Hari itu, Cherry adalah milik Bia.
"Kamu mau aku tidur di kamar bawah?"
Cherry menggeleng. Itu artinya, Cehrry menginginkan Bia untuk tidur bersamanya. Secara sadar, tanpa paksaan, untuk pertama kalinya.
Malam makin larut, baik Cherry maupun Bia belum ada yang bersiap di ranjangnya. Padahal keduanya sudah jelas sangat mengantuk.
"Cher ... tidur."
Serentak mereka terlentang pada kasur yang sama. Cherry menarik selimut bulunya. Membuat Bia tidak kebagian. Bia bergeser ke tengah, agar badannya terasa lebih hangat meski tidak berselimut. Tidak sengaja, kulit mereka bersentuhan. Ada getar yang begitu aneh. Pertama kali dirasakan oleh keduanya.
"Cher ...." Bia berbisik setengah mendesah.
Bia tidak kuat, dia mematikan lampu mejanya. Gelap. Hanya ada dua manusia yang sedang memadu kasih di bawah selimut super lembut. Kira-kira pukul 3 pagi, Cherry keluar dari kamar mandi. Ada wajah yang lain dari biasanya.
"Aku lapar."
Memang sejak siang tadi, tidak ada makanan apa pun yang masuk dalam perut mereka. Bia bangkit. Meraih tangan Cherry.
"Ikut aku."
"Kemana?"
"Laper kan?
"Emang lo bisa masak, Bi?"
Meski ragu, Cherry mengikuti langkah Bia menuju dapur. Dua bungkus mi instan dan telur disiapkan Bia dalam sekejap.
"Silakan putri...."
Bibi yang mendengar suara gaduh dari dapur, keluar.
"Non Cherry dan Den Bia, makan selarut ini?"
Bibi senyum-senyum sendiri melihat dua majikannya sudah mulai akur. Ya, bibi adalah salah satu saksi bisu kehidupan mereka. Andai di dimintai keterangan, pastilah sangat akurat dalam memberikan kesaksian.
"Hihi ... rambut Non Cherry basah malem-malem gini."
Bibi tersenyum, antara geli dan senang.
Cherry begitu menikmati semangkok mi instan dengan telur ceplok buatan Bia.
"Enak ga?"
Cherry hanya mengangguk, sambil terus menyeruput sisa kuah di mangkoknya.
"Mau aku buatkan lagi?"
"Engga, gue kenyang."
Mereka kembali dengan sisa mangkok yang tergeletak begitu saja di atas meja makan.
"Tidurlah, makasih ya."
Cherry bingung, apa yang harus ia katakan. Rasanya tidak ada kata-kata yang mampu mewakili perasaannya malam itu. Mereka tidur dengan berlawanan arah, saling memunggungi satu sama lain.
"Kenapa gue bisa ngelakuin ini sama Bia sih!" umpat Cherry dalam hati.
Ternyata, Cherry memendam rasa sakit yang begitu mendalam saat bersentuhan dengan Bia. Dia diam tanpa ada yang tau.
***
Sebulan kemudian ...
"Bi, gue telat nih?"
"Apaan?"
"Telat sebulan."
"Apanya, bayar listrik? Bayar tagihan kredit? Apaan, yang jelas, Cher!"
"Ih ... lo ga ngerti amat sih. Itu looooh!"
Cherry bingung bagaimana caranya menjelaskan pada Bia. Secara tanda-tanda, Cherry memang hamil. Tapi, dia belum mengeceknya secara langsung.
"Gue minta tolong beliin beginian, Bi. Di apotek!" Sambil menunjukan gambar testpack di layar ponselnya.
"Kamu hamil?" tanya Bia girang.
"Makanya lo beliin dulu."
"Oh maksud kamu, telat dateng bulan. Ya elah, ngomong begitu aja susah sih, kamu, sayang."
Tanpa ba-bi-bu? Bia langsung memacu mobilnya ke apotek terdekat, berjarak 10 menit dari rumahnya. Dengan hati berbunga-bunga, ia kembali menemui Cherry.
"Nih." Sepak alat cek hamil di tangannya.
"Astagaaaa! Lo mau jualan test pack, hah? Beli satu atau dua kan cukup, Bia!"
"Mana tau kamu ga yakin, bisa cek berulang kali sampai kamu puas. Yaudah sih, buruan-buruan!"
Cherry buru-buru ke kamar mandi. Tidak lama terdengar teriakan dari sana. Secepat kilat, Bia datang memberi pertolongan.
"Cheer ... buruan buka, kamu kenapa?"
"Bia! Lo jahat!"
Hanya itu yang Cherry ucapkan berulang kali. Dia keluar dengan hasil testpack ditangannya. Diraihnya dari tangan Cherry.
"Kamu hamil?"
Bia berlonjak kegirangan sebelum Cherry memberi jawaban.
"Akhirnya gue jadi papa!"
Mendengar suara gaduh dari lantai atas, Mami penasaran.
"Bia, Cherry, kenapa sih?"
"Mi ... mami bakalan jadi Oma!" jelas Bia antusias sendirian.
"Iya Cher?"
Mami langsung memeluk putrinya. Kini, hanya Chery yang menjadi sosok tanpa ekapresi di ruangan itu.
"Mami ga nyangka Cher. Pokonya mulai sekarang, kamu harus ekstra hati-hati. Udah ga perlu lagi pergi ke kantor. Biar semua perusahaan di pegang Bia. Kamu ga perlu lagi mikirin urusan kantor. Fokus sama kehamilanmu, aja. Ya ? Bi?"
"Pasti Mi, ga usah khawatir, pasti perusaan Cherry akan aku jalanin."
"Yaaaah..., mana bisa begitu, Mi. Itu perusahaan udah Cherry pegang dari nol loh. Mana mungkin Cherry kasih kendali ke Bia."
"Mami tau betul kondisi kesehatanmu akhir-akhir ini. Kamu jangan sampai stress. Jelek efeknya buat kendungan kamu, Cher. Udah nurut aja!"
Mulai hari itu, Cherry bak putri raja. Kemana pun dan apa pun yang dia lakukan, selalu mendapat pengawasan langsung dari Mami atau pun Bia.
***
01.00 WIB
"Bi ... Bia, banguun ih!"
Bia yang baru tidur, kira-kira dua jam yang lalu, akhirnya terbangun lagi, ketika Cherry membangunkannya.
"Kenapa, Sayang?"
"Aku mau ituu...."
"Apa?"
Bia sadar, Cherry sedang menagandung, pasti nyidam. Dia sudah menunggu momen untuk ini. Mami sudah memberitaunya jauh-jauh hari. Bia berubah antusias begitu Cherry merajuk.
"Mau apa, Sayang, bilang aja. Paaaasti aku kabulin."
"Bener loh?! Aku mau liat kamu nyembelih ayam."
"Nyembelih ayam? Malem-malem gini? Harus aku? Kita nonton video aja, ya?"
"Katanya tadi mau dikabulin!"
Cherry manyun.
"Eee... kita kan ga punya ayam hidup, lagian, ini tengah malem loh. Atau enggak, besok pagi aja gimana, nunggu bibi ke pasar dulu, beli ayamnya."
Cherry menggeleng, memasang wajah sedihnya.
"Yaudah ... aku tidur aja."
Bia merasa tak enak hati, dia sudah terlanjur janji, juga berjanji dengan dirinya sendiri untuk mengabulkan apa pun yang Cherry minta. Tapi, masalah seperti ini, dia tidak menyangka sama sekali, dia pikir, wanita hamil hanya akan meminta sebuah makanan ketika mereka nyidam.
"Yaudah, kamu sini dulu ya. Jangan kemana-mana. Aku cari ayam dulu."
Cherry girang. Meraih ponselnya untuk menunggu Bia membawa apa yang dia inginkan.
Satu jam kemudian....
"Sayang, aku udah bawa ayamnya nih!"
Bia semangat sekali, mengantarkan seekor ayam berukuran besar yang ia dapatkan dari tetangga sebelah yang hobi ayam hias. Bia membelinya dengan harga fantastis untuk seekor ayam, 5 juta untuk seekor ayam, demi istrinya yang sedang nyidam.
"Ih... kok ayan begituan?"
"Terus ayam yang gimana?"
"Ayam item, ayam cemani!"
"Ya Allah ... mana ada ayam begitu. Ini juga boleh memelas dari tetangga, Cher!"
"Yaudah lah, lepasin aja, lagian aku juga udah ga kepengin."
Bia pergi, rasanya pasti kesal bukan main.
"Kuingin maraaaah... melampiaskan, tapi ku tak bisa."
Bia menarik nafas panjang sambil mengelus-elus kepala ayam yang ada di tangannya.
"Ayam, nasib lo beruntung malem ini, kagak jadi gue potong pala lo!"
Bia melepaskan si ayam, di taman belakang rumah, sambil sedikit menendang pantat ayam, karena menahan emosi.