"Bukannya terimakasih, malah marah-marah. Dasar cewek jutek!" umpat Bia sambil menuju kamarnya di lantai bawah.
"Kenapa, Bi?" tanya Papi.
Kebetulan mereka berpapasan di tangga. Bia yang masih tampak kesal, ditambah wajahnya yang kusut karena baru bangun tidur menjawab pertanyaan Papi dengan asal.
"Itu loh, anak gadis Papi!"
"Kenapa Cherry?"
"Papi liat aja sendiri!"
Bia berlalu, tidak seperti biasanya dia bersikap kurang sopan pada Papi.
"Kenapa dia, tumben sewot."
Papi mempercepat langkahnya.
"Cher?"
"Papi....tumben pagi-pagi udah dateng ke kamar Cherry. Kenapa, Pi?"
"Kok kenapa? Ya Papi itu khawatir sama kamu lah. Kamu udah baikan?"
"Seperti yang Papi liat sekarang. Cherry baik-baik aja kan."
"Syukurlah.... Bia kenapa?"
"Oh itu....yaitu, ngapain Bia tidur di kamar Cherry?"
"Itu Papi yang minta, soalnya kemarin kondisimu itu kan mengkhawatirkan, jadi Papi minta Bia untuk tidur disini, barangkali kamu butuh sesuatu gitu kan."
"Oh...."
Papi duduk di kursi meja rias Cherry. Dia menemukan bungkusan kecil. Diraihnya dompet kuno berwarna merah itu.
"Ini apa?" tanya Papi.
Cherry segera merebut dompet kecil itu dari tangan Papi.
"Bukan, bukan apa-apa, Pi."
"Mana coba Papi lihat."
"Ga usah, Pi. Ini ga penting buat Papi."
"Yaudah, mana coba." Papi sedikit memaksa Cherry.
Sebenarnya Papi hanya bercanda, tapi Cherry menganggapnya serius. Cherry menghardik tangan Papi dengan tidak sengaja. Papi mengerang kesakitan. Ada luka lebam bekas hentakan tangan Cherry.
"Aduuuuh..." rintih Papi.
"Pi... maafin Cherry, ga sengaja," ucap Cherry menyesal.
"Aw... kamu kuat sekali, atau...?"
"Coba mana, Pi, Cherry lihat, kayaknya tadi ga sengaja kebentur meja ini, makanya jadi memar gini kan. Mana mungkin Cherry sekuat itu, Pi," elak Cherry. Meski sebenarnya ia yakin, tangan Papi sama sekali tidak membentur ujung meja riasnya.
"Iya ya... betul juga, ga mungkin kamu sekuat itu dengan tangan kosong membuat pergelangan tangan Papi sampai lebam begini."
"Makanya, Papi jangan maksa Cherry. Untung cuma kejedot meja, kan dan cuma tangan."
"Maksud kamu, kamu tega melukai Papi lebih dari ini?"
"Ih Papi.... sini biar Cherry obatin dulu!"
Dalam hati Cherry bertanya-tanya, apa iya dirinya menjadi sekuat itu. Lain waktu dia akan menguji seberapa kuat ia sekarang. Cherry turun ke lantai bawah mencari kotak P3K, kebetulan letaknya di dekat kamar Bia. Di waktu yang bersamaan, Bia keluar dari kamarnya.
"Cari apa lo?" tanya Bia basa-basi.
"Kepo lo!" jawab Cherry asal.
Dengan sengaja, Cherry menyenggol badan Bia. Dan, apa yang terjadi?
Bia terpental lumayan jauh, sekitar satu meter dari posisi awalnya. Lemparan yang cukup keras. Kepalanya membentur ujung lemari yang lancip. Kepala Bia sedikit terluka dan berdarah.
"Eh...Bi!" teriak Cherry setengah kaget. Dia sama sekali tidak menyangka hal itu akan terjadi.
"Aduuuh....!" rintihnya sambil memegang kepala bagian belakang.
"Lo berdarah?" Cherry kaget.
Bia melihat telapak tangannya yang berwarna merah.
"Ga apa-apa. Gue bisa ngobatin ini sendiri, kok. Lo makan apaan, jadi kuat gini?" tanya Bia terheran-heran dengan kekuatan yang dimiliki Cherry.
"Gue? Makan orang!" celetuk Cherry.
"Kayaknya pala lo abis kebentur deh. Abis sakit tambah galak aja. Hati-hati, laki lo bisa-bisa kabur, ga jadi married sama lo!"
"Kok elo nyumpahin gue sih!"
"Bukan nyumpahin, tapi ngingetin. Jadi cewek itu yang lemah lembut, jangan banyak marah-marah, cepet tua."
"Ah... bodo amat lah. Itu urusan gue. Sini, mau gue obatin ga?! Nanti lo ngadu ke Papi lagi."
"Emang sejak kapan gue jadi tukang ngadu. Kapan gue pernah ngaduin lo?"
"SINI!" bentak Cherry mulai kesal.
"Cherr.... Cherry...."panggil Papi dari kamar Cherry.
"Ya, Pi. Bentar."
"Nih ga jadi! Lo obatin sendiri aja!" Cherry melempar kapas, perban berikut antiseptik ke arah Bia.
"Dih.... katanya mau ngobatin! Gue bilangin ke Papi, nih!" ancam Bia sambil memunguti yang dilemparkan Cherry.
"Bodo! Dasar tukang ngadu!" sungut Cherry sambil pergi membawa kotak P3K untuk Papi.
Bia membawa peralatan P3K ke kamarnya, dia mengarah ke sebuah cermin besar di lemarinya.
"Haduuuh...susah, ga keliatan lagi!" umpatnya sambil terus meraba bagian kepalanya yang berdarah.
"Gila tuh cewek, selain galak, rupanya tenaganya kuat banget, kaya samson betawi aja. Masa badan gue yang gede gini, disenggol ama dia sampe mental, kejedot lemari pula!"
***
Sesampainya dikamar, Cherry terkejut dengan kondisi Papi yang sudah terbujur kaku di lantai kamarnya. Cherry menjerit dan meminta tolong.
"Papiiiii... help!"
Sudah pasti Bia yang lebih dulu sampai di kamar Cherry daripada Mami. Begitu Mami sampai dan melihat suaminya tergeletak di lantai, ia lebih histeris.
"Cherry....Papi kenapa?"
Bia mengangkat tubuh Papi ke kasur Cherry, melihat tangan Papi yang terluka, Bia segera merebut kotak P3K dari tangan Cherry.
"Sini! Biar gue aja." Cherry merebutnya kembali.
"Eh....tangan Papi kenapa, sini gue aja!" Bia merebut kembali.
"Biaaa!" bentak Cherry.
Melihat Bia dan Cherry yang terus saling memperebutkan kotak, Mami geram.
"Bia, Cherry! Ini bukan waktu yang tepat untuk hal kayak gini!" Mami marah.
"Sini, biar Mami aja!" direbutnyankotak itu dari mereka berdua.
Cherry dan Bia mundur beberapa langkah, memberikan sebuah ruang untuk Mami. Mami mengobati luka di tangan Wilson.
" Cher, Papi kenapa? Kenapa tangannya bisa luka kayak gini?"
"Mmmm.... itu, Mi. Tadi tangan papi kejedot ujung meja."
"Kejedot ujung meja sampai lebam begini?" heran Mami.
Papi sadar.
"Kenapa kalian pada ngumpul disini?" tanya Papi.
"Kok kenapa? Papi yang kenapa bisa pingsan di kamar Cherry?" Mami balik bertanya.
"Oh iya, ya.... loh tangan Papi kenapa, Mi?"
"Kata Cherry kejedot meja. Papi ga inget? Apa jangan-jangan kepala Papi juga terbentur?"
"Ish Mami apaan sih, kok ngumpahin Papi hilang ingatan!"
Cherry merasa aneh dengan kondisi Papi.
"Kenapa Papi bisa lupa dengan kejadian sebelum ini, ya?" batinnya.
"Cherr.... ambilkan Papi segelas air putih."
Cherry pergi ke dapur, di susul Bia dari belakang.
"Elo ngapain Papi?" tanya Bia penasaran.
"Gua ngapain Papi? Ya engga ngapa-ngapainlah. Yang mau gue apa-apain itu elo, Bia!" tegas Cherry.
"Emang elo mau ngapain gue?"
"Just wait and see!"
"Beeeuh...ngeri amat!"
"Heh, lo ngapain ngikutin gue sampe dapur?"
"Siapa bilang, kamar gue kan disini. Jangan sok kepedean!"
"Eh sialan! Udah berani lo sama gue?!"
Bia kabur, dia masuk ke kamarnya. Sebenarnya betul, Bia memang sengaja mengikuti Cherry sampai dapur. Bia sangat penasaran dengan Cherry, dengan kekuatannya, dengan kelakuannya dengan semua yang ada pada diri Cherry. Diam-diam, ia mengintip dari celah pintu yang dengan sengaja tidak ditutup rapat. Bia mengamati gerak gerik Cherry di dapur. Semua bisa dilihatnya dengan jelas karena dapur berhadapan langsung dengan kamar Bia.
"Ini aneh banget, gue harus cari tau. Gue yakin, semua ada hubungannya dengan kejadian kemarin dan dompet kecil pemberian kakek buyut," ujar Cherry. Dia tidak tau, kalau ternyata Bia sedang memperhatikannya dari kamar.
"Cherry ngomong apa ya? Gue ga bisa denger jelas," gumam Bia dari dalam kamarnya.
Cherry kembali dengan segelas air ditangannya.
"Heh Bia! Lo ngintip gue ya?"
"Eh...elo yang ngintipin gue, ini kan kamar gue! Kenapa lo bisa tau di dalem kamar gue lagi ngapain," elak Bia mencoba membela diri.
Merasa benar dengan perkataan Bia, Cherry berlalu tanpa berkata lagi. Tidak jarang sebenarnya dia merasa beberapa perkataan Bia benar, tapi karena terlanjur dendam dan gengsi, pastinya, Cherry mengekspresikannya dengan marah-marah. Cherry dengan watak sedemikan rupa, sejak dulu, sejak dia menginjak masa remajanya. Padahal waktu kecil, Cherry adalah gadis lugu, lembut dan ramah. Namun, entah apa yang merubah sifatnya menjadi gadis sangar dan emosional seperti saat ini. Meski kecantikannya tetap sama, bahkan bertambah cantik seiring bertambahnya usia Cherry.
"Astaga, Cherry! Kamu ambil air di Surabaya?" keluh Mami sesampainya di kamar.
"Maaf, Mi. Tadi...."
"Udah, udah, siniin cepetan!"
Melihat luka Papi yang cukup serius, Cherry merasa bersalah. Bagaimanapun juga, semua itu karena dirinya.
"Pi, kita periksain lukanya, ya? Kayaknya itu cukup serius deh," bujuk Papi.
"Ga usah, nanti sembuh sendiri, Cherr."
"Bener kata Kak Cherry, Pi." Bia yang ternyata mengikuti Cherry kembali ke kamarnya ikut meyakinkan Papi agar segera memeriksakan luka di tangannya.
"Yaudah." Papi mengalah.
Papi akhirnya menurut, dia mau setelah bujukan Bia. Cherry kembali kesal.
"Giliran Bia aja, langsung di iyain! Gue yang dari tadi bujuk, ga digubris. Gimana gue bisa ga kesel sama Papi, sama Bia. Kelakuan mereka berdua sama nyebelinnya!" gumam Cherry.
"Kenapa Cher?" tanya Mami yang mendengar gumaman Cherry.
"Ga apa-apa, Mi. Itu tadi ada kecoa terbang!"
Mami segera sadar, bahwa Cherry sedang kesal. Tentu karena sikap Papi yang begitu tunduk dengan Bia.
"Pi...jangan gitu sih!" tegur Mami.
"Apanya?" Papi bingung.
"Papi itu loh. Papi terlalu membeda-bedakan Bia sama Cherry."
"Tentang apa?"
"Tadi kan Cherry yang punya ide bawa Papi berobat, tapi Papi nolak. Giliran Bia yang ngomong, Papi langsung iyain."
"Astaga, jadi itu yang bikin Cherry sewot. Papi ga bermaksud begitu loh, Mi."
"Papi orangnya ga peka sama perasaan anak sendiri sih. Papi harusnya lebih sensitif dengan sinyal yang ditunjukan Cherry. Cherry sering ga nyaman dengan sikap Papi, semenjak ada dia!"
Sengaja Mami menyindir Bia. Meski tidak menyebutkan nama, jelas-jelas Bia-lah yang sudah jadi pemicu perdebatan mereka.
"Maaf Pi," kata Bia begitu Mami pergi menyusul Cherry.
"Udah, biarin aja!"
"Lama-lama, mereka berdua juga bisa nerima kehadiran kamu, Bi. Sabar aja dulu. Namanya manusia, pasti ada saatnya, hatinya dilembutkan, hatinya di bolak-balikan. Yang tadinya ga mau jadi mau. Udah tenang aja!" hibur Papi.
Mami menemukan Cherry di halaman belakang. Awalnya mau membujuk Cherry, nyatanya mereka berdua malah saling bertukar pikiran jelek perihal Bia dan Papi.
"Aku benci sama Papi."
"Gimanapun juga, itu Papimu Cher. Ga boleh begitu!"
"Memangnya, Mami ga kesel sama kelakuan Papi. Apalagi sejak Papi bawa Bia ke rumah ini. Cherry tuh jadi ga betah di rumah."
"Sebenernya, Mami.............................