Bia mencoba mengerti perasaan mami saat itu.
"Mami pasti butuh waktu untuk menerima kepergian papi."
Bia menunggu mami di kursi depan ruang IGD. Ketika perawat membawa jenazah papi ke ruang jenazah, mami mengikutinya dari belakang. Wajahnya tampak lesu, matanya sembab, andai kekuaatannya tidak lebih, sudah pasti jatuh pingsan. Bia mengabari Cherry soal papi yang sudah meninggal. Tidak lama kemudian Cherry datang dengan mata yang sudah basah karena air matanya. Rasanya pasti sangat sulit untuk percaya.
"Bia ... lo becandain gue kan?"
Tidak kuasa untuk menjawabnya, Bia memilih diam.
"Bia, jawab gue!"
"Cher...."
"Lo bercanda kan!"
Bia menggeleng. Cherry histeris, dia menangis hingga tidak bersuara lagi. Di depan ruang IGD ada seorang anak yang semasa hidupnya begitu membenci ayahnya, sedangkan hari itu, dia merasa sangat kehilangan. Kesedihan yang begitu mendalam.
"Papi kenapa?"
"Serangan jantung."
Cherry menangis tergugu karenanya. Dia paham betul penyakit jantung papi memang belakangan sering kumat. Bahkan sebelum pada akhirnya dia menikah dengan Bia pun, papi sering keluar masuk rumah sakit karena sakit jantungnya. Kata mami, jatung papi memang bermasalah dari dulu. Sebelum mereka menikah. Tapi, Cherry tidak pernah menduga, hari itu nyawa papi tak tertolong lagi akibat penyakitnya.
"Seharusnya gue bisa ketemu papi lebih cepat, gue bisa liat papi sebelum pada akhirnya papi meninggal. Kenapa papi sampai begini? Lo udah cerita apa ke papi, Bia!"
"Gu-gue ... mmm, gue cerita tentang keberadaan lo, tentang seberapa besar perasaan lo yang kecewa sama papi."
"Ngapain lo cerita itu semua ke papi?"
"Kalo gue ga ngomong, seumur hidup papi ga akan pernah tau tentang perasaan lo."
"Tapi setelah lo cerita? Apa yang terjadi? Papi malah kumat dan meninggal kan! Lo puas udah ngebunuh papi? Jangan-jangan lo sengaja merencanakan ini. Lo sengaja mau bikin syok papi sampai jantungnya kumat kan?"
"Astaga! Jelek banget pemikiran lo Cher! Begini-begini juga gue punya hati. Papi lo ya papi gue. Mana mungkin gue sengaja melakukan perencanaan hal bodoh begini buat bunuh papi. Cher, kalo ngomong yang bener!"
"Ah ... gue ga percaya sama lo Bi. Bisa aja lo cuma pura-pura sayang sama gue, sama papi, cuma buat ambil harta papi, kan!"
"Stress lo emang ya!"
"Emang, semua kegilaan ini, kegilaan gue, lo penyebabnya!"
Cherry meninggalkan Bia yang sedari tadi masih berada di tempat yang sama sebelum dirinya datang. Lagi-lagi, Bia malah jadi sasaran atas apa yang sudah terjadi. Padahal, tidak bisa dijamin juga bahwa penyebabnya adalah Bia. Memang benar, dia yang sudah memberikan sebuah kabar yang mengejutkan. Tapi bukan berarti ia dengan sengaja merencanakan ini. Jika ini tujuannya, sudah jauh-jauh hari, Bia melakukannya. Sebenarnya Bia adalah anak yang baik, hanya saja, kadang-kadang, dia kurang peka. Sedikit keras kepala dan masa bodoh. Nasibnya memang kurang beruntung, sejak kecil dia kekurangan kasih sayang. Berharap setelah tinggal bersama Wilson, nasibnya akan berubah, nyatanya sama saja. Orang di sekelilingnya tetap saja tidak menyukai keberadaannya. Bukan salah Bia memang, andai ia bisa memilih dilahirkan dari rahim ibu yang mana, pasti sudah sejak dulu, sejak di dunia rahim, ia sudah memilih siapa yang akan menjadi ibunya. Sayangnya, itu tidak bisa ia lakukan. Semua sudah ditentukan oleh garis tangan Tuhan. Apalah Bia yang hanya bisa menjalani takdir hidupnya.
"Ya Tuhan ..., salah lagi aja gue! Perasaan gue ga pernah ada benernya di mata Cherry. Susah amat hatinya lunak buat gue. Gue kira, setelah kejadian satu tahun kemarin, sikapnya bisa berubah ke gue. Minimal ga benci sama gue. Eh ini adalagi aja yang buat dia tambah benci sama gue. Kalo bisa tukar nyawa, udah gue lakuin Cher!"
Sejak setahun lalu, memanb Cherry sedikit berubah dengan Bia. Sikapnya lebih lembut. Meski hampir tidak pernah bertemu, justru Bia merasakan perubahan besar pada Cherry. Namun, karena hari ini, Cherry kembali ke sifatnya yang dulu. Cherry yang penuh amarah pada Bia.
"Liat Bia! Lo udah bikin hidup gue kacau. Lo udah bikin papi meninggal. Lo udah hancurin keluarga gue!"
Tangan Cherry mengepal dengan sempurna. Kaca toilet rumah sakit jadi tempat pelampiasannya. Dalam hitungan detik, pecahan kaca toilet berubah merah. Semua orang yang berada di dalam toilet sontak lari tunggang langgang sambil berteriak, "Ada monster!"
Menyadari hal tersebut, Bia segera menghampiri sumber keributan. Sudah pasti ia tau siapa penyebab kerusuhan di toilet rumah sakit.
"Cherry! Pasti dia!"
Bia mengetuk pintu masuk toilet wanita. Sudah tidak ada orang di dalam kecuali Cherry. Dia memberanikan diri menyusup ke dalam.
"Cher ... Cherry, lo dimana?"
Tidak ada jawaban dari Cherry. Bia celingukan mencari-cari seseorang di dalam sana. Hanya ada bekas-bekas pecahan kaca yang bercampur darah merah kehitaman. Warna darah yang begitu aneh. Bukan warna manusia pada umumnya. Bia begidik melihatnya, namun ia bersikeras ingin menolong Cherry. Satu per satu pintu kamar mandi dibukanya. Berharap menemukan Cherry di salah satu bilik itu. Ada enam bilik, sudah bilik ke lima yang Bia buka. Tinggal satu bilik yang belum ia periksa.
"Cher ... lo di dalem? Gue masuk ya?"
Bia mengetuk pintu yang terkunci dari dalam. Sepertinya memang ada Cherry di dalam sana. Dia memanggilnya sekali lagi.
"Cher ... buka dong! Kalo ga gue dobrak nih!"
Tetap saja tak ada jawaban. Merasa cemas, Bia mendobrak pintu itu dengan sekuat tenaga. Tidak terlalu sulit baginya. Sekali dobrakan, pintu itu sudah roboh. Ternyata bukan hanya Cherry yang berada di dalamnya. Seorang anak kecil, kira-kira usianya sebelas atau dua belas tahunan. Lehernya berdarah dan berlubang dua. Mirip lubang bekas gigitan vampir di film-film barat.
"Cherry! Lo!"
Bia menarik tangan gadis kecil itu. Wajahnya sudah pucat dan membiru. Mungkin dia kekurangan darah, barangkali Cherry sudah menghisap darahnya cukup banyak.
"Eh Cherry stop!"
Bia menghentikan Cherry yang mencoba menarik gadia kecil itu dari tangan Bia. Bia menggendong gadis kecil iti menuju ruang IGD, beruntung kejadiannya di rumah sakit. Anak itu bisa segera mendapat pertolongan.
"Sus ... tolong dia kehabisan darah!"
Dokter dan satu orang perawat segera mengecek kondisinya, Bia mendampingi di sampingnya. Herannya dua lubang bekas gigitan Cherry tiba-tiba menghilang begitu saja. Hanya ada bekas darah yang masih basah di sekitar lehernya.
"Kenapa dia?" tanya dokter.
Terpaksa Bia menggeleng.
"Saya temukan sudah dalam kondisi lemas begini, dok!" Bia mengarang cerita. Sepertinya tidak mungkin baginya untuk menceritakan kebenaran yang sudah terjadi. Lagi pula bukti gigitan itu sudah menghilang.
"Saya bukan keluarganya, hanya kebetulan lewat. Tolong umumkan di pusat pengumuman saja. Pasti orangtuanya masih ada di sekitar sini, Sus."
"Baik, Pak."
Kali ini, Bia mencari Cherry yang pasti masih ada di dalam toilet tadi. Tidak mungkin dia berani keluar dari sana dengan kondisinya yang seperti ini.