Setelah mengunjungi makam ibu, aku tidak tahu harus kemana selanjutnya. Aku tidak mungkin ke apartemen Steve sekarang, suasananya akan canggung. Tapi bagaimana dengan barang-barangku yang ada di sana?
Aku sepertinya tetap harus ke sana. Napas kuhembuskan kuat-kuat. Jika saja rambutku pendek mungkin aku juga akan mengacak-acak rambutku sebagai pengalihan rasa frustrasi.
Ah, apa yang harus kulakukan sekarang?
Pikiranku tiba-tiba teringat ibu. "Ibu, jika kau ada di sisi Helen sekarang, mungkin ibu bisa memberi Helen saran yang baik," gumamku tanpa sadar.
Ponselku berdering di detik berikutnya. Aku melihat layarnya yang langsung membuatku terdiam dengan kedua alis yang saling bertaut.
Nomor tidak dikenal menghubungi ponselku. Aku menggerakkan mobilku ke sebuah restoran lalu berhenti di parkiran untuk mengangkat panggilan. Setelah menghilangkan rasa ragu, aku mengangkat panggilan itu dengan sedikit gugup. Entah dari mana rasa gugup itu datang padaku.
"Halo?" ucapku pertama kali.
"Miss Davies." Suara ini. Ini Dave Wright.
"Mr. Wright?" kataku dengan nada tanya.
Aku ingin memastikan jika benar yang meneleponku ini memang Mr. Wright. Karena tidak disangka, di saat seperti ini mengapa justru Dave yang meneleponku.
"Yes, I'm. Kau dimana sekarang?"
Oh. Ternyata memang benar Dave Wright.
Mataku melihat ke luar jendela mobil. Aku memilih tempat untuk parkir di sebuah restoran. Setidaknya itulah yang kupikirkan sampai mataku menangkap tulisan besar di atas depan bangunan.
"Violet's Cafe," gumamku membaca nama bangunan itu.
Violet's Cafe, nama bangunan itu. Ternyata itu adalah sebuah kafe. Aku sengaja memilih parkiran sebuah restoran karena aku berencana untuk mengisi perut kosong karena makan siang yang tertunda.
Dave tidak langsung menanggapi, aku tidak memedulikan keheningan dalam panggilan yang berlangsung selama beberapa detik dan fokus pada bangunan di depan.
Aku memutuskan keluar dari mobil dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Mataku mengamati bangunan yang dindingnya didominasi kaca, memperlihatkan beberapa pengunjung yang berada di dalamnya. Aku masih mengamati sambil berjalan mendekati pintu masuk.
Tiba-tiba tubuhku menjadi kaku.
Bersamaan dengan kakiku yang berhenti melangkah, suara Dave terdengar di telingaku.
"Serius? Kebetulan aku dan Steve ada di Violet's Cafe."
Tubuhku tanpa aba-aba menahan napas. Aku meringis dalam hati saat mataku mendapati Steve dan Dave berada di dalam bangunan. Apa lagi kalau bukan sebagai pengunjung.
Detik berikutnya mataku bertatapan dengan mata Steve. Kami saling menatap selama beberapa detik.
Aku bingung bereaksi seperti apa. Steve bahkan tidak menunjukan perubahan sikap.
Dalam keadaan normal aku akan mengangkat tangan dan melambai pada Steve sambil tersenyum.
Namun setelah apa yang terjadi diantara kami, aku malah mengangkat wajah melihat ke atas seolah langit sangat menarik dilihat dibandingkan wajah tampan Steve.
Setidaknya langit lebih menarik dari pada apa pun yang ada di dekat kakiku. Karena itu aku tidak menunduk.
"Kenapa kau tidak mengatakannya sejak tadi?" aku menggerutu dalam hati.
Jika aku tahu mereka berada di sini, aku tidak akan keluar dari mobil.
"Apa? Oh, aku melihatmu." Suara di ponselku terdengar lagi.
Aku menutup mataku mendengar balasan Dave.
"Oke," ucapku sambil membuka mata.
Setelah menghembuskan napas yang tidak juga membuat suasana hatiku membaik, aku membalikkan badanku.
"Aku teringat sesuatu. Aku harus ke suatu tempat sekarang, sepertinya aku harus menunda makan siangku. Ada yang ingin aku lakukan."
Alasan klise untuk pergi. Aku tahu itu, tapi aku memang ingin melakukan sesuatu.
Ya, pergi dari sini adalah yang ingin kulakukan.
"Kau mau pergi kemana?" Aku menahan diriku untuk mematikan panggilan kami yang masih berlangsung dan memilih menjawab dengan jujur.
"Aku ingin ke apartemen. Sudah, ya." Setelah mengatakan itu, aku langsung mematikan panggilan di ponselku.
Dengan tergesa, aku berjalan menuju mobilku dan membuka pintunya lalu masuk. Dalam panggilan kami, aku lupa menanyakan alasan sebenarnya Dave menelepon.
Aku tidak menyangka otakku bisa berpikir cepat dalam situasi tadi. Aku tidak menyangka punya ide untuk ke apartemen Steve. Otakku melihat ada kesempatan untuk mengambil barang-barangku selama Steve berada di luar apartemen.
Entah apa yang Steve pikirkan tentangku saat tadi melihatku berbalik pergi. Aku tidak berniat membuatnya tersinggung.
Dering ponselku sekali lagi membuatku berhenti merenung. Aku melihat nomor yang sama. Dave menelepon lagi.
Aku mengangkatnya dan menyambungkannya dengan earphone nirkabel.
Aku bisa mendengar Dave memanggil namaku lagi saat aku sudah keluar dari wilayah parkir.
"Ada apa lagi?" tanyaku pelan, berusaha menjaga suaraku tidak terdengar galak.
"Tunggu kami di apartemen dan jangan pergi sebelum kami datang." Mataku nyaris keluar dari tempatnya saat suara Steve terdengar jelas di telingaku. Apa-apaan ini?
"Apa?" tanyaku tiba-tiba seperti orang bodoh. Aku hanya tidak mengerti, apa telingaku salah dengar?
Bukannya tadi Dave yang menelepon lalu sekarang mengapa suara Steve yang terdengar.
Tadi aku yakin Dave yang menyebut namaku pertama kali saat panggilan diangkat. Tapi yang menjawab pertanyaanku adalah orang yang berbeda.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Lebih tepatnya aku ingin menyampaikan pesan Mom." Aku termangu beberapa detik.
"Baiklah." Mungkin tidak akan nyaman jika dia berbicara lewat telepon karena itu dia ingin berbicara langsung di apartemen nanti.
Sudah pasti kami akan bertemu hari ini. Sepertinya harapan untuk tidak berhadapan dengan Steve hari ini menjadi mustahil.
Aku tidak bisa terus-terusan menghindari Steve. Padahal aku ingin ke apartemennya adalah untuk tidak berhadapan dengannya tapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Dengan pergi ke apartemen Steve, aku tidak akan terjebak makan siang di tempat yang sama dengannya. Dengan mengambil barang-barangku saat Steve pergi aku tidak akan berada di tempat yang sama dengannya untuk seterusnya karena sudah pasti aku akan pindah dari sana.
Sudahlah, lagi pula mau hari ini atau besok lusa kami pasti akan berhadapan. Masalah ini memang belum sepenuhnya selesai.
Mungkin mereka bertiga bisa mengadakan acara karena akhirnya pertunangannya bisa dibatalkan.
Tapi Dave yang harus mentraktir kami. Aku mendengus dengan lelah.
Apa-apaan ide itu? Sepertinya aku terlalu lelah.
"Kau baik-baik saja?" Aku lupa jika panggilan kami masih berlangsung.
Tidak, lebih tepatnya tadi aku mengira Steve sudah mematikan panggilan kami.
"Ya," jawabku ragu.
"Sampai bertemu di apartemen nanti."
"Iya," balasku sekali lagi lalu panggilan kami berakhir.
Tatapanku fokus pada jalanan yang aku lalui. Namun pikiranku seperti terbagi antara mengendarai mobil dan berpikir tentang apa pesan Mrs. Felton pada Steve.
Tiba-tiba aku tersenyum, mungkin dalam seminggu ini adalah hari yang paling mendebarkan bagiku. Saat Mrs. Felton datang padaku dengan sebuah tawaran pernikahan lalu tiga hari kemudian aku bisa bertemu langsung dengan Steve dan tinggal di apartemennya.
Dua hari kemudian aku sudah membatalkan pertunangan kami. Ah, jika dihitung lagi, aku hanya tinggal di apartemen Steve selama dua puluh empat jam. Hanya satu hari.
Satu hari tinggal bersama Steve tidak mungkin bisa kulupakan nantinya. Itu, tidak terlalu buruk, kan?
Tapi saat ini aku berusaha membohongi siapa? Diri sendiri?
Tidak. Aku tidak berbohong. Aku jujur mengatakan jika aku senang bisa berinteraksi dengan Steve.
Tapi siapa bilang jika aku senang saat ini, maka aku tidak akan sedih sekarang?
Berpikir untuk tidak berinteraksi dengan Steve lagi untuk hari-hari berikutnya cukup membuat pandangan mataku memburam karena air mata.
Kalau tahu akan seperti ini pada akhirnya, apakah aku akan tetap ingin menerima tawaran dari Mrs. Felton untuk menikah dengan putranya?
Mungkin aku menyesal.
Tapi, ini pertama kalinya aku bisa sedekat itu dengan Steve meski dalam waktu yang tidak lama.
*****
Kalau kalian suka dengan novel ini jangan lupa untuk komentar ya wahai pembaca yang baik hatinya ;)