Sehabis subuh, Aliya mendapatkan telpon dari Zivana kalau Devano telah kembali. Dan sudah bersedia menikah dengannya. Aliya yang sejak pukul satu dini hari tidak bisa tidur, seketika hilang rasa kantuknya setelah mendengar penuturan Zivana.
"Kak Vano mau bertanggung jawab, Al. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan menjamin dia tidak akan kabur lagi." Begitulah ucapan Zivana saat menelponnya tadi. Bahagia sekali rasanya mendengar orang yang dia cintai akhirnya akan datang dan mau bertanggung jawab atas apa yang sudah dia perbuat pada Aliya.
"Sayang, kamu senang kan? sebentar lagi kamu akan punya Papa. Kamu pasti tidak sabar ingin bertemu Papamu, kan?" Aliya mengusap perutnya dengan lembut. Mengajak janin yang ada di dalam kandungannya berbicara.
Aliya keluar dari kamar mencari Eva dan Arman. Dia ingin menyampaikan kabar gembira ini kepada kedua orangtuanya. Saat melewati dapur, Aliya melihat Shiren yang sedang memasak. Dia menghampiri Shiren dan memeluk mamanya dengan haru.
"Eh, Aliya kenapa peluk-peluk Mama sih? geli tahu. Anak mama ngidam apa lagi sih?"
"Ma, ada kabar gembira." Mendengar perkataan Aliya, Eva membalikkan tubuhnya menghadap putri cantiknya. Gadis itu terlihat sumringah. Membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan yang menyebabkan putrinya tampak bahagia.
"Memang ada apa Al? sepertinya kabar yang membuatmu bahagia ya?"
"Tentu donk, Ma. Aliya bahagia. Tau ga Ma, tadi Zivana telpon kalau Kak Vano sudah kembali, dan dia mau bertanggung jawab pada Aliya, Ma. Aliya seneng banget Ma. Aliya akan menjaga anak ini bersama suami Aliya nanti." Eva merasa terharu dengan apa yang disampaikan Aliya. Dia merasa bahagia tapi juga tak bisa menyembunyikan rasa kesal pada lelaki yang telah merenggut mahkota putrinya.
"Syukurlah kalau begitu. Kamu bilang sama Papa dulu sana. Dan jangan lupa kabari Bima tentang ini. Agar dia tidak khawatir."
"Iya, Ma tentu saja. Papa dimana, Ma?"
"Lagi nyuci mobil di depan."
"Aku ke sana dulu ya, Ma. Aku mau ngomong sama Papa." Aliya berlari-lari kecil menghampiri Indra.
"Awas, jangan lari-lari Al!!"
Aliya berada di teras depan rumahnya. Melihat Indra yang sedang mencuci mobil ditemani adiknya bernama Aldo yang masih SD.
"Papa.. " Mata Aliya berbinar ketika memanggil Arman.Membuat Arman menoleh dengan pandangan heran. Karena sejak Aliya hamil, gadis itu tidak pernah sekalipun tersenyum lepas seperti sekarang.
"Ada apa Al?" Tanya Arman menghampiri putrinya. Aldo pun mengambil alih mencuci mobil Papanya, sambil asyik bermain busa sabun.
"Papa, ayo masuk ke dalam. Ada kabar baik untukku Pah." Aliya menarik lengan Arman masuk ke dalam rumah. Dan mereka kini duduk berhadapan di ruang tamu.
"Kabar apa sih Al? tidak biasanya kamu bahagia seperti ini?"
"Tadi Aku dapat kabar dari Zivana, kalau Kak Vano sudah pulang, Pah. Katanya dia bersedia bertanggung jawab Pah. Dan hari ini mereka akan datang ke sini melamar Aliya." Arman mendengar perkataan Aliya dengan seksama. Ada perasaan curiga kenapa Devano tiba-tiba mau bertanggung jawab. Dia tidak ingin putrinya terluka.
"Baiklah kalau memang seperti itu. Jam berapa mereka akan datang?" Arman menyembunyikan kegelisahan hatinya agar tidak membuat Aliya sedih. Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Sebagai seorang Ayah dia tidak ingin membuat putrinya sedih dan kecewa. Kalau memang Devano benar-benar taubat dan menyesali perbuatannya, maka Indra hanya bisa merestui mereka. Apalagi sudah ada janin yang berkembang di rahim Aliya. Meski sebenarnya ini tidak diharapkan olehnya sebagai orangtua.
"Jam empat sore Pah."
"Baiklah.. Kamu sudah bilang sama Mama?"
"Sudah Pah."
"Sekarang istirahatlah Al. Kamu sudah makan?"
"Belum Pah."
"Kalau begitu kamu di kamar saja ya. Nanti biar Papa yang antar makanan ke kamarmu."
"Iya Pah. Terimakasih." Aliya dengan wajah bahagianya setengah berlari menuju kamarnya. Arman hanya bisa memandang Putrinya. Gadis kecil yang cengeng kini sebentar lagi akan menjadi istri dan ibu. Meski sebenarnya ada perih yang bersarang di hatinya. Namun ia abaikan demi Aliya.
"Mama.." Eva yang masih sibuk di dapur, menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Suaminya sudah bersandar di tembok belakangnya.
"Iya, Pah ada apa? Aliya sudah bilang sama Papa?"
"Sudah Mah. Dan Papa ragu kenapa Vano tiba-tiba mau datang untuk bertanggung jawab pada Aliya."
"Mungkin Zivana berhasil membujuk Vano dan memberi pengertian."
"Tapi aneh, Mah. Papa hanya takut dia tidak serius dan hanya terpaksa menikahi Aliya. Papa takut Aliya akan disakiti oleh Vano setelah mereka menikah."
"Kita lihat saja nanti bagaimana Vano menjelaskan Pah. Dari ucapannya, kita akan tahu dia serius atau tidak."
"Iya Mah. Sebaiknya kita memang memikirkan dengan kepala dingin. Walau Papa dari dulu sebenarnya ingin memukul Vano kalau ketemu."
"Sabar Pah. Kekerasan tidak akan meyelesaikan masalah. Kita harus menjaga perasaan Aliya. Dia sangat bahagia setelah mendapat telepon dari Zivana. Mama takut dia sedih lagi Pah."
"Iya Mah. Semarah-marahnya kita pada Aliya, tetap saja dia adalah putri kita. Papa yang salah sudah memanjakan dia. Harusnya dia tidak mudah percaya sama orang. Aliya selalu berprasangka baik pada orang. Dia menganggap semua orang itu baik. Hatinya terlalu lembut dan tidak tegaan sama orang."
"Itulah putri kita Pah. Walau kebaikannya akhirnya dimanfaatkan oleh lelaki kurang ajar seperti Devano." Eva menghela nafas. Sesak rasanya. Setiap dia sholat selalu saja menangis. Merasa berdosa karena tidak bisa menjaga kehormatan putrinya.
"Oh ya Mah. Apa sudah matang masakannya? Papah sudah janji mau nganterin makanan ke kamar Aliya."
"Sudah Pah. Mama bikin bubur ayah buat Aliya. Sebentar Mama siapin dulu."
"Biar Papa yang bikinin susu buat Aliya, ya Mah."
"Iya Pah, makasih." Mereka berdua selalu berusaha menjaga Aliya. Tanpa kehadiran Devano pun, Aliya tidak akan kekurangan kasih sayang.
SORE HARI
"Mah, Aliya sudah cantik belum?" Aliya menghampiri Eva dan sudah siap dengan dress lengan pendek dan panjang selutut berwarna peach.
"Sudah, Nak. Kamu kapan mau pake jilbab?"
"InsyaAllah nanti setelah menikah Mah. Devano sangat menyukai rambut panjang Aliya. Aku akan meinta izin sama dia kalau sudah menikah nanti."
"Menutup aurat itu wajib, Nak. Tidak perlu menunggu izin dari suamimu. Karena lelaki yang baik akan menyuruh istrinya menutup aurat."
"Iya, Mah. Pasti Devano setuju kalau kita sudah menikah." Eva hanya mengangguk. Dia sedang menyiapkan jamuan untuk Devano dan keluarganya yang dalam hitungan menit akan sampai di rumahnya.
Senyum menghiasi wajah cantik Aliya sedari tadi. Gadis itu tak sabar menunggu calon suaminya datang. Kehadiran Devano seolah menjadi penyemangat buatnya.
Arman juga sudah siap menyambut tamunya di teras rumah bersama Aldo. Dia berharap semua akan berjalan sesuai keinginan Aliya. Dan tak ada masalah lagi yang timbul setelah ini.
Apa yang terjadi nanti ya? kira2 Devano beneran mau tanggung jawab ga ya?