webnovel

Menyatu Dalam Jantung

"Ternyata ga sesusah yang gue bayangkan, mereka yang bermain, mereka hancur sendiri!" gumam Cherry puas.

Dari luar kamar, terdengar suara papi yang sedang menahan Bia untuk tetap tinggal, setidaknya untuk malam ini.

"Ga Pi, aku butuh waktu sendiri. Aku mau nenangin pikiran dulu."

"Tapi, udah larut malam!"

"Aku pergi!"

Bia tidak menggubris permohonan Papi. Sakit hatinya mengingat sikap Papi yang menyembunyikan soal kematian ibu kandungnya. Jika begitu saja sakit, apa lagi dengan Mami dan Cherry? Puluhan tahun mereka tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Kebenaran apa yang akan terungkap.

Mami datang dengan wajah datar, sambil menepuk pundak suaminya, " Biarkan aja, Pi. Dia kan anak laki-laki, pasti bisa jaga diri. Dia pasti butuh waktu sendiri, untuk menerima apa yang udah terjadi. Pasti ini hal yang cukup berat buat dia. Papi harus ngertiin posisinya, ya!"

Berat hati, Papi melepas kepergian Bia. Akhirnya ia menerima saran istrinya dengan baik.

"Memang kita salah Pi, harusnya bagaimanapun, kita wajib memberitau Bia apa pun yang terjadi dengan ibu kandungnya kan. Meskipun itu sulit."

"Ya," jawab Papi lemas.

Membenarkan kata-kata istrinya, akhirnya ada hal yang bisa membuat Papi menuruti perkataan Nyonya Wilson. Dengan wajahnya yang masih murung, seolah belum begitu rela dengan kepergian Bia yang hanya sementara itu, Papi menggandeng tangan Mami.

Cherry masih bertahan dengan rasa sakitnya. Dia akan semakin sering merasakan rasa sakit itu, karena sejak kematian pertamanya, ia seperti mendapat kekuatan baru yang lebih dasyat dan tentunya energinya akan semakin banyak terkuras untuk hal ini. Seperti sekarang, kepalanya masih terasa nyeri, padahal hanya sebatas untuk menggunakan kekuatan pada penglihatannya.

"Eh selongsong gue mana ya? Perasaan waktu itu sempet gue bawa ke Paris."

Cherry mengubek-ubek seisi koper dan tasnya, tapi ia tidak menemukan apa pun.

"Bia mesti tau nih, secara dia kan yang ngurusin gue, waktu itu. Gue telpon dia ah," gumamnya.

Cherry mengambil ponselnya, dipencetnya nomer Bia.

"Halloo... Bia, lo liat dompet merah kecil gue ga?"

"Yang mana? Yang isi peluru kuno itu?"

"Iya."

"Ngapain lo nyimpen benda begitu?"

"Bukan urusan lo, udah buruan, dimana?"

"Itu lo dapet darimana? Jawab dulu, baru gue kasih tau!"

"Bia! Teraerah gue mau nyimpen benda apa pun yang gue mau. Lagian gue dapet itu juga sebelum nikah sama elo. Jadi itu hak pribadi gue."

"Jangan simpen barang-barang aneh. Apalagi benda kuno, Cher. Banyak isinya. Hati-hati loh!" Bia mencoba memberi peringatan.

"Halah.... elo kuno! Begituan dipercaya!"

"Iya udah, gue udah ingetin lo. Terserah selanjutnya! Ada di tas kosmetik lo. Cari aja, gue masukin asal-asalan soalnya."

Tanpa terimakasih dan permisi, Cherry menutup telponnya.

"Apa Bia bener ya, sejak gue dikasih peluru di dompet itu kan, gue sempet beberapa kali kehilangan kendali, sampai Goldi jadi korban atas perbuatan gue sendiri. Apa gue buang aja tu peluru ya. Lagian itu juga bukan pemberian kakek buyut. Bisa jadi apa yang dikatakan Bia bener."

Chery membongkar hingga dua kali taa kosmetiknya. Lagi-lagi, yang ditemukan hanya dompet kosong.

"Ah ... dimana sih, apa jatuh ya? Besok lagi gue cari, jam berapa nih?" Cherry melirik jam dinding di kamarnya.

Menunjukan pukul 02.00 WIB.

"Pantesan, gue tidur dulu, lah."

Belum sampai 30 menit Cherry tidur, dia sudah diseret ke alam lain oleh sebuah bayangan hitam yang besar. Dia memberontak, Cherry sadar itu bukanlah sebuah pertanda baik. Bayangan itu juga yang memberikan sebuah dompet berisi selongsong peluru yang misterius. Dengan kekuatan jahat yang terkandung di dalamnya.

"Gue ga butuh pemberian dari lo. Ambil peluru itu dari gue!"

"Hahaha (tertawa menggelegar) Enak saja! Tidak semudah itu. Kamu tidak bisa melepaskannya begitu saja. Dia akan melepaskan tuannya dengan sendirinya. Sekuat apa pun kamu mencoba untuk melepas dan menghindarinya, percuma! Tidak akan berhasil."

"Lo salah, benda itu udah ga ada sama gue. Tinggal dompet kosong aja yang gue simpen!"

"Hahaha ... Dasar gadis bodoh! Benda itu pasti udah menyatu dalam dirimu. Dia akan semakin kuat dengan kekuatan yang diberikan oleh kakek buyutmu. Ini akan semakin sulit bagimu untuk melepaskan kekuatan-kekuatan itu. Kamu harus bisa mengendalikan semuanya. Kalau tidak, kamu tidak akan pernah bangun lagi, untuk selamanya!"

Bayangan itu lenyap seketika. Cherry terbangun dengan wajah pucat pasi. Keringatnya dingin.

"Apa bener yang tadi itu ya? Jika iya, dimana sekarang benda itu menempel?" gumamnya.

Tubuh Cherry menggigil, seperti tertusuk dari dalam. Dia mengerang kesakitan, namun kembali diam agar orangtuanya tidak khawatir soal kesehatannya.

"Hari ini, gue harus periksain tubuh gue ke rumah sakit."

Pagi-pagi sekali, Cherry sudah menuju rumah sakit langganan keluarganya, rumah sakit TNI. Penanganan yang prima dan cepat, membuatnya tidak ingin beralih dari sana.

"Gimana, Nona Cherry?" tanya dokter yang sudah biasa merawat Cherry.

"Aku mau rongsen," jawab Cherry pendek.

"Kenapa?"

"Cek aja, belakangan, aku sering merasa sesak nafas. Barangkali paru-paruku kena flek atau apa."

"Baik, silakan. Perawat, tolong dibantu!"

Beberapa perawat melakukan serangkaian persiapan untuk merongsen tubuh Cherry. Hasilnya 30 menit setelah pemeriksaan. Dokter mulai membaca kondisi tubuh Cherry dari hasil tersebut. Betapa kagetnya, ketika ia menemukan sebuah lubang besar, seperti bekas tembakan dengan ukuran peluru yang tidak biasa pada jantungnya.

"Apa kamu sakit?"

Cherry menggeleng. Hari itu memang tubuhnya terasa sangat sehat dan segar. Tidak ada keluhan yang ia rasakan. Tapi, hasil rongsen berkata lain.

"Kamu harus tertembak di bagian jantung?" tanyanya memastikan.

"Aku pasti sudah mati, jika sebuah peluru sebesar itu bersarang di jantungku, Dok!"

"Benar juga. Tapi ini sangat aneh. Mari kita lakukan sekali lagi," ajak dokter.

Sekali lagi, pengecekan dilakukan. Hasilnya sama. Sudah di pastikan, apa yang dicari Cherry sejak semalam, terjawab sudah. Ia pergi ketika sang dokter belum bisa memecahkan masalah di jantungnya.

"Tenang aja, Dok. Aku tidak merasa sakit. Terimakasih."

Cherry bangkit lalu pergi. Dokter merasa aneh dan bingung. Dia adalah dokter senior dan baru ini, dia mendapat kondisi pasien yang begitu aneh.

"Bener ternyata mimpi gue semalam. Kalo udah begini, gue harus gimana ya? Siapa yang bisa bantu gue?"

Cherry bersandar cukup lama di jok mobilnya. Dia tidak tau harus kemana. Dia masih ragu, apakah dia bisa mengendalikan semua kekuatannya. Jika tidak, tubuhnya akan hancur perlahan.

Braaaak ....

Sebuah mobil derek menabrak bagian belakang mobil kesayangan Cherry. Sontak, Cherry keluar dan marah-marah pada sopirnya.

"Bang ... kalo nyopir yang bener dong. Mobil gue jadi penyok, kan?!"

"So-so-ry ... ga sengaja."

"Sorry sorry!"

Cherry menggebrak mobil itu, seketika, body bagian depan mobil derek penyok. Si sopir lari terbirit-birit meninggalkan mobilnya begitu saja.