webnovel

Janji Suci Yang Ternoda

Lentera_Hati · Romance
Pas assez d’évaluations
15 Chs

Bab 1

Setelah dua bulan bertunangan, Devian dan Nadine akan segera melangsungkan pernikahan mereka. Pernikahan yang sudah ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga mereka. Namun, ada hal yang sangat mengganggu pikiran Nadine, wanita berjilbab itu merasa takut jika rahasianya terbongkar.

Tidak ada niatan untuk berbohong, tetapi keadaan yang membuat Nadine harus merahasiakannya. Ia terlalu takut jika sampai Devian tahu, pernikahan mereka akan terancam batal. Nadine juga tahu resiko apa yang akan ia tanggung jika sampai rahasianya terbongkar. Ia sudah ikhlas jika nanti Devian akan meninggalkan dirinya.

Kini hari bahagia itu telah tiba, di mana Devian sudah duduk di depan pak penghulu dengan balutan jas berwarna hitam. Tak lupa peci dengan warna senada, aura ketampanannya terpancar, tidak bisa dipungkiri jika Devian menjadi idaman para kaum hawa. Wajah tampan, kulit putih, alis tebal, rahang kokoh serta sorot mata yang tajam. Sungguh sempurna, banyak wanita yang sangat berharap bisa menjadi pendamping hidupnya.

Perlahan tangan besar Devian menerima jabatan tangan pak penghulu, tak lupa ia berdo'a dalam hatinya agar ijab qobulnya bisa berjalan dengan lancar. Devian menarik napasnya dan membuangnya secara perlahan. Ia mendengar baik-baik apa yang pak penghulu itu ucapkan, meski gugup tetapi Devian tidak ingin membuat malu. Ia membuang jauh-jauh rasa gugup dalam dirinya.

"Saudara Immanuel Devian Pradana bin Gunawan Pradana saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Nadine Alifya Farhana binti Irawan Nugraha dengan maskawin uang sebesar seratus juta rupiah dan emas seberat lima puluh gram serta seperangkat alat sholat dibayar tunai," ucap pak penghulu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Nadine Alifya Farhana binti Irawan Nugraha dengan maskawin uang sebesar seratus juta rupiah dan emas seberat lima puluh gram serta seperangkat alat sholat dibayar tunai," jawab Devian dengan suara yang tegas dan juga lantang.

Detik itu juga kata 'sah' terdengar memenuhi ruangan. Devian bersyukur karena ijab qobulnya berjalan dengan lancar. Setelah itu, Widya menuntun putrinya keluar dari kamar dan menuju ke pelaminan. Semua mata tertuju pada wanita dengan balutan baju pengantin berwarna putih itu. Tak lupa jilbab dengan warna senada menutupi kepalanya.

Devian tersenyum saat melihat wanita yang ia cintai berjalan ke arahnya. Pria berjas itu mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri duduk di sebelahnya. Sebelum mereka menerima ucapan selamat dari para tamu undangan, terlebih dahulu keduanya harus menanda tangani akta nikah mereka. Setelah itu barulah Devian dan Nadine berdiri di pelaminan.

"Cantik." Devian menatap lekat wajah sang istri.

Nadine hanya tersenyum. "Terima kasih."

"Andai kamu tahu yang sesungguhnya, apa kamu akan memaafkan aku," batin Nadine, tiba-tiba pikirannya menerawang ke masa di mana kejadian buruk itu menimpanya.

Nadine tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika suami dan mertuanya sampai tahu apa yang telah ia rahasiakan. Nadine berharap semoga hal buruk tidak akan terjadi, meski ia tahu jika kebohongan suatu saat bisa terbongkar. Serapat apapun kita menyimpan bangkai, pasti baunya akan tercium juga.

"Selamat ya, akhirnya kalian menikah juga," ucap Riko rekan kerja Devian.

"Sama-sama, kapan kamu nyusul," jawab Devian.

"Haha, santai aja, Bro. Tidak lama lagi kok." Riko menepuk bahu Devian.

"Ok, aku tunggu kabarnya," ujar Devian dengan tersenyum.

"Selamat ya, Dev. Semoga pernikahan kalian langgeng ya," ucap Amara, teman sekaligus sekretaris di kantor Devian.

"Iya, terima kasih," jawab Devian. Sementara Nadine hanya tersenyum.

"Nadine, selamat ya. Semoga rahasiamu aman," bisik Amara tepat di telinga Nadine.

Pikiran Nadine menjadi tidak karuan setelah mendengar bisikan dari Amara. Mereka memang sudah lama saling kenal, bahkan Nadine juga tahu jika Amara sudah lama menyimpan rasa pada Devian. Namun selama ini, Devian hanya menganggap Amara sebagai teman. Nadine tidak mengerti kenapa tiba-tiba Amara berucap seperti itu, mungkinkah dia tahu rahasia yang ia sembunyikan.

***

Pukul tujuh malam, acara telah selesai saat ini Devian dan Nadine sudah berada di dalam kamar. Saat ini Nadine tengah duduk di depan meja rias untuk membersihkan sisa makeup, sementara itu Devian baru saja keluar dari kamar mandi. Pria beralis tebal itu baru saja selesai membersihkan diri, Devian keluar dengan hanya mengenakan handuk kimono.

"Sini aku bantu," ucap Devian saat melihat istrinya kesulitan melepas baju pengantinnya.

"Ah, tidak usah, Mas. Aku .... "

"Kesulitan 'kan, udah diem aja. Lagi pula kita kan sudah sah," potong Devian dengan cepat. Mau tidak mau Nadine memilih untuk menurut.

"Ya Allah, betapa baik dan perhatiannya mas Devian. Andai dia tahu yang sesungguhnya apakah dia mau memaafkan aku. Maafkan aku mas, aku tidak berniat untuk membohongimu," batin Nadine.

"Sudah." Devian tersenyum lalu beranjak menuju ranjang, untuk mengambil pakaiannya.

"Terima kasih, Mas," ucap Nadine yang dibalas dengan anggukan oleh Devian.

Setelah itu, Nadine bergegas mengambil handuk dan baju ganti lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Sementara itu, selesai berpakaian Devian memilih untuk duduk di sofa sembari membuka ponselnya. Ada pesan dan email yang masuk yang belum sempat ia buka. Meski Devian mengambil cuti untuk tidak bekerja, tetapi pria beralis tebal itu tidak bisa santai seenaknya.

Selang beberapa menit pintu kamar mandi terbuka, Nadine keluar dengan balutan baju tidur dan jilbab instan berwarna merah muda. Nadine berjalan mendekati suaminya yang tengah duduk di sofa. Jujur, wanita bermata teduh itu merasa gugup dan juga takut. Ia gugup karena ini adalah malam pertama mereka sebagai pasangan pengantin baru, dan yang ia takuti jika sampai rahasianya terbongkar.

"Mas mau aku bikinin kopi atau teh," tawarnya. Saat ini Nadine berdiri di samping suaminya.

Devian menoleh ke arah istrinya. "Kopi saja, tapi gulanya jangan terlalu banyak."

"Iya, Mas." Nadine mengangguk dengan tersenyum. Setelah itu wanita berjilbab itu berjalan keluar dari kamarnya.

Sementara itu, Devian kembali fokus pada ponselnya, bahkan pria berkemeja biru itu mengambil leptopnya yang sengaja ia bawa. Devian kembali duduk di sofa dengan meletakkan leptop miliknya dipangkuan. Ia nampak begitu serius saat melihat laporan yang baru saja masuk, pembangunan villa di puncak berjalan dengan lancar.

Selang beberapa menit pintu kamar terbuka, Nadine kembali dengan membawa secangkir kopi pesanan suaminya. Nadine berjalan mendekati Devian lalu meletakkan kopi tersebut di atas meja. Setelah itu ia ikut duduk di samping suaminya, sementara itu Devian masih sibuk dengan leptopnya. Lima menit kemudian, pria beralis tebal itu menutup leptopnya dan ia letakkan di atas meja.

"Nadine, kamu kenapa?" tanya Devian, ia menatap wajah wanitanya yang terlihat panik.

"Ah, nggak apa-apa kok, Mas," dustanya. Tidak mungkin Nadine jujur, dengan apa yang tengah ia pikirkan saat ini.

Devian hanya menganggukkan kepalanya, kemudian pria beralis tebal itu mengambil kopi yang sang istri suguhkan, dan menyeruputnya. Sementara itu, Nadine hanya diam, raut wajahnya terlihat begitu gelisah. Nadine menoleh ke arah suaminya sekilas, lalu ia kembali menunduk. Wanita berjilbab itu memainkan jemarinya, hal tersebut membuat Devian mengernyitkan dahinya.

"Em, Mas aku istirahat dulu ya." Nadine bangkit dari duduknya, tetapi niatnya terhenti saat Devian memegang pergelangan tangannya. Bahkan menarik tubuh mungil itu hingga jatuh ke pelukan sang suami.

"Mau kemana, hem?" tanya Devian. Keduanya tangannya mendekap tubuh mungil istrinya.

"Mau istirahat, Mas," jawab Nadine. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang dari biasanya.

"Apa kamu tidak ingin memberikan ... ya sudah, mungkin kamu capek, aku juga capek. Kita tidur saja untuk malam ini," ucap Devian, hal itu membuat hati Nadine sedikit lega.

"Iya, Mas." Nadine tersenyum, setelah itu ia bangkit dan berjalan menuju ranjang.

Sementara itu Devian menghabiskan kopi tersebut terlebih dahulu, setelahnya ia baru akan menyusul sang istri. Terlihat jika Nadine sudah berbaring dengan selimut menutupi tubuhnya sampai batas dada. Jujur, saat ini Devian ingin meminta haknya, tapi ia tahu jika hari ini mereka sangat lelah akibat resepsi pernikahan yang dijalani sangat menguras tenaga.

Tiba-tiba handphone Nadine berdering, dan kebetulan terletak di atas meja rias. Devian yang mendengarnya menoleh ke arah istrinya. Terlihat raut wajah wanita panik, dengan cepat Nadine menyibak selimutnya dan bangkit dan beranjak menuju meja rias. Nadine mengabambil benda pipih itu dan segera membuka pesan yang baru masuk. Matanya melotot setelah membaca pesan tersebut.

"Sayang, ada apa?" tanya Devian, ia bangkit dan berjalan menghampiri sang istri.

"Buk ... enggak apa-apa kok, Mas." Nadine benar-benar panik saat melihat suaminya mendekat.

"Pesan dari siapa? Kenapa kamu gugup seperti itu?" tanya Devian, matanya menatap wajah istrinya yang seketika pucat pasi.

"Bukan dari siapa-siapa kok, Mas." Nadine segera mematikan ponselnya dan berjalan menuju ranjang.

Devian benar-benar bingung dengan sikap istrinya, ia merasa jika Nadine tengah menyembunyikan sesuatu. Setelah itu, tiba-tiba ponsel Nadine kembali berdering. Dengan cepat Nadine mengabambil benda pipih tersebut, saat dibuka lagi-lagi nomor tak dikenal yang mengirim pesan seperti pesan tadi. Merasa penasaran, Devian melangkah mendekati istrinya.

"Pesan dari siapa? Apa yang kamu sembunyikan." Devian menatap tajam ke arah istrinya.

"Em, itu, Mas. Anu .... " ucapan Nadine terpotong saat Devian tiba-tiba merebut ponselnya.

Tanpa persetujuan dari Nadine tiba-tiba Devian merebut ponsel milik istrinya itu dan mulai membaca pesan yang masuk tersebut. Mata Devian membulat sempurna setelah membaca pesan itu, mata tajamnya memerah seketika. Devian menatap tajam ke arah wanitanya itu, sementara tubuh Nadine terasa bergetar, dan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.

[ Kasihan Devian, seharusnya dia yang terlebih dahulu menyentuhmu, tapi justru aku yang lebih dulu menjamah tubuhmu ]

"Ini maksudnya apa?! Tolong jelaskan, Nadine?!" tanya Devian dengan suara tinggi.

"Mas, aku ... tolong maafkan aku, aku .... "

"Jadi benar kalau kamu sudah tidak suci lagi, iya!" teriak Devian. Mata tajamnya menata sang istri penuh dengan rasa benci.

"Maaf, Mas." Nadine menjatuhkan tubuhnya dan bersujud dihadapan suaminya. Air matanya menetes membasahi kedua pipinya.

"Siapa yang sudah melakukannya?!" tanya Devian dengan penuh amarah, sementara Nadine hanya menggelengkan kepalanya, dengan air mata yang terus mengalir.

"Nadine, katakan siapa yang melakukan ini! Siapa yang sudah mendahuluiku, katakan Nadine!" bentak Devian, matanya memerah dengan rahang yang mengeras membuat wajah pria beralis tebal itu terlihat begitu menakutkan. Kedua tangan besar Devian mengguncang bahu Nadine.

"Maaf, Mas." Nadine hanya bisa berucap seperti itu dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.

"Apa dengan maaf semuanya akan kembali seperti semula, iya!" bentak Devian. Merasa terhina pria beralis tebal itu menarik tangan Nadine dan menyeretnya keluar dari kamar.

Sementara itu Nadine hanya bisa menangis dan pasrah dengan apa yang akan sang suami lakukan. Mungkin itu semua sudah menjadi nasibnya, Nadine tahu jika Devian pasti tidak akan terima jika dibohongi. Nadine melakukan itu semua dengan terpaksa, tidak ada niat dalam hatinya untuk berbohong.

Devian terus menarik tangan istrinya hingga mereka tiba di ruang tengah. Semuanya terkejut saat melihat sepasang pengantin baru itu keluar dengan keadaan seperti itu. Kedua orang tua Nadine bertanya-tanya dalam hatinya, terlebih saat sang menantu mendorong tubuh mungil Nadine dengan kasar.

"Astaghfirullah, apa yang terjadi. Nadine, Nak Devian, ada apa ini?" tanya Irawan, ayah Nadine dengan raut wajah yang terlihat begitu bingung.

Begitu juga dengan Widya, ibunda Nadine, ia juga terlihat begitu bingung dengan apa yang terjadi. Perempuan paruh baya itu jongkok di depan putrinya, ia benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi pada putri dan menantunya itu. Sementara Devian menatap tidak suka ke arah sang istri, kesalahan yang telah Nadine perbuat sudah sangat fatal.

"Kalian tanya sendiri pada dia." Devian menunjuk ke arah Nadine dengan tatapan mata yang sangat tajam.

"Nak Devian, tolong jelaskan ada apa?" tanya Widya dengan lirih.

"Kalian pura-pura tidak tahu, atau memang tidak tahu. Apa kalian tidak tahu jika putri kalian sudah tidak suci lagi!" teriak Devian, seketika semuanya terdiam dan pandangan Irawan serta Widya beralih pada Nadine.

Kejujuran mungkin sangat menyakitkan, tetapi kebohongan lebih menyakitkan dan dapat menghancurkan segalanya.