Temaram malam mulai tampak. Butiran kerikil yang memancarkan cahaya terpendar di seluruh penjuru langit. Sinarnya indah, bak ribuan kunang-kunang yang saling berkejaran. Membuai, bagai sosok perempuan yang elok. Menari di tengah hamparan padang rumput yang hijau. Lekuk tubuhnya tampak nyata, belahan dadanya tampak begitu menggoda. Aroma wangi khasnya menjadi penanda, jika ia sedang jatuh cinta.
"Makan malam, Juragan," aku nyaris melompat, saat Bulik Amah masuk ke kamarku. Bahkan, aku ndhak mendengar ketukan pintunya tadi.
Buru-buru kututup bukuku, kemudian aku berdiri. Memandang penampilanku di cermin sekilas, kemudian melirik ke arah pintu.
"Di luar ada apa, Bulik, kok ramai?" kutanya. Sebab aku baru menyadari, jika ada percakapan yang cukup gaduh di luar. Bahkan, Biung terdengar tertawa beberapa kali.
"Ada pertemuan kecil-kecilan, Juragan. Ndoro Larasati ingin bertemu dengan beberapa pekerja di kebun teh."
"Untuk?" kutanya pada Bulik Amah lagi. Tumben benar.
"Ndhak tahu, Juragan. Tanya sendiri langsung," gemas Bulik Amah. Kujulurkan saja lidahku padanya, ia malah melotot.
Aku pun pergi, disusul langkah kecil-kecilnya. Mengitari ruang tengah seraya berharap jika seseorang yang kurindu ada juga di sana.
Kulirik kumpulan perempuan yang tampak duduk dengan rapi. Mereka sepertinya menikmati bercakap-cakap dengan Biung seperti ini. Kusapu satu persatu wajah mereka. Dan saat yang kucari ketemu, kusunggingkan seulas senyum sambil kulambaikan tanganku padanya, tapi ia menunduk.
"Juragan, apa yang sedang Juragan lakukan?" tanya Bulik Amah yang berhasil membuatku kaget. Aku baru sadar, jika sedari tadi dia ada di belakangku.
"Ada nyamuk, nakal. Makanya kutebas." dustaku. Dia melirik.
"Nebas nyamuk kok sama seperti orang dada."
"Apa? Dada? Buah dada?" tanyaku. Bulik Amah menepuk jidatnya.
"Dada, melambaikan tangan, Juragan," jelasnya. Aku manggut-manggut saja.
Dia pun kini berjalan mendahuluiku, membuatku kembali mengintip Arni yang masih sibuk di sana. Saat matanya menatapku, kubisikkan ini kepadanya, "kutunggu, di belakang, sekarang." Dan semoga ia paham tentang apa yang kuucapkan. Dan semoga... ia datang.
Aku pun cepat-cepat menyelesaikan makan, kemudian segera berada di pelataran belakang. Duduk manis di sini sambil melihat bintang-bintang. Aku yakin, Arni perempuan yang memiliki otak cukup tajam. Pastilah ia memiliki banyak ide untuk beralasan datang kesini. Jadi, aku akan menunggu.
Dan, kulihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Ini sudab satu jam, apa Arni ndhak paham isyaratku. Ataukah dia ndhak memiliki cara untuk kesini. Atau, dia ndhak ingin kesini? Jujur, aku kecewa.
"Untuk apa malam-malam kamu ada di sini? Janjian sama genderuwo?" tanya Romo. Kupikir, dia Arni.
Kugeser dudukku sebab Romo ikut duduk, kemudian kuembuskan napasku berat. Kurang ajar, lancang benar perempuan ndhak tahu diri itu mempermainkanku.
"Syukur-syukur genderuwo, Romo. Jangkrik saja ndhak ada yang mau denganku," kujawab. Romo menepuk-nepuk bahuku.
"Nasibmu, Le. Makanya, toh, jangan hanya punya wajah saya yang seperti romomu, tapi kelebihannya juga. Kamu ini bukannya ndhak laku. Tapi ndhak peka. Terlalu berambisi dengan satu hal hingga mengabaikan hal yang lainnya. Iya, itu kamu."
"Ajaran siapa dulu, Romo," ketusku. Romo malah tertawa.
Jelaslah aku sedikit banyak ndhak mirip dengan Romo Adrian meski aku adalah anak kandung beliau. Lha yang mengurusku, mendidikku, dan yang kutiru sedari bayi hanya Romo Nathan. Bagaimana bisa aku ndhak sepertinya.
"Kamu ini sudah cukup matang, lho, Jun...," kata Romo yang tampak mulai serius. "Kamu tahu, toh, kalau Romo ndhak peduli siapa pun di antara anak Romo yang akan menikah terlebih dahulu?"
"Iya, Romo," jawabku. Romo Nathan tampak menghela napas panjang.
"Kamu selalu Romo dan Biung tinggalkan, dan Romo yakin, hidup sendirian sangatlah berat. Romo sudah merasakan akan hal itu, Jun. Berbeda cerita jika kamu memiliki kawan hidup, segala resahmu bisa kamu ceritakan. Segala kesusahanmu pasti ada yang membantu. Percayalah pada Romo," katanya.
Aku tahu, sejatinya Romo mengatakan hal yang benar. Pernikahan adalah hal yang musti aku pikirkan. Terlebih, di saat seperti ini, panen di beberapa tempat gagal. Jika aku punya pendamping hidup, pastilah aku bisa menyampaikan keluh kesah ini, dan ndhak menyimpannya sendiri.
"Aku ingin menikah Romo. Tapi jujur, aku belum mencari. Aku ingin memiliki istri yang punya sifat keibuan, yang memiliki sifat sabar dan welas asih. Kurasa aku belum menemukannya," jawabku. Romo tampak manggut-manggut.
"Dewasa bukan berarti yang sudah memiliki anak beserta suami, pun janda, lho, Jun. Masak menikah sudah seperti beli undian berhadiah saja, beli satu gratis tujuh."
"Seperti Romo ndhak menikah sama janda saja," godaku. Romo malah tertawa.
"Lho, jangan salah. Biungmu itu rasanya seperti perawan. Sekali nyoba bikin nagih!" ujarnya. Aku hanya senyum saja. Kemudian Romo merangkul pundakku. "Jangan perempuan itu, Jun. Jangan,"
Kutundukkan wajahku mendengar ucapan Romo. Rupanya berat. Ya, memang ini benar-benar ndhak mungkin.
*****
Bunga memang cantik....
Namun pelangi jauh lebih indah....
Sama halnya dengan perempuan,
Mereka ditakdirkan begitu cantik....
Namun, kamulah yang terindah....
Sayang itu tulus....
Rindu itu sesak....
Tapi, cinta tetaplah indah....
Dan, cinta itu... kamu.....
Jika kurasa sesak, maukah cinta datang menemuiku, agar sesak yang ada di dada menguap bagaikan embusan napas dalam kaca....
Kucoret, kutulis, kucoret lagi. Sampai akhirnya aku benar-benar yakin tentang apa yang kutulis saat ini. Setelahnya, kulipat kecil kertas yang berisikan hal bodoh itu, lalu kumasukkan ke dalam tempat rokok yang kosong. Kubawa ke kebun barangkali ada orang yang bisa menyampaikan ini pada yang kurindu.
"Nikmah...," seruku, perempuan bertubuh mungil itu memandangku takut-takut. Kemudian ia mendekat seraya menunduk. "Bisa aku minta tolong padamu?" tanyaku. Mata kecilnya tampak memandangku.
"Minta tolong apa, Juragan?" tanyanya takut-takut. Bercakap denganku adalah kali pertama, aku yakin jika ia sungkan.
"Berikan rokok ini kepada Arni, untuk suaminya. Bilang kepadanya jika sebelum memberikan periksa dulu isinya. Barang kali jumlahnya kurang...,"
Nikmah tampak bingung, aku yakin dia telah ndhak paham.
"Kemarin aku sempat minta tolong kepada Muri untuk mengantarkanku. Ini adalah upah untuknya," jelasku. Dan Nikmah baru mengerti.
"Baik, Juragan, akan saya sampaikan," jawabnya mantab. Dia pun langsung pergi setelah mengambil bungkus rokok itu. Tampak jelas, ia berlarian menghampiri Arni, memberikannya seraya berbisik.
Aku tersenyum, saat Arni memandang ke arahku. Kemudian aku pergi sambil menelusuri jalanan becek akibat hujan. Ya, musim penghujan akan berhenti. Dan panas telah menanti.
Siangnya, aku sudah duduk di gubug dekat kebun teh. Aku tahu, jika hari kamis seperti ini Arni akan pulang belakangan. Kemudian ia akan lewar tempat ini untuk mengambil beberapa batang bambu atau kayu bakar sebelum ia pulang.
Terdengar dengan jelas suara kayu yang tengah patah. Dipatahkan dengan paksa oleh seseorang yang akan mengambilnya. Suasana cukup sepi, membuatku bisa untuk memberanikan diri untuk sekadar mendekat, menyampaikan rasa sesak yang menumpuk di dada. Layaknya penyakit menahun, ini benar-benar sangat menyakitkan.
"Arni," kataku, sambil menarik tangannya dan menghimpitnya di pohon jati. Mata Arni tampak terkejut, tapi dia ndhak melakukan perlawanan apa pun.
"J... Juragan! Kamu--"
Kulumat bibirnya sebelum ia mengatakan apa pun. Kucumbu dan kukenali bibir manis Arni. Aku benar-benar ndhak tahu, hanya dengan menciumnya gairahku bisa seperti ini. Mendesak, meronta untuk terus bertahta dengan perkasa. Pelan, kulepas cumbuanku padanya, bisa kulihat wajah Arni tampak memerah, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tapi, ndhak kubiarkan. Kuangkat dagunya sampai kedua bola matanya memandang ke arahku. Aku pun tersenyum dibuatnya.
"Arni, jika kamu mengenalkanku dengan rindu, kenapa kamu dengan lancang membiarkanku merasakannya sendiri?"