"Mi… kita harus bicara, sebentar aja!" bujuk Papi.
"Apa? Apa lagi yang mau Papi jelasin, Mami udah tau semua kok, dia memang anak Papi dengan wanita itu kan?"
"Bukan!"
"Halah… kalo bukan anak Papi, ngapain Papi undang dia ke acara Cherry."
"Mi…. please! Jangan pengaruhi Cherry soal ini."
"Dia udah dewasa, Pi. Tanpa Mami ajari pun, Cherry udah ngerti, dia tau bagaimana dia harus bersikap. Papi jahat! Papi ngerusak semuanya!"
"Mami….!" Teriak Papi.
Mami pergi ke kamar dan membanting pintunya sekencang yang ia bisa. Mami tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Cherry sangat terpukul, ia terkejut dengan pertengkaran hebat antara kedua orangtuanya.
"Semua ini gara-gara cowok itu. Liat aja, gue bakal kasih dia perhitungan!" ujar Cherry sambil mengepalkan tangannya.
Berhari-hari Mami mengurung diri di kamar. Ia enggan berbicara, apalagi makan. Mami seperti orang depresi. Tak bisa diajak bicara, hanya menangis sendirian. Cherry memang sangat dekat dengan Maminya, namun saat itu, ia menjadi tak berarti sama sekali, ia tak bisa mengubah pendirian Maminya, hanya sekadar untuk makan pun, Cherry tak bisa membujuknya.
"Cher…." ucap Papi sambil mengelus rambut putrinya.
"Kenapa, Pi?" sahut Cherry.
"Jangan terlalu dipikirkan, biar masalah ini, kami selesaikan sendiri. Kamu fokus aja dengan hari pernikahan kalian yang semakin dekat."
"Mana bisa begitu, Papi ga liat kondisi Mami? Papi tau kesalahan Papi?"
"Iya, Papi salah, maafin Papi, ya?"
"Maaf tak akan merubah apapun, kan?"
"Yaudah terserah kamu, sepertinya kamu juga belum bisa menerima Bia sebagai saudara kamu, ya?"
"Pi!"
Papi berlalu setelah mengecup kening Cherry. Pertama kalinya ciuman itu ia dapatkan dari seorang ayah. Selama 25 tahun ia hidup. Cherry berteriak histeris di dalam kamarnya. Seisi meja riasnya menjadi pelampiasan rasa kecewanya pada orangtuanya, terutama pada Papi. Ia merasa di khianati, sebagai seorang anak. Ia tidak pernah tau, apa yang sedang dihadapi keluarganya. Yang ia lihat, semua baik-baik saja. Ternyata semua seperti bom waktu. Dan, kemarin bom itu sudah meledak. Entah ada berapa bom waktu yang masih menunggu waktunya habis.
"Arrrrghhh......!"
Cherry menangis semalaman, matanya menjadi sembab dan bengkak. Padahal, hari itu, ia ada janji penting dengan klien bisnisnya. Meski Cherry sedang dalam kondisi tidak baik, ia masih berusaha pergi ke salah satu perusahaan Papi yang ia kelola dari awal. Ia merasa ada tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan begitu saja. Walaupun hubungan dengan Papinya sedang tidak baik-baik saja, bukan berarti ia juga akan lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai seorang direktur muda.
"Kenapa, Nona Cherry?" tanya kliennya usai bertemu.
"Nothing!" jawab Cherry pendek.
"Sepertinya Anda sedang tidak baik, terimakasih untuk meeting hari ini. Semua berjalan lancar. Kontrak kerjasama kita akan saya kirim besok."
"Iya, Pak."
Cherry sungguh tak ingin mencampur adukan perasaannya dengan urusan kantornya. Ia berusa se-profesional mungkin. Namun, Cherry merasa sudah tidak kuat lagi menahan kesedihan yang sedang ia rasakan usai pesta pertunangannya dengan Goldi. Ia mencoba menghubungi Goldi, tidak tersambung.
"Sepertinya Goldi sudah di pedalaman, daerahnya pasti susah signal. Kenapa harus di saat seperti ini dia jauh. Padahal gue butuh support dari dia. Pala gue hampir pecah gara-gara masalah Papi. Gimana perasaan Mami, kalo aku aja sehancur ini. Brengsek emang wanita itu!"
Cherry menghempaskan dirinya di sofa empuk yang berada di ruangannya. Ia tertidur untuk waktu yang cukup lama. Saat terbangun, di ruangannya sudah ada Papi.
"Papi, ngapain kesini?"
"Papi sengaja ke kantor kamu, soalnya kamu menghindar terus."
"To the point aja, apa tujuan Papi ke sini? Kalo buat ngebahas masalah kemarin, Cherry malas, Pi!"
"Tapi, kamu harus tau semuanya."
Cherry tak mempunyai pilihan, bagaimanapun juga, Papi tetaplah seorang ayah yang harus ia hormati. Ia duduk di samping Papinya.
"Papi kesini bersama seseorang," ucap Papi.
"Mami?" tanya Cherry.
Papi menggeleng, kemudian, laki-laki yang sekarang ia tau bernama Bia itu masuk ke dalam ruangannya. Pandangan Cherry begitu tidak mengenakan begitu melihat Bia masuk.
"Cher …. kenalin, ini Bia. Bia, ini Cherry, anak Papi, kakak kamu."
"Cih… ga sudi gue!" gumam Cherry.
Bia mengulurkan tangannya, bermaksud menyalami Cherry. Tentu saja Cherry menolaknya.
"Ngapain lo? Jangan sok baik sama gue. Lo ga inget kejadian kemarin?"
"Kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Papi penasaran.
"Tanya aja sama dia, Pi!"
"Iya, Pi. Ga sengaja, aku nabrak Kak Cherry waktu bawa undangan. Undangannya jatuh semua gara-gara aku tabrak."
"Sadar lo salah?" sela Cherry.
"Maafin gue, Kak, gua ga sengaja, lagian gue udah minta maaf kan."
"Terserah lo!"
Cherry memilih pindah dari tempat duduknya. Ia menjauh dari Papi ataupun Bia.
"Cher… mulai sekarang, Bia akan tinggal serumah dengan kita," jelas Papi.
"What? Ga bisa, Pi. Cherry ga setuju!"
"Please…." pinta Papi.
Cherry terdiam. Dia tidak mengerti apa tujuan Papi sebenarnya.
"Pi…Cherry mau ngomong berdua sama Papi."
"Ok. Bi… bisa tinggalin Papi sebentar?"
Tanpa diminta dua kali, Bia meninggalkan Cherry dan Papinya bicara empat mata.
"Kenapa? Apa yang mau kamu tau tentang Bia?" tanya Papi, sepertinya Papi menangkap signal yang begitu jelas dari anak perempuannya untuk mengorek informasi seputar Bia lebih jauh.
"Siapa dia?"
"Dia anak angkat Papi, dulu waktu Papi tinggal di Jawa Timur selama setahun, Papi kenal dengan perempuan yang sangat malang, waktu itu, dia adalah ibu kandung Bia."
"Terus hubungannya sama Papi apa?"
"Suaminya ga mau tanggung jawab, mereka nikah siri, jadi si perempuan ga bisa menuntut pertanggungjawaban yang lebih jauh pada suaminya itu. Kondisinya sedang hamil muda. Papi ga paham berapa usia kandungannya waktu itu. Yang Papi tau, dia mengemis di depan kantor cabang Papi yang di Surabaya untuk mempekerjakannya. Tentu aja Papi ga tega, Papi ijinkan perempuan itu buat tinggal dan bantu bersih-bersih di apartemen. Lagian waktu itu, Papi juga sedang butuh orang sebagai ART, kan."
"Kenapa Mami bilang dia anaknya Papi?"
"Kamu akan mengerti setelah menikah dengan Goldi."
"Kenapa begitu?"
"Kecemasan seorang istri jika jauh dari suaminya."
Cherry tak sepenuhnya mengerti, tapi ia berusaha mencerna semua penjelasan Papi. Entah kebenaran atau justru kebohongan yang sedang ia yakini. Kini, ia lebih tenang, setelah Papi pergi dari ruangannya. Namun, pikirannya kembali terpaut pada kondisi Mami.
"Gimana kondisi Mami sekarang ya?"
Cherry merapikan laptopnya dan bergegas pulang. Ia khawatir akan kondisi Mami yang semakin memburuk. Benar saja, Mami sudah tak sadarkan diri di kamarnya. Cherry segera menelpon dokter keluarganya untuk segera memeriksa kesehatan Mami.
"Nyonya Wilson harus segera mendapat perawatan intensif, tidak bisa dirawat di rumah. Akan bahaya jika terus begini," jelas dokter.
Mami segera dilarikan ke Gatot Soebroto Army Hospital, keluarganya mempunya akses khusus di rumah sakit tersebut. Entah dari mana asal muasalnya, yang Cherry tau tidak ada jejak TNI dari keluarganya. Mami mendapat perawatan terbaik di sana. Layaknya seorang istri jenderal TNI, semua perawat dan dokter memberikan perawatan ekstra untuk Nyonya Wilson.
"Mi…." sapa Cherry begitu melihat Maminya siuman.
"Kenapa Mami di rumah sakit, Cher?"
"Mami pingsan, lemas dan dehidrasi, tadi dokter merekomendasikan untuk membawa Mami ke rumah sakit. Kenapa Mami begini?"
"Maafin Mami, tapi Mami udah ga kuat dengan semua kebohongan Papi kamu. Lebih baik Mami berpisah dengan Papi."
"Mi… please, pikirkan baik-baik. Perpisahan itu menyakitkan," isak Cherry mulai menitikan air mata.
"Tapi, Mami udah berusaha menutupi dan melupakan semua keburukan Papi dari kamu, tapi justru Papi yang membuka sendiri aibnya di hadapan orang banyak."
"Kemarin, Papi dan Bia datang ke kantor, Papi menjelaskan siapa Bia sebenarnya. Mami percaya?"
"Apa kata Papi? Dia hanya anak angakatnya? Itu yang ia katakan padamu?"
"Iya."
"Terus gimana menurutmu?"
"Entahlah Mi, Cherry bingung."
"Maafin Mami, ya Cher. Mami menutupi semua ini dari kamu. Bertahun-tahun lamanya, tapi kamu udah tau semuanya sekarang. Birkan ini menjadi urusan Mami dan Papimu. Gimana kabar Goldi dan keluarganya?"
"Goldi sedang di pedalaman, dia sulit dihubungi, Mi."
"Fokus pada acara pernikahan kalian aja. Mami ga mau semuanya berantakan gara-gara anak itu."
Cherry enggan menanggapi nasihat Mami. Intinya sama dengan Papi, tapi bagaimana mungkin ia tutup telinga dengan semua masalah yang sedang dihadapi orangtuanya.
"Biarkan semua di jawab oleh waktu," gumamnya.
Tidak lama, Papi datang bersama Bia. Di ruangan itu ada Cherry dan Mami. Cherry menarik tangan Papi dan Bia. Mereka keluar.
"Pi… Papi mau ngebunuh Mami?"
"Apa maksud kamu, Cher?"
"Mami begini gara-gara Papi nekat mengundang dia dalam acara pertunangan Cherry, dan sekarang Papi bawa dia ke ruang perawatan Mami."
"Heh…lo sadar ga, lo udah ngehancurin keluarga gue, tau!" bentak Cherry pada Bia.
Bia diam, tak bergeming sedikit pun. Begitu juga Papi.
"Cherry ga tau siapa yang salah disini, Papi yang terlalu baik menolong orang lain sampai lupa dengan kebahagiannya keluarganya sendiri, atau cowok ini yang tak tau diri, berani-beraninya dia menampakan dirinya di situasi yang tidak pas."
"Cher…jangan batu seperti Mamimu!"
"Papi nyalahin Cherry yang bersikap seperti ini? Papi ga sadar juga?"
"Bia udah ga punya siapa-siapa di sana, apa Papi salah kalau ngajak dia ke rumah kita. Toh kamu juga sebentar lagi menikah, pasti kamu meninggalkan rumah dan hidup bersama Goldi, kan?"
"Itu bukan alasan yang masuk akal, Pi."
"Apa? Apa lagi yang harus Papi tutupin dari kalian. Papi ga bersalah, Papi hanya menolong Bia."
"Kenapa Papi ga sewakan aja rumah untuk dia, uang Papi banyak, atau apalah…tapi jangan bawa dan suruh dia tinggal di rumah kita."
"Justru itu, Bia bisa membantu kamu mengurus perusahaan-perusahaan Papi. Papi ga selamanya menghandle itu sendirian."
"Cherry sanggup, Goldi juga bisa ikut terjun ke bisnis Papi. Ga perlu melibatkan dia, dia bukan siapa-siapa, bukan keluarga kita!"
"Cher, stop it!"
"No! Sampai kapanpun Cherry ga akan setuju!"
Cherry pergi, Papi dan Bia duduk di koridor rumah sakit. Sementara Mami, masih tertidur karena pengaruh obat penenang dari dokter.
"Heran gue, kenapa si Bia itu ga sadar juga? Ngapain juga dia jadi patung di tengah perdebatan gue sama Papi, jelas-jelas dia penyebabnya!"