webnovel

[1]

"Ana! Ana!" Panggil Rosaline dari lantai dasar. Ia berusaha memanggil anaknya yang sudah pukul sebelas pun belum kunjung bangun. "Na..." Panggilnya sekali lagi sambil menaiki anak tangga satu persatu.

Setelah sampai pada pintu putih yang tertera tulisan "Area 51-GO AWAY" itu, Rosaline mulai mengetuk-ngetuk. Mulutnya tak henti memanggil nama anaknya, namun hasilnya nihil. Mungkin butuh tenaga yang lebih keras, pikirnya. Kemudian ia kembali melakukan hal yang sama, yaitu mengetuk dan memanggil, tapi kali ini memakai tenaga lebih: mendobrak dan meneriaki.

Bibir Rosaline sedikit tersenyum kala terdengar bunyi kunci yang diputar dari dalam. Dua detik kemudian daun pintu terbuka setengah dan menampilkan wajah Ana yang khas baru bangun tidur.

"Mami, don't you see?" katanya sambil menunjuk plat kuning yang tertempel pada pintu kamarnya.

Rosaline mengernyit dan menampilkan tatapan bingung. "Mami lihat tapi Mami nggak tau artinya. Memangnya Area 51 itu apa?"

Ana memutar bola matanya malas. "Jangan lihat Area 51-nya. Tapi lihat 'Go Away'-nya." Matanya melotot memandang ibunya.

"Inikan rumah Mami, jadi Mami harus pergi dari rumah Mami sendiri?" Nada bicara Rosaline khas ibu-ibu, sedikit menaikkan nada suaranya.

Ana yang malas meladeni ibunya hanya memelas. "Mami ngapain sih bangunin Ana pagi-pagi?" gadis itu menguap. "Ana masih ngantuk tau!"

"Ayo turun dulu.. Kita sarapan bareng-bareng sama Papi." Tangannya terulur menggapai tangan Ana. Lalu sedikit menariknya, "Ayo.." ajaknya sekali lagi. Merasa belum siap, Ana buru-buru melepas genggaman ibunya.

"Mami, nanti Ana turun. Ana mau cuci muka dulu."

Rosaline berdecak. "Bener ya, ini penting loh, Na. Ada yang perlu Mami dan Papi omongin." Kemudian matanya berubah serius.

"Iya, Mami bawel!" Ucap gadis itu kesal lalu menutup pintu. Kakinya berjalan gontai ke arah kasur lalu ia duduk di sana.

Ia menghela nafas dan memegang kepalanya yang agak pening. Ia masih pengar. Semalam benar-benar malam yang menyenangkan. Sejenak Ana tersenyum dan menutup wajahnya yang memerah. Andai saja semalam ia bisa menghabiskan malam lebih lama lagi bersama teman-temannya. Lagi-lagi ia menghela nafas lalu mengusap wajahnya.

"Mami tumben banget nyamperin gue sendiri ke kamar, biasanya 'kan yang Bi Wini." Dahi Ana berdenyit, alisnya ia naikkan sebelah. Ini 'kan hari Senin, kenapa Mami dan Papi ada di rumah? Pikirnya bingung.

Sejenak ia mengingat perintah Rosaline yang menyuruh dirinya cepat turun. Ada apa, ya? Benar-benar pagi yang aneh. Ana langsung beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi.

***

Ana berjalan pelan ke arah ruang makan, terlihat Rosaline dan Adam yang sedang mengobrol, tampak serius. Namun ketika Rosaline menyadari kehadiran anaknya, ia langsung menyentuh tangan Adam. Membuat lelaki paruh baya itu terdiam dan menengok juga ke arah Ana.

"Mami sama Papi nggak makan duluan?" Ucap Ana mencairkan suasana yang terkesan tegang. Ia langsung mengambil piring dan menyendok nasi. "Oh, ya.. Bi Wini kemana, Mi? Tumben nggak keliatan?"

"Bi Wini udah ber-"

"Bi Wini sedang Papi suruh ke minimarket," ujar Adam cepat memotong ucapan Rosaline. "Ayo, Na, kita makan dulu." Ia tersenyum kecil ke arah Ana lalu sedikit kecut ke Rosaline.

Rosaline langsung mengambilkan piring untuk Adam dan dirinya, tak lupa nasinya. Untuk lauk, Adam bisa ambil sendiri.

"Bagaimana, Na? Kamu udah ada rencana kuliah?" Tanya Adam sambil menyendok capcay.

Ana bergedik. "Belum, Pi. Ana belum tau mau masuk jurusan apa. Ana masih observasi dan tanya-tanya ke Vey. Oh iya, Pi, by the way," Ana mendekatkan dirinya ke Adam, "serem ya kalo kita salah jurusan. Bisa-bisa stress di tengah semester!" Lalu tertawa kecil.

"Takut salah jurusan atau memang kamunya yang udah keenakan males-malesan?" sindir pria yang rambutnya mulai putih itu. Mendengar itu, Ana langsung terdiam. "Papi itu nggak akan selamanya muda, Ana. Kalo kamu nggak kuliah, nanti susah cari kerja, lalu siapa yang bakal menghidupi kamu?"

"Kan bisa kerja di kantor Papi." Ucapnya santai. Adam langsung menghentikan makannya. Mata teduh Adam memandang wajah putri semata wayangnya yang sedang nyengir. Lalu ia hanya menghela nafas.

"Omongan Papi ada benernya loh, Na. Apa susahnya dicoba dulu untuk kuliah, kita mana tau salah jurusan kalo belum nyobain." Kini Rosaline yang bicara. Ana lagi-lagi hanya santai memakan makanannya.

Dengan ogah-ogahan, ia menjawab. "Iya, nanti Ana coba."

"Bagus kalo gitu. Karena uang Papi sekarang memang hanya cukup untuk kuliahin kamu."

"M- Maksudnya?" Ujar Ana bingung, dahinya mengkerut kala mulutnya masih mengunyah.

Papi menghela nafas, lagi. Lalu menjauhkan piringnya yang masih berisi seperempat, tampaknya ia sudah tidak nafsu makan. Tangannya ia layangkan ke kepala, memegang dahi. "Kantor Papi pailit." Mendengar itu dahi Ana tambah mengkerut. "Semua uang tabungan Papi habis untuk bayar hutang dan gaji karyawan. Yang tersisa hanya uang tabungan untuk kuliah kamu, sengaja uang itu Papi nggak ganggu gugat karena itu demi masa depan kamu." Suara Adam terdengar bergetar.

Rosaline menghentikan makannya dan langsung memegang tangan Adam, menguatkan. Ana hanya memandang kosong ke satu arah.

"Papi nggak lagi bercanda 'kan?"

"Mana mungkin hal seserius itu dibercandain." Rosaline angkat bicara. "Alasan kamu nggak ngeliat Bi Wini hari ini, karena tadi pagi dia kita suruh pulang kampung. Bi Wini diberhentikan karena kita sudah nggak sanggup bayar."

Kepala Ana terangkat menatap wajah Mami dan Papinya. Wajah-wajah sedih, kesal, menyesal, dan marah yang bercampur jadi satu.

"Terus gimana, Mi? Uang bulanan Ana udah habis. Sekarang Ana harus minta ke siapa lagi?"

Gadis itu jadi menyesal mentraktir semua temannya minum-minum semalam. Uangnya ia benar-benar habiskan karena kalap. Kalau memang semua ini bukan mimpi, lalu bagaimana ia harus menjalani harinya esok. Atau yang lebih parah lagi, bagaimana ia harus menjalani hari ini?

Ana melihat Adam yang hanya diam, menatap ke lantai. "Ayo, dong, Papi, Mami, jawab..." Rengek Ana sambil menggenggam sendoknya kencang. "Apa nggak ada solusi lain?"

"Ada." ucap Rosaline cepat. Adam langsung menatap Rosaline dengan tatapan yang tak Ana mengerti. Rosaline menunduk, namun sejurus kemudian menatap Adam lagi. "Ini 'kan satu-satunya cara agar perusahaan kamu terselamatkan? Nggak ada salahnya kita ngelakuin ini."

Mendengar itu Adam langsung menggigit bibirnya. "Tapi aku belum siap. Anak kita masih terlalu muda."

"Apa, Mi, solusinya?" ucap Ana cepat, matanya berbinar memandang Rosaline. Namun yang menjawab kemudian bukanlah wanita itu.

"Menikahkan kamu dengan keluarga Bagaskara Group." suara Adam terdengar dalam dan berat. Sontak Ana benar-benar melotot. Kalau saja ia sedang makan, pasti semua isi mulutnya sudah muncrat keluar.

"Menikah? Yang bener aja!"

Rosaline berdiri. "Tapi ini satu-satunya cara agar perusahaan Papi selamat, Ana. Kamu harus mau!"

Ana ikut berdiri. "Ini nggak masuk akal. Apa korelasinya antara menikah dan perusahaan Papi selamat?" Ana melotot lebih besar lagi. "Ana masih 19 tahun, Mi."

"Mau tidak mau, kamu harus mau!"

Ana memutar bola matanya. "Dan Mami rela kehilangan masa depan Ana?" Tubuhnya ia condongkan ke depan sedikit, suaranya agak ia pelankan agar terkesan dalam. "Anak Mami satu-satunya."

Rosaline diam cukup lama lalu menatap Adam seakan dirinya meminta pendapat. Adam menatapnya juga. Sekali lagi, ia mengusap wajahnya. Mengusap wajah sepertinya merupakan kebiasaan baru pria itu.

Adam menggeser kursinya ke belakang lalu berdiri. "Begini saja, June datang hari ini. Kamu bisa lihat dulu, lalu pertimbangkan. Jika kamu tidak suka, it's okay, Na." Adam mengusap wajahnya lagi kemudian menatap ke seluruh ruangan. "Kita bisa jual rumah ini untuk bertahan hidup sementara waktu."

Ana mengeraskan rahangnya. June? Siapa June? Menjual rumah? Sial! Tak bisa ia bayangkan akan tinggal di rumah kontrakan kecil yang berada di dalam jalan-jalan tikus seperti yang pernah ia lewati ketika bakti sosial saat Sekolah Menengah Atas.

Kenyataan ini benar-benar membuat Ana benar-benar berfikir, padahal sebelumnya ia tak pernah benar-benar menggunakan otaknya untuk berfikir. Adam sudah pergi dan hilang dibalik tembok, Rosaline merapikan piring-piring kotor dalam diam. Ana terduduk. Matanya seperti panas, tapi untuk apa menangis?

"Mi, Ana nggak mau menikah. Titik." Ucapnya sambil menggebrak meja.

"Mami mau kamu menikah. Titik. Terlepas dari persetujuan kamu atau bahkan Papi." Kata Rosaline tegas. Ana langsung meluruh di kursi, kepalanya ia hempas ke belakang, lalu ia tegakkan kembali.

"Mami, Ana nggak mau-hu-hu" Rengeknya sambil menangis seperti bayi. "Ana nggak mau"

"Mami nggak siap hidup susah, Ana. Apa yang sekarang Mami miliki, Mami nggak akan pernah mau lepasin. Dunia itu memang kejam, tapi Mami harus lebih kejam supaya bisa bertahan hidup." Wanita itu mengangkat tiga piring kotor ke arah wastafel. "Papi kamu itu memang pintar, tapi nggak tegas dan suka limbung. Jadi ini saatnya Mami yang bergerak."

"Ana nggak akan mau me-ni-kah." Ana mengucapkan kata terakhirnya dengan intonasi putus-putus sarat akan penekanan. Matanya sudah sembab. Ia langsung berlari menuju kamarnya di lantai atas, menggebrak pintu dengan keras saat sampai di sana.

Rosaline hanya menghela nafas kemudian meniup rambutnya yang menutupi pandangan. Sial, ia harus mencuci piring sendiri lagi setelah sekian lama.

***

Jam menunjukan pukul empat sore. Perut Ana keroncongan karena ia dengan sangat terpaksa harus melewati jam makan siangnya demi melaksanakan demo makan. Iya, Ana sedang melakukan demo makan. Biarkan saja ia mati kelaparan agar Rosaline tau bahwa anaknya benar-benar tidak suka dengan keputusan sepihaknya itu. Yang benar saja, anaknya yang masih muda, cantik, dan tenar ini harus dipaksa menikah begitu saja. Memang ini masih jamannya perjodohan?

Ana mengusap pipinya sekali lagi, mengusap air mata terakhir sebelum ia berdiri, membenarkan letak bajunya, merapihkan rambutnya, dan melipat selimutnya. Iya, Ana kini urung melanjutkan demo makan. Biarkan saja ego dan harga dirinya tumpah ruah asal perutnya bisa terisi kembali.

Gadis itu berjalan pelan, saat tangannya baru menggenggam gagang pintu, suara ketukan dari luar terdengar. Suara Rosaline yang lembut menyapanya dari balik pintu. "Ana.. kamu kenapa nggak turun buat makan siang?"

Ana langsung menggigit bibirnya, tengsin. "Ana... males liat Mami." Ucapnya pura-pura kesal.

"Buka pintunya, Ana. Mami udah bawain kamu makan. Tangan Mami nggak bisa pegang gagang pintu karena bawa nampan."

Mata Ana melebar. Hati dan pikirannya berpisah separuh-separuh. Satu sisi, ia harus makan, persetan dengan harga dirinya. Di satu sisi lain, ia merasa tidak enak hati juga. Lalu bagaimana?

Dengan ragu ia memutar gagang pintunya. Pintu pun terbuka sedikit, dari celah kecil tersebut Ana bisa melihat nampan berisi sepiring nasi lengkap dengan sebuah apel dan segelas air putih. Namun saat Ana melebarkan pintunya, bukan Rosaline yang ia temui, malah seorang pemuda yang tubuhnya cukup tinggi. Sejurus kemudian, saat Ana masih bingung dengan situasi, Rosaline mendorong pemuda itu masuk. Lalu pintu ia tutup dengan bertenaga hingga menimbulkan bunyi debaman yang cukup keras. Bunyi kunci diputar terdengar dari balik pintu. Sial!

Ana yang tadi agak mundur karena kaget langsung menuju pintu lagi dan menggebrak-gebraknya. "Miiii! Apa-apaan sih, Mi?!"

"Kamu bisa kenalan dulu, Na." Ucap Rosaline keras agar suaranya bisa menembus pintu kamar.

Ana melotot ke pintu. Berharap wanita tua itu bisa melihat betapa marahnya ia. Kesal, ia memejamkan matanya lalu mengumpulkan tenaganya di tangan, kemudian memukul pintu dengan keras. Rosaline di luar sampai harus agak menjauh takut-takut pintunya roboh.

Ana menangis sambil masih menghadap ke pintu.

"Nggak usah nangis, mending lo makan dulu. Tadi kata Mami lo, lo belum makan siang." Suara laki-laki itu terdengar berat. Ia menaruh nampannya di baki samping ranjang Ana.

"Diem lo!" Sergah Ana.

"Disini, bukan cuma lo yang kena prank Mami lo yang rese itu. Gue juga." Nadanya terdengar sinis.

Sialan! Siapa nama cowok itu? Juna? Juni? Ah, siapa peduli.

"Lo mending sini deh. Nggak ada gunanya nangis, toh kita bakal dinikahin juga." Kursi rias Ana digeser. "Mending kita obrolin aja solusi dari semua ini. By the way, nama gue June."

Pelan-pelan Ana berbalik dan berjalan menuju June sambil mengusap-usap pipinya yang penuh air mata. Ana agak ragu saat mengampiri June, ia tak tau siapa laki-laki ini, tiba-tiba sudah ditinggalkan berdua saja dalam satu kamar. Dengan takut-takut, gadis itu menggeser kursi dari pojok ruangan dan ditempatkan di dekat baki. Sekarang posisi Ana dan June bersebrangan, dipisahkan oleh ranjang.

Ana memperhatikan June yang sedang sibuk memainkan ponselnya, mungkin sedang membalas pesan atau entahlah. Laki-laki itu tidak buruk-buruk amat: putih, tinggi, bersih. Setelannya santai dengan memadukan kaus putih polos dan celana pendek krem.

"Lo kenapa mau dijodohin?" Akhirnya Ana membuyarkan keheningan, membuat kepala June lantas terangkat menatapnya.

June hanya tertawa kecil sambil menggaruk-garuk telinganya. "Papah gue umurnya udah tua, bisa jadi ini mungkin permintaan terakhirnya."

"Kenapa lo nurut? Menikah itu kan sakral, nggak bisa dilakuin kalau cuma atas dasar dijodohin. Yang sama-sama cinta aja masih bisa berantakan, gimana kita?" Emosi Ana kembali meluap.

"Papah gue telat sukses, umur lima puluh tujuh baru punya perusahaan sendiri. Udah tiga tahun berjalan, masih sepi klien. Perusahaan Papi lo tuh udah punya nama dan sayang banget kalo sampe ditutup karena bangkrut. Jadi, Papah gue kekeh mau investasi semua asetnya untuk perusahaan Papi lo, pembagiannya nanti jadi fifty-fifty." Jelas June panjang lebar. "Tapi, denger-denger si Adam itu tengsin. Berita bangkrutnya perusahaan masih ia tutup rapet-rapet, nggak mau sampai ada yang tau. Maka dari itu, dia pikir orang bakalan curiga nanti kalau tiba-tiba ada perusahaan lain dengan cuma-cuma kasih semua aset ke dia. Lantas, ada perjodohan ini."

Ana mengernyit. "Jadi, lo bener mau dinikahin gitu aja sama orang tua lo?"

June balas mengernyit."Emang lo pikir gue mau nikah sama lo?" Kata June enteng, diakhiri tawa kecil di akhir.

Mendengar itu Ana melotot, lebar. Apa maksudnya? Tadi dia yang bilang mau menuruti kata-kata orang tuanya, sekarang dia bicara seperti itu?

"M-maksud lo?"

"Menikah perkara mudah: ijab kabul, selesai. Ngejalaninnya juga mudah kalo kita bisa kerja sama." Mata cowok itu intens menatap Ana sambil tersenyum tengil.

Ana masih belum mengerti. "Maksudnya apa 'sih?"

"Yaaa, menikah kita sebatas formalitas."

"Jawaban lo makan lama makin aneh!" Cibir Ana.

June menggeser bangkunya mendekat ke arah ranjang, agar wajahnya bisa menatap wajah Ana lebih intens lagi. "Gue tau lo nggak mau menikah, karena gue pun begitu. Maka dari itu di sini gue pengen lo denger saran dari gue. Kita menikah, undangan hanya keluarga dekat biar temen-temen kita nggak ada yang tau. Dan ini yang paling penting: kita bisa bersikap nggak kenal kalau di luar rumah."

Ana menatap June dengan bimbang. Ia menimang semua saran June yang ada benarnya itu.

"Dan gue juga nggak mau kita tidur sekamar." Ujar Ana.

"Oke." Jawab June mantap. Ana langsung mengangguk kecil, diikuti June.

June melihat Ana hanya memandang ke sudut ruangan dengan tatapan kosong seperti sedang menimang sesuatu.

"Jadi, lo bersedia 'kan menikah sama gue?" June bertanya dengan hati-hati.

Ana berfikir, tidak ada salahnya menikah. Toh laki-laki didepannya ini juga tidak benar-benar ingin menikah dengannya. Ini memang terlihat mudah. Ia tak perlu kehilangan rumah, ponsel mahal, dan barang-barang mahal miliknya. Ia hanya tinggal menyandang status sebagai menantu dari pemilik Bagaskara Group.

"Ya," suara Ana mengambang di ruang hening.

Mendengar itu, June lantas mengangguk dan berdiri. "Kita menikah dua bulan lagi, persiapin diri lo."

June berjalan ke pintu lalu mengetuk pintunya sambil bersuara, "Tante, June udah selesai bicaranya."

Begitu June selesai, suara kunci diputar terdengar. Terlihat Rosaline di balik pintu tersenyum sumringah kepada June.

"Lain kali, jangan tiba-tiba dorong June ya, Tante. Bikin kaget aja. Apalagi dikunciin sekamar berdua sama anak tante, nanti kalo June khilaf gimana?" Ujar June nakal. Rosaline tertawa mengekori senyuman sumringahnya.

"Kamu bisa aja!"

"Yaudah, June turun dulu ya, Tante. Mau ngobrol sama Om Adam."

"Iya. Om Adam ada di ruang tengah, kamu temuin aja."June mengangguk lalu sejurus kemudian menuruni tangga.

Kini tinggal Rosaline dan Ana. Rosaline melihat anaknya sedang makan dengan pelan sambil sesekali melamun. Ia pun menghampirinya.

"Gimana? June anaknya baik 'kan?" Ucap Rosaline sambil mengusap pundak Ana.

Melihat wajah Rosaline membuat Ana muak. Iya, Ana tau itu kata-kata paling durhaka, tapi kan kalian nggak pernah tau rasanya jadi Ana!

Ana menghela nafas, menenangkan dirinya. Kadang, kita bisa memilih hendak jadi apa dikehidupan. Dan Ana kini memilih untuk jadi anak baik saja. Ia tersenyum kecil pada Rosaline, seolah-olah semuanya normal. Rosaline menghela nafas lega dan tersenyum sumringah, lagi.

"Mami bangga sama kamu, Na." Ucap Rosaline kemudian ia menundukan tubuhnya untuk mencium dahi anaknya. Ana lagi-lagi hanya tersenyum, terpaksa.

Pernikahan ini paksa. Bahagianya pun juga terpaksa.