webnovel

Malam Dingin

"Cher!"

Tampak Cherry yang sedang meringkuk di pojokan salah satu bilik kamar mandi. Dia tampak sangat menakutkan. Jika bukan Bia, sudah pasti tidak ada yang menolongnya. Bia melepas kemejanya untuk menutupi wajah Cherry yang berbulu.

"Ayo pulang!"

"Gue ga bisa keluar dengan kondisi begini!"

"Lo percaya sama gue. Ayo!"

Karena Cherry terus menolak ajakan Bia, tidak ada jalan lain selain menggendongnya dengan paksa. Sebelum ada petugas keamanan yang menelusuri tempat kejadian perkara.

"Buruan naik punggung gue!"

"Ta-Tapi ...."

"Buruan! Lo mau dikurung di kurungan besi selamanya, karena dikira gadis siluman?"

Tidak.ada pilihan lain, Cherry menuruti saran Bia. Beberapa orang merasa heran melihat dirinya keluar dari toilet wanita.

"Gue jadi bahan tontonan karena lo. Jangan bikin ulah lagi!"

Cherry dan Bia pulang terlebih dahulu. Sebab tidak mungkin harus menunggu mami hingga proses memandikan jenazah papi selesai, lagi pula kondisi Cherry sedang tidak baik. Mami bisa ikut pingsan jika mengetahui ternyata putrinya seorang montser berbulu yang mengerikan. Begitu sampai dirumah, Bia mengantarkan Cherry sampai kamarnya.

"Lo bisa normal sebelum jenazah papi tiba di rumah?"

Cherry hanya mengangguk.

"Gue mau jemput mami. Lo jangan berulah, please!"

Lagi-lagi Cherry hanya mengangguk. Sepertinya dia sangat tertekan dengan hal ini. Tinggalah Cherry seorang diri di rumah itu. Setelah semua normal, Cherry duduk di meja riasnya, diambilnya fotonya bersama mami dan papi saat usianya 17 tahun. Saat perayaan hari ulang tahunnya. Cherry selalu memajang foto itu. Dia sangat terkesan dengan momen pada saat itu. Ketiganya tampak sangat bahahia. Cherry dengan dress ala cinderella dan orangtuanya seperti seorang raja dan ratu. Itu menjadi satu-satunya momen yang tidak akan dilupakan oleh Cherry. Namun, sekarang tinggalah kenangan. Cherry memeluk erat bingkai foto tersebut.

"Pi ... apa papi harus pergi secepat ini? Sebelum Cherry, papi dan mami berdamai?"

Wiuw...wiuw...wiuw

Sirine ambulan pengantar jenazah merauang-raung tepat di halaman megah rumahnya. Bergetar lutut Cherry mendengarnya.

"Pasti itu jenazah papi. Apa gue kuat melihat papi yang sudah terbujur kaku dengan dibungkus kain kafan?"

Perlahan Cherry turun menyambut kedatangan jenazah papi. Serasa jantungnya mau copot, saat petugas membuka pintu belakang mobil dan mulai mengeluarkan keranda yang ditutupi kain khas berwarna hijau dengan berkalung bunga. Tidak lama kemudian, mobil Bia memasuki halaman rumah. Sudah pasti ada mami di dalamnya. Saat mami keluar mobil dan melihat ada Cherry yang sudah lebih dulu menyambut jenazah papi, ia berlari ke arah Cherry dan memeluknya erat. Seolah ingin meluapkan betapa kehilangannya papi.

"Mi ..."

"Cher ... jangan tinggalin mami. Sekarang mami cuma punya kamu. Mami udah ga punya siapa-siapa lagi. Berjanjilah untuk terus di rumah ini. Nemenin mami sampai akhirnya mami menemui waktu untuk menyusul papi."

"Mamiiii ... jangan ngomong begitu ah! Cherry pasti akan selalu ada buat Mami. Cherry pasti akan tinggal disini lagi, ngejagain Mami. Cherry janji!"

Cherry melepas pelukan maminya dan menghapus air matanya. Dia berusaha kuat, meski hatinya juga rapuh dan hancur.

"Bi, titip Mami, ya?!"

Bia hanya mengangguk tanpa berkata-kata. Ia tahu, semua sedang berduka. Termasuk dirinya. Dia pun merasa begitu kehilangan papi. Sekarang resmi sudah, Bia tidak memiliki siapa pun kecuali Cherry yang berstatus sebagai istri sahnya. Meskipun pada kenyataannya dia juga tidak bersikap sebagai orang istri pada umumnya. Tapi Bia berkeyakinan bahwa semua akan indah pada waktunya.

"Letakan jenazah papi disini aja, Bang!" perintah Cherry pada beberapa perawat pengantar.

Mau tidak mau, Cherry harus kuat melihat jenazah papi untuk yang terakhir kalinya. Petugas selesai, mereka pulang kami di rumah duka. Aku menguatkan hati untuk melihat wajah papi yang teduh dan sudah berkeriput.

"Pi ..., maafkan Cherry. Cherry selama ini ga pernah bersikap baik ke Papi. Terlebih selama setahun terakhir. Sebenarnya Cherry ga pernah pergi jauh dari rumah ini. Cherry cuma ingin berjarak dengan papi. Cherry ga kuat melihat papi yang setiap waktu berdekatan, bercanda, ngobrol hangat dengan Bia. Cherry cemburu, Pi. Papi ga pernah ngelakuin hal yang sama pada Cherry. Satu lagi Pi, ini adalah rahasia besar yang kusembunyikan selama 2 tahun belakangan. Sampai sekarang, hanya Bia yang tau tentang ini. Sebenernya, Cherry punya sebuah kekuatan supranatural pemberian kakek buyut. Dan sampai sekarang kekuatan itu makin besar dan mengerikan. Sampai sekarang, Cherry ga tau bagaimana caranya melepas perjanjian itu. Rasanya Cherry udah ga sanggup mengendalikan diri, Pi."

Cherry menangis tergugu, mencurahkan seluruh isi hatinya pada sosok papi yang sudah tidak lagi bisa berkomentar. Di depan jenazah papi, Cherry menyesali semuanya.

"Cher ...."

Cherry menoleh ke belakang. Rupanya sudah dari tadi dia berdiri di belakang Cherry. Bia tau semua tentang apa yang Cherry ceritakan pada papinya.

"Lo butuh pundak?"

Cherry masih diam, barangkali dia merasa gengsi untuk mengakui bahwa dia butuh seseorang untuk bersandar. Sebelum Cherry mengkonfirmasi bahwa dia membutuhkan pundak, Bia dengan tangan terbuka siap menerima segala keluh kesah Cherry. Gadis yang sangat ia cintai dengan sepenuh hati.

"Kesinilah, dada gue siap jadi penampung air mata lo. Pundak gue siap kalo lo mau nyandar seharian."

Bia memejamkan matanya. Ternyata Cherry begitu rapuh. Dia berhasil meruntuhkan gengsinya, berhasil menunjukan sifat seorang gadis pada umumnya. Tangisan Cherry pecah di pelukan Bia. Saat ini, tidak ada yang lebih nyaman daripada pelukan Bia. Hingga jenazah di berangkatkan ke tempat pemakaman umum, baik mami ataupun Cherry masih dibanjiri air mata kehilangan.

Acara pemakaman berjalan lancar dan khidmat. Waktu hampir menunjukan pukul 18.00, semua pelayat sudah meninggalkan pusara papi. Hanya ada Bia, Cherry dan mami yang belum rela meninggalkan papi yang sudah terkubur tanah.

"Mi, Cher ... kita pulang ya?"

Mami dan Cherry bergeleng serempak.

"Mami ga mau ninggalin papi sendirian di sini."

"Tapi, Mi...."

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, ternyata mami jatuh pingsan. Bia membopong mami ke dalam mobil. Mereka pulang meninggalkan TPU.

***

Seusai doa bersama, malam itu terasa sangat dingin. Entah karena situasi yang sedang berduka atau memang cuaca yang tidak bersahabat. Mami masuk kamar lebih awal. Bia menunggu Cherry yang masih termenung di kursi goyang kesayangan papi.

"Istirahat yuk ... !"

Cherry menggeleng.

"Jangan begitu. Ingat, sekarang mami cuma punya lo. Lo harus lebih sehat, lebih kuat dan lebih tegar dari mami. Lo ga mau mami sedih ngeliat lo hancur begini kan?"

Mendengar perkataan Bia yang dirasa masuk akal, Cherry menurut. Dia berjalan tanpa tenaga menuju lantai dua tempat kamarnya berada, diikuti Bia di belakangnya.