webnovel

JERITAN HATI SANG KUNTILANAK

Astrea Bulan mendatangi sebuah kampung yang lokasinya terpencil di tengah hutan. Kampung itu bernama Talu-talu. Tujuannya ke sana hanyalah untuk menguji nyali. Konon, di sana ada Kuntilanak Merah yang terkenal kejam dan suka membunuh siapa saja yang mengusik ketenangannya. Namanya Rarashati. Kabarnya lagi, Kuntilanak itu sudah mati sekitar lima puluh tahun yang lalu. Kisahnya yang tragis membuat Astrea Bulan semakin penasaran. Namun, tentu saja tidak mudah untuk menemui Kuntilanak Merah tersebut. Banyak hal-hal yang tidak diduga yang dia alami. Salah satunya, Astrea Bulan terpesat ke alam gaib dan waktu mundur lima puluh tahun dari sekarang. Apakah Astrea Bulan sanggup keluar dari dimensi lain dan kembali lagi ke zaman kini? Ikuti kisahnya dan waspadalah.

Triboy_Mustika · Horreur
Pas assez d’évaluations
17 Chs

12. Goreng Pisang Sang Kuntilanak

"Assalamualaikum, Mak?" Bang Arya mengedor pintu seperti orang terdesak boker.

"Woles, Bang. Bisa saja emaknya Abang lagi di dapur" Aku berdiri di belakangnya dengan sedikit kesal.

"Duh, emakku itu memang sedikit bermasalah dengan telinganya, Bulan. Duh, nama kau tak enak sekali di lidahku. Kau jantan, tapi nama melambai. Salah makan obat bapak kau pas ngasih nama kurasa."

Aku memencongkan bibir. Pret dah. Bawa-bawa bokap lagi. "Lambemu, Bang, belum pernah ditepok sandal kayaknya. Abang doang yang manggil aku Bulan. Kalau teman-temanku memanggilku Aster."

"Aster?" Dia menoleh, meremehkan. Bibirnya mengambang gitu. Huh!

"Iya!" Aku melipat tangan, kepala mendongak, "keren 'kan?"

"Keren? Cuih! Yang aku tahu itu Astor. Baru enak dikunyah. Kalau engkau? Menatap wajah kau saja membuatku ejakulasi dini." Dia kembali menggedor pintu.

"Woy! Santai, dong, moncongmu, Bang! Coba Abang bercermin. Wajah kita itu 12 : 12. Heran aku, tuh, sama congor Abang yang tidak ada bandrolnya itu." Wajarlah, ya, aku marah. Dari tadi kubiarkan saja dia menghina-hina dan merepet-repet kayak ayam habis disentil bijinya.

"Huh, pemarah! Enggak asyik." Segitu doang komentarnya. Kirain dia mau ngajak berantem. Syukurlah. Worry juga aku tadi, tuh, kalau dia tersinggung. Bisa-bisa diusir aku nanti.

Ketika aku hendak membalas kata-katanya lagi, mendadak dari dalam rumah terdengar langkah kaki. Lalu terdengar grandel pintu ditekan.

"Sudah pulang kamu, Nak?" Seorang perempuan tua berwajah ayu, muncul dengan tongkat di tangannya. Aku prediksi dia pasti sangat cantik ketika muda.

"Sudah, Mak!" Arya menjawab dengan setengah berteriak, membuatku kaget. Reflek kupukul bahunya. "Kenapa, sih? Sakit, Njir!" Dia melenguh sambil mengusap-usap bahunya.

"Abang, sih! Teriak 'nggak kira-kira. Budek ,nih, kuping!"

"Kamu bicara sama siapa, Nak?" Pertengkaran kami langsung berhenti ketika emak-emak ayu ini menatap kami silih berganti, lalu gantian terkejut sambil membekap mulut.

"Kenapa wajah kalian ...?" Dia tersurut mundur. "Celaka! Celaka dua belas. Ya Tuhan, apakah ini tandanya?" Mata si emak yang belum kutahu namanya itu terbelalak menatap kami silih berganti

"Ada apa, sih, Mak? Horor banget, deh!" Aku berseru enggak kalah kerasnya. Si ibu mundur semakin menjauh dari kami. "Emakmu kenapa, Bang? Bikin parno aja."

"Meneketehe! Sudah, jangan dipikirin! Namanya juga orang tua. Kuy, ke kamar."

Giliran aku yang terkejut. " Ke kamar? Ngapain, Bang?" Aku mendekati pintu keluar rumah.

"Brengsek! Pikiran kau kotor sekali. Katanya kau mau tinggal di sini. Mau ganti baju. Apa kau berubah pikiran?" Dia menatapku malas. Lalu tanpa memedulikanku lagi dia berjalan mendekati sebuah kamar berdinding bambu.

Aku segera mengikutinya. "Maaf, Bang. Aku lupa. Kalian orang sini pada hobi masukin orang asing ke dalam kamar. Pas aku sampai di sini, Si Rara juga membawaku ke kamarnya."

Bang Arya yang sedang mengutak-atik lemari kayunya, sontak berbalik menatapku. Wajahnya merah padam.

"Rara?"

"Iya. Rarashati."

Aku tidak bisa menebak kenapa wajah Bang Arya berubah mengelam dan matanya menyiratkan kemarahan.

"Kau kenal Rara?" Tangannya kulihat mengepal. Kentara sekali dia sedang menahan amarah.

"Ya kenallah, Bang. Kan dia yang membawaku ke desa ini. Sekarang dia entah di mana. Ngilang begitu saja. Dasar setan tidak punya akhlak!"

BUKKK!

Tubuhku terjengkang. Hidungku terasa patah. "Abang kenapa?" tanyaku sambil menahan rasa sakit. Belum sempat aku berdiri kali ini kaki Bang Arya hinggap di perutku.

"Aduh, sakit, Bang! Hentikan! Abang kenapa, sih?" Aku benar-benar tidak mengerti. Bang Arya jongkok di depanku. Tangannya mencengkram leherku kuat. Membuat lidahku luntang-lantung tidak karuan.

"Dengar, ya, Bulan! Kau tidak perlu memanas-manasi aku. Aku percaya sama Rara. Dia tidak akan segampang dan semudah itu memasukkan lelaki otak kotor macam kau ini! Jangan coba-coba merusak cintaku dengan Rara, Bulan! Atau kubikin hangus perkutut tak bergunamu ini!"

Aku menjerit ketika tanpa kuduga, Bang Arya menyentil goreng pisang di dalam celanaku. Sukses dia membuatku melejang-lejang seperti ayam siap disembelih.

Bersambung ....