webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Horreur
Pas assez d’évaluations
16 Chs

bab 15

Aku tak pernah mengira akan mengalami peristiwa yang tidak masuk akal selain kemarin.

Shassshhh...

Suara desiran angin kembali terdengar dan menerpa tubuh aku yang kaku. Aku tidak bisa bergerak, seperti patung hidup. Aku bernapas, namun menggerakan kaki untuk menjauh dan mulut untuk berteriak meminta tolong, itu susah sekali aku lakukan.

Pintu kamar masih berayun, bergerak ke depan dan ke belakang, seakan ada yang mempermainkannya.

Keringat dingin mengucur deras dari keningku.

Dan yang membuatku merasa merinding dan ngeri adalah wajahku bergerak sendiri, menoleh secara perlahan ke arah lorong kamar lamaku.

Shaaaashhh...

Kali ini angin seperti bergerak dari kamar lama dimana Melisa dan kawan-kawannya menghilang.

Sumpah demi apapun! Aku sama sekali tidak ada niat untuk menoleh ke arah lorong suram dan menyesakkan itu.

Aku berusaha menolak untuk menoleh, kutahan sekuat tenaga agar wajahku tidak bergerak ke arah kamar lamaku.

Otot leherku mengejang kaku agar wajahku tidak bergerak, namun tidak berhasil. Muka aku tetap bergerak pelan-pelan menuju kamar lama.

Malah yang ada leherku terasa kaku dan tidak terduga berbunyi 'klek' dengan suara keras.

Saat itu aku tidak merasakan sakitnya.

Kriiiiieeeettt...

Pintu kamar lama terbuka sejengkal.

Mataku terbelalak.

Dengan remang-remang cahaya lampu lorong menuju kamar lama, aku melihat, walau secara tidak jelas, bayangan tangan berwarna hitam!

Tangan hitam itu menyapu dinding sebelah pintu masuk, berulang kali.

Sreeek...

Sreeek...

Aku tidak begitu jelas melihatnya.

Apa ini nyata, atau hanya karena aku ketakutan jadi melihat hal aneh?

Kalau itu tidak nyata, hanya karena ketakutanku akibat siang kemarin, kalau begitu kenapa sampai sekarang aku tidak bisa bergerak? Mulutku masih tidak bisa bersuara?

Sreeek...

Sreeek...

Sreeek...

Tangan hitam itu menyapu berulang kali menyapu dinding di sebelah dan perlahan mulai keluar dari kamar lamaku.

Jika aku tidak bisa menghindar dari tangan itu, aku ingin menutup mata. Tidak ingin melihat tangan itu menuju ke arahku.

Namun tidak bisa, mataku tidak terpejam, walau otakku memerintah dengan keras untuk menutup mata.

Bau menyengat daging hangus yang seakan sudah lama itu menyeruak menusuk hidungku.

Ingin sekali, benar-benar tidak tahan, aku mau muntah.

Mual...

Enek...

Baunya tidak enak...

Tapi untuk bergerak sedikit saja aku tidak bisa, membuka mulut untuk muntah karena bau daging hangus terlalu lama, aku tidak dapat.

Tersiksa...

Menderita...

Mual...

Tangan hitam itu merayap pelan melalui dinding sebelah kamar lamaku, seolah menyerupai bayangan menuju ke arahku.

Sreeek...

Sreeek...

Sreeek...

Perlahan namun pasti tangan itu bergerak seperti ular hitam.

Panas dari tangan hitam itu mulai menerpaku, mengingatkan aku pada kejadian kemarin siang.

Riko dan Dika terlihat kesakitan saat menahan pintu dengan panas yang membakar.

Mataku terbelalak, ketakutan dan baru menyadari.

Bahwa bukan aku saja yang dalam bahaya.

Karena kami, Dika, Riko dan aku (walau dipaksa), memainkan permainan 'minta tolong' dan kami berhasil lolos, mahluk itu tidak akan melepaskan kami.

Kami akan terus diteror, akan terus dihantui, sampai kami tidak bertahan dan dibawa ke alam sana.

Persis seperti apa yang kupikirkan, hidupku tidak akan damai lagi.

Tepat disebelah pilar perbatasan antara ruang TV dan kamar lamaku, tangan hitam itu berhenti bergerak ke arahku, dia masih melayang dan tangan hitam itu bergerak seperti membentuk lingkaran tak kasat mata.

Baru kusadari, aku bisa bergerak ketika tanpa sadar aku mengedipkan mata. Aku menelan ludah.

Memang ini egois, tapi aku tidak mau mati. Tidak di tangan hitam seperti arang ini.

"AYAH!" Teriakku kencang. "TOLONG!"

Tidak tahu apakah ayah mendengar suaraku, yang jelas aku berjalan mundur dengan cepat, tidak peduli apakah aku akan menabrak tembok atau tidak.

Yang terpikir olehku pada saat itu adalah aku harus menjauh dari tangan hitam seperti arang dengan cepat.

Kupikir tangan hitam itu hanya membentuk lingkaran tak kasat mata, karena bergerak asal.

Dugaanku salah.

Aku pernah dengar nama blackhole, lubang hitam yang menghisap benda disekitarnya.

Dan aku sama sekali tidak menduga kalau tangan hitam itu membentuk lingkaran tak kasat mata karena membuat blackhole itu.

INI SAMA SEKALI TIDAK MASUK LOGIKA!

Sial!

Siaaaalll!

Angin berhembus dari dalam blackhole itu namun tidak membawa angin dingin, melainkan angin yang panas. Mengingatkanku dengan panas matahari yang terik dan tidak ada satupun awan yang menutupi terangnya mentari.

Angin panas itu begitu kuat hingga mulai menerbangkan kertas yang berada dalam kamarku dan mulai memasuki blackhole itu. TV berguncang keras dan meja yang berada di bawah TV mulai bergerak tidak terkendali.

Panas sekali. Aku tidak kuat berdiri. Namun meski kaki sudah bergetar menahan berat badanku, aku tetap berjalan mundur dengan cepat, kali ini aku mencoba berlari ke arah dapur. Tempat dimana ayahku berada.

Alasanku berlari ke dapur adalah karena aku menyadari kalau hanya benda di dapur yang tidak mengalami angin kencang dari blackhole yang diciptakan oleh tangan hitam itu.

Semakin lama semakin kencang. Angin itu bertambah daya tariknya ke arah blackhole.

Wush...

Wush...

Wush...

Kencang sekali. Hingga aku nyaris terjatuh suatu benda yang menggelinding dibawah kakiku.

Kakiku ngilu setelah bertabrakan dengan benda yang berguling, yang tidak kuperhatikan apa itu.

TAPI KENAPA PERASAANKU LAMA SEKALI MENUJU DAPUR?

Aku berusaha memperhatikan dengan tenang, dan ternyata aku nyaris tak bergerak dari tempatku sekarang. Tetap berdiri di depan kamarku dengan leher miring menatap lorong kamarku.

Wush...

Wush...

Wush...

Angin panas dari blackhole itu bertambah kencang. Tangan hitam seperti arang itu masih disekitar blackhole seolah-olah menjaga blackhole agar tetap menghisap semua yang bisa ditarik ke dalamnya.

Ternyata aku tidak berlari seperti yang aku pikirkan!

Masih berdiri seperti patung di depan kamarku sendiri!

Jadi apa?

Aku pikir aku sudah lari sekuat tenaga menghindar dari blackhole dan tangan hitam itu.

Ternyata aku masih tidak bergerak?

Aku tidak mau percaya! Aku tidak...

Blackhole yang diciptakan oleh tangan hitam itu seperti lubang hitam yang tidak berujung.

Seolah jika terhisap ke dalamnya, tidak akan ada jalan kembali.

Jadi inikah akhirnya?

Aku akan mati di tangan hitam itu?

Kenapa rasanya aku tidak rela?

Sialan!

Benar-benar brengsek!

Aku menggigit bibirku. Untuk menyadarkan diriku sendiri agar tetap tenang.

Tunggu!

Aku bergerak? Aku bisa menggerakan bibirku? Sekarang... apa sekarang aku bisa bersuara?

"A..."

Bisa!

Aku bisa bersuara. Bisa berbicara!

Tapi apa? Sekalipun aku bersuara, mungkin ini...

Apa sebegitu egoisnya aku mau membawa kedua orang tuaku juga ke dalam blackhole yang tidak mempunyai jalan keluar?

Sudahlah...

Yang diinginkan tangan hitam itu adalah nyawa Riko, Dika dan aku. Selain itu, mahluk bertangan hitam seperti arang itu tidak membutuhkan.

Bersambung...