pergi dari tempat itu dengan sangat kencang, hingga membuat rambut panjang Virginia yang meskipun sudah diikat jadi tetap berantakan!
Tidak berapa lama kemudian, motor berhenti di depan sebuah toko bunga yang bersambung dengan sebuah rumah besar di belakangnya.
Virginia meloncat turun ketika Lian memintanya untuk turun.
"Wah, cantiknya...."
Tanpa sadar, bibir Virginia memuji. Gadis itu melangkah mendekati toko bunga tersebut.
Tidak terlalu diurus memang, tapi masih memancarkan keindahannya.
Seorang wanita setengah baya menyambut mereka dan membungkuk hormat pada Lian, ketika Lian membawa Virginia untuk masuk ke dalam toko.
"Bik. Ini Virginia, dia yang akan menjaga dan merawat toko ini dengan baik, jelaskan saja apa yang Bibik tahu dari mami tentang toko ini, beritahu apa yang tidak boleh dilakukan apa yang boleh, kalau dia malas marahi saja, aku memberikan kuasa padamu, tapi jangan sekali-kali memerintahkan hal yang bukan tugas dia, ya?"
Lian bicara panjang lebar pada Bik Sumi asisten rumah tangga keluarganya, yang merawat rumah besar Lian selama ini meskipun rumah itu jarang ditinggali lantaran Lian sendiri sebagai anak satu-satunya justru jarang pulang, dan kini sang ibu yang belum diketahui ke mana perginya juga tidak kunjung kembali.
"Baik, Tuan. Nanti saya akan menerangkan pada Non Virginia."
Virginia membungkuk hormat pada Bik Sumi ketika wanita paruh baya itu menyebut namanya.
"Vir, ini Bik Sumi. Apapun yang kamu perlukan, katakan saja padanya, saat pulang, kau juga harus laporan padanya, paham?"
"Aku paham."
"Hati-hati dengan bunga tertentu, jika kamu tidak bisa merawatnya dengan baik, saat ibuku kembali, habis kamu di tanganku!"
"Belum bekerja saja, kamu sudah mengancamku. Memangnya boleh seperti itu? Aku juga tidak akan melakukan hal buruk jika diberitahukan dengan baik."
"Aku hanya memperingatkan dirimu, karena aku jarang pulang!"
"Lalu gajiku?"
"Bekerja saja belum sudah minta gaji, apakah ada seseorang yang dibayar di muka selain menjadi wanita penghibur?"
Virginia mengepalkan telapak tangannya, ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Lian.
Lagi-lagi bicara seenaknya, baru saja berjanji sudah dilanggar! Aku yakin, dia juga seorang player yang tidak bisa menepati janjinya pada wanita!
Hati Virginia berkata demikian. Dan bersamaan dengan itu, gerakan tubuh Lian yang tadi melangkah ingin meninggalkan Virginia terhenti ketika suara hati Virginia kali ini justru bisa di dengar Lian.
Aneh! Yang tadi itu suara hati gadis ini, kah? Kenapa jika aku fokus dengan pikiranku, aku bisa mendengar dia yang bicara di dalam hati? Sejak kapan aku bisa mendengar suara hati seseorang?
Note: Karakter seseorang bisa dilihat dari cara ia berbicara, meskipun tidak selalu, tapi itu fakta.
(Benarkah Lian bisa mendengar suara hati orang yang bicara dengannya?)