webnovel

Jiyuu: Labirin Seribu Dunia

Rumahnya dilalap kobaran api dan Marnie bersumpah itu bukan salahnya. Agen A-8989 atau Riku, lelaki berseragam tentara masa penjajahan, menyangkal. “Kau sudah mati dan inilah hukumanmu.” “Aku belum mati.” “Terjebak di dunia yang kau sebut neraka, tapi bersi keras kalau masih hidup?” “Bukannya kau sendiri yang bilang, kalau aku mungkin masih hidup karena bisa keluar masuk semua dunia alternatif itu sesukaku?” “Tetap saja,” Riku meledek, “Kau terkurung di Labirin Dunia ini bersamaku.” “Tapi kau akan membantuku keluar, kan?” “Asalkan kau membantuku membebaskan seribu jiwa yang bersalah dari labirin ini terlebih dahulu.” Marnie membuka salah satu pintu di lorong rumah sakit itu. “Siap?” Tatapan Riku menajam saat mereka memasuki ruangan gelap di baliknya. “Aku akan mencarimu.” “Sampai jumpa di dunia yang baru.” Sesaat kemudian, Marnie membuka mata dan dia ada di dunia alternatif yang tidak dikenalinya – dalam tubuh yang bukan miliknya. Tapi itu tidak masalah, bahkan jika bulan di atasnya retak dan perlahan runtuh sekalipun. Riku pasti menemukannya. Karena mereka berdua akan membebaskan jiwa bersalah yang terperangkap dalam Labirin Dunia. Perlahan tapi pasti, keduanya menjadi dekat. Namun, akankah mereka tetap bersama, bahkan jika Marnie mengetahui rahasia kelam di balik kematian Riku dan peyebabnya menjadi agen Labirin Dunia? Akankah Marnie hidup kembali dan meninggalkan Riku selamanya? ーーー #WSA2022 #transmigrasi #romance #fantasy #isekai #adventure #drama #love #mystery #death #alternateuniverse #dunialain #cintaabadi #perjanjian #fatedlove

restlessmuffin · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
12 Chs

Dunia Neraka

"Ini di mana, Pak?"

Itulah pertanyaan pertama yang Marnie ungkapkan untuk menangggapi kegilaan yang dialaminya.

Sopir taksi sedikit menatapnya heran. Bukan lagi melalui cermin kecil yang menggantung di atasnya, tetapi langsung menoleh ke belakang. "Kira-kira masih dua, tiga kilo sampai Kaliwungu, Mbak. Tapi, yah, paling sampai dua jam kalau menurut saya."

Kedua manik coklat Marnie menggerayang sekeliling. Taksi yang ditumpanginya tidak bergerak maju sedikit pun. Sama halnya dengan ratusan kendaraan yang memenuhi jalan.

Kaliwungu – itu adalah nama daerah di antara kota Semarang dan Kendal. Mungkin sekitar satu jam dari Semarang, kalau mengendarai motor. Dengan mobil taksi, mungkin akan lebih lama sedikit. Namun, melihat stagnasi ini, Marnie tidak yakin.

Mengernyit bingung, Marnie kembali mengamati pantulan dirinya di kaca spion di atas sopir.

Wajah ini asing. Dengan gurat tegas dan make-up yang terlihat profesional. Tidak terlalu menor, terkesan berkelas. Pakaian yang dikenakannya pun masih rapi, meski sopir taksi sempat mengindikasikan kalau dia tertidur cukup lama.

Tapi dia tidak tidur. Marnie tahu betul soal itu.

Menghadapi kegilaan ini, perempuan yang kini berdandan necis itu kini benar-benar yakin akan apa yang dikatakan si tentara Jepang sebelumnya.

Dia sedang berada di neraka.

Dan ini – menurut tebakan Marnie dengan keyakin empat puluh, atau tiga puluh tujuh persen benarnya – adalah sel neraka yang rasanya personal.

Versi neraka ini berbeda dengan miliknya. Tidak ada lorong rumah sakit, tapi jalan tol yang padat merayap. Tidak ada kobaran api, namun macet yang menjalar dari ujung ke ujung. Terlebih lagi, langit di atasnya berwarna merah. Seperti warna darah yang sungguh pekat. Marnie menyimpulkan kalau ini adalah neraka orang lain.

Tapi ada hal yang tidak dimengertinya.

Kalau setiap pintu di lorong rumah sakit itu membawanya ke sebuah dunia milik seseorang, kenapa dia bisa masuk ke sini dalam tubuh orang lain?

Mungkinkah dunia ini milik orang yang tubuhnya sedang ditumpangi Marnie?

"Ah, kenapa aku bisa pusing, sakit kepala begini kalau memang sudah mati?"

"Gimana, Mbak?" Sopir taksi itu tiba-tiba menyahut.

Marnie keceplosan. "Enggak, Pak. Heran saja, kok jalan tol bisa macet begini parahnya?"

"Biasa lah, Mbak. Musim mudik begini. Nggak greget kalau nggak macet," sopir berkumis itu tertawa ringan. Pastinya kesenangan itu berhubungan dengan agro mobil yang terus berjalan, meski kendaraan ini tidak bergerak satu inci pun.

Hal itu pula lah yang memberi tahu Marnie kalau sopir taksi ini bukan pemilik dunia ini. Namun, untuk apa pula dia memikirkan siapa pemilik sel ini, toh dia tidak peduli. Asalkan tidak kembali berlari dalam lorong rumah sakit dan dipaksa menyaksikan rumahnya yang kebakaran, Marnie tidak akan begitu menderita.

"Tolong!"

Baru saja dia kepikiran, ternyata ada orang yang meminta tolong di sini.

"Tolong! Aku harus membawa ibuku ke rumah sakit sekarang juga! Siapapun, aku minta tolong!"

Marnie mengikuti gerakan sopir taksi yang menoleh ke sumber suara.

Seorang pemuda melambai-lambaikan tangannya. Dia terlihat panik, sesuai dengan teriakan yang digaungkan. Sayang, terik dan penat akibat kemacetan ini membuat tak satupun orang yang terduduk di dalam kendaraan maising-masing untuk tergerak hatinya.

Yah, lagi pula, sudah sepuluh menit lebih Marnie berada di sini, dan tidak satu milimeter pun taksi ini bergerak. Kecuali ada orang kaya yang tiba-tiba muncul dengan helikopternya, Marnie yakin tidak ada yang bisa menolong pemuda itu.

Pemuda yang panik itu semakin mendekati mobil taksi yang ditumpanginya. Tanpa disangka, dia mengetuk jendela di samping Marnie.

"Tolong aku," pemuda itu sedikit berteriak, mungkin takut kalau Marnie tidak akan mendengarnya dengan kaca jendela mobil yang membatasi mereka. "Ibuku sedang sekarat, dia butuh pertolongan sekarang juga."

Marnie beradu kontak dengan sopir taksi melalui cermin kecil itu. Pria berkumis itu menggeleng kepala, menyuruhnya untuk mengabaikan pemuda yang masih memohon-mohon di luar kendaraannya.

Tidak tahu kenapa, Marnie membuka pintu mobil taksi itu. "Dia sakit apa?"

"Aku tidak tahu," pemuda itu menjawab. Melihat kerutan di dahi Marnie, dia buru-buru menambahkan agar tidak dicap anak tidak perhatian – mungkin. "Ibuku terus batuk."

"Batuk?"

"Batuk berdarah," jawab pemuda itu agak pelan, tangannya bergerak ke bawah.

Marnie mengikuti, hingga dia menangkap warna merah di kaos oblong yang dikenakan pemuda itu. Bercak darah. Pekatnya sewarna dengan langit di atas mereka semua.

"Aku bukan dokter," ucapnya agak ngeri, namun juga tidak menolak mentah-mentah.

Satu kalimat itu semakin menggoyahkan pemuda yang sudah panik. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tolonglah. Setidaknya, ada orang lain yang menemaninya di kursi belakang."

Dengan itu, Marnie mengikuti langkah pemuda yang masih panik, meski sopir taksi yang ditumpanginya hendak melarang. Mungkin takut kalau Marnie tidak membayar tarifnya. Jelas-jelas tidak ada mobil yang bergerak, bagaimana mungkin Marnie bisa kabur dari kemacetan di jalan tol ini?

Benar katanya. Ibu pemuda itu terkulai sendirian di kursi belakang sebuah mobil. Dia terus terbatuk. Warna merah merembes dari sapu tangan yang digunakan untuk menutupi mulut. Marnie segera masuk dan mendudukkan diri di sampingnya.

"Bu, coba tarik napas panjang," usul Marnie dengan lembut. Tangannya diletakkan di punggung wanita paruh baya itu, mengelus pelan sebisanya.

Dia asal mengucap yang terpikirkan. Memang bukan dokter, namun dia cukup sering mengalami flu dan batuk. Salah satu upaya meredam batuk versinya adalah dengan menarik napas panjang. Atau minimum air.

"Kau punya air?" Marnie buru-buru bertanya pada pemuda yang melihat penuh khawatir dari kursi kemudinya.

"Tidak ada," ucapnya dengan rasa frustasi yang kental. "Aku akan mencarinya."

Belum sempat pemuda itu keluar, tangan Marnie diremas kencang oleh wanita yang masih terbatuk itu.

"Tunggu," Marnie menghentikan gerakan pemuda yang sudah membuka pintu mobil. Dia memandang wajah wanita di sampingnya. Rasanya, Marnie langsung mengerti akan apa yang diinginkan tanpa sebuah kalimat verbal. "Ibumu tidak ingin kau pergi."

"Aku hanya pergi sebentar, cari minum," kata pemuda itu sebelum keluar dari mobil untuk menjalankan misinya.

Marnie hendak berteriak melarangnya agar tidak meninggalkan sang ibu. Napas wanita paruh baya itu semakin tersenggal-senggal. Bahunya gemetaran mengikuti batuk yang semakin menjadi. Dia sebenarnya juga bingung harus melakukan apa.

Dia mendadak panik ketika batuk ibu pemuda itu berhasil memuntahkan segumpal darah merah di sapu tangannya.

Seketika itu pula, wanita paruh baya yang baru saja ditemuinya benar-benar terkulai lemas di jok belakang sebuah mobil. Kelopak matanya menutup pelan. Tidak lama kemudian, dia mengambil napas terakhirnya. Dihembuskan dengan sangat pelan.

Akhir hidup manusia, disaksikan langsung secara eksklusif oleh Marnie.

"Ibu?!" Teriakan itu terdengar amat jelas. "Apa yang kau lakukan pada ibuku?!"

Pemuda itu membuka pintu belakang dan menarik Marnie keluar. Dengan kasar, dia kemudia mendorong tubuh Marnie hingga membuatnya jatuh ke jalan tol yang terbuat dari beton.

"Aku tidak melakukan apapun," Marnie bangkit berdiri, memandangi pemuda yang kini menangis histeris mendekap tubuh tak bernyawa milik ibunya.

"Kau!"

Seketika itu pula emosi lain menenggelamkan duka si pemuda yang tidak menemani saat-saat terakhir ibunya.

"Kau membiarkan ibuku meninggal!"

Marnie tidak habis pikir. "Jangan asal menuduh. Kau sendiri yang pergi, meski sudah kubilang untuk sebaliknya."

"Diamlah! Kau tidak tahu apa-apa!"

Jengkel menerima tuduhan, Marnie melepas sedikit emosinya. "Aku di sini karena kau membutuhkan bantuan."

"Lalu kenapa ibuku bisa meninggal begitu ku tinggal sebentar denganmu?"

"Mana aku tahu? Yang pasti, ibumu melarangmu pergi, tapi kau tidak mengacuhkannya, bukan?"

Si pemuda geram dengan tuduhan yang dibalikkan Marnie. "Kubilang aku cuma pergi sebentar."

"Dan dalam waktu 'sebentar' itu membuatmu kehilangan saat-saat ibumu menghembuskan napas terakhirnya. Anak macam apa kau?"

Marnie kehilangan kesabaran. Emosinya meluap tanpa kendalinya. Seperti terpancing oleh amarah pemuda itu sendiri. Dia segera menutup mulutnya, namun tidak ada niatan untuk menarik kata atau bahkan meminta maaf pada lawan bicaranya.

Menghadapi itu, pemuda di depan Marnie kembali bermain tangan. Bukan hanya sekedar mendorong. Dia bahkan berani menampar seorang perempuan sekarang.

Plak!

Telak ke pipi Marnie.

Rasa panas dan sakit menjalar tak lama kemudian. Namun, pandangan Marnie malah memudar.

Dan begitu dia berkedip, Marnie kembali terduduk di jok belakang sebuah mobil.

"Sudah bangun, Mbak?"

Seorang sopir taksi yang berkumis itu bertanya. Mereka berkontak mata melalui kaca cermin yang menggantung di depan.

"Macetnya parah banget. Mungkin baru bisa keluar tol dua jam lagi. Kalau mau tidur lagi nggak apa, Mbak. Nanti saya bangunin kalau sudah sampai."

Marnie tidak menggubris perkataan sopir taksi. Dia membeku. Kedua matanya tidak bisa terlepas dari pantulan cermin kecil itu.

Itu bukan wajahnya.

Ini bukan dunia miliknya.

'Jadi dunia di balik pintu labirin ini sudah di-reset kembali? Berarti ini neraka milik pemuda itu.'

Marnie menghela napas menatap langit semerah darah melalui jendela taksi yang ditumpanginya. Kemudian dia membelalak. Kedua matanya menangkap sosok lelaki yang dihindarinya.

Agen A-8989, atau yang telah dia nobatkan bernama Riku, melangkah santai di belakang pemuda yang kini berteriak minta tolong di sela-sela kendaraan yang terjebak macet. Pedang di tangannya nampak mengkilap, terkena sinar matahari yang baru disadari Marnie berwarna hijau.

Sebuah seringai nampak jelas di wajah lelaki Jepang yang berseragam tentara masa penjajahan itu.

Marnie tidak bisa kabur.