webnovel

Di ujung Maut

Tiiiiiiit ....

Karen kesal, Cherry memencet klakson mobilnya berlama-lama. Dia geram, entah karena mobilnya penyok atau karena sekarang dia yakin bahwa sesuatu telah menyatu dengan dirinya. Itu artinya dia akan semakin kuat dan semakin sulit untuk melepaskan benda asing tersebut. Selain itu, badannya juga akan semakin sering sakit karenanya.

Pyaaaaar ....

Kaca spion bagian dalam retak karena suhu yang begitu panas akibat pancaran dari tubuh Cherry.

"Astaga!" seru Cherry kaget.

"Okay, calm down ... please!" bujuknya pada diri sendiri.

Selang 30 menit berikutnya, suhu dalam mobilnya mulai stabil, AC mobilnya terasa dingin kembali.

"Haha ...."

Dia tertawa terbahak-bahak. Merinding bulu kuduk yang mendengar tawa Cherry. Beberapa yang tidak sengaja melintas di samping mobilnya, lari dengan kecepatan penuh tanpa menengok ke belakang lagi.

"To-to-tolong!" teriak seseorang yang tampak ketakutan setelah melewati mobil Cherry.

"Kenapa?" tanya Bia yang kebetulan disana.

"Ada perempuan kerasukan setan!"

"Setan? Siang-siang begini? Dimana?" tanyanya.

"Di parkiran rumah sakit!"

Bia memang menyewa sebuah kamar hotel yang letaknya bersebelahan dengan rumah sakit itu. Karena penasaran dan curiga, Bia berlari kearah mobil yang ia kenal.

"Udah pasti itu Cherry!" ujarnya penuh yakin.

"Kan!"

Dugaannya tepat setelah ia melihat plat nomer mobil sedan itu.

"Sepertinya dia mau pergi. Gue harus buntutin Cherry!"

Bia mengambil mobilnya di parkiran halaman hotel. Begitu melihat mobil Cherry melintas, ia mengikutinya dari kejauhan. Rupanya ia menuju sebuah kawasan hutan lindung di daerah Bogor. Bia terus mengikuti Cherry.

"Kemana Cherry pergi? Ini ke arah Bogor?" gumamnya sambil memacu mobilnya lebih cepat.

Tepat di sebuah hutan lindung, Cherry memarkirkan sedannya di sebuah rumah kosong yang tak jauh dari sana. Sepertinya ia sengaja masuk lewat jalan lain, agar tidak di curigai polisi hutan yang sedang berpatroli.

"Ok ... gue harus lebih hati-hati. Dia kelihatannya lebih waspada nih. Ngapain dia ke sini ya?"

Cherry menggulung rambutnya yang terurai. Dengan penampilannya yang khas, meski lebih terlihat aneh karena tidak menggunakan make-up tebal seperti biasanya.

"Hhh ... dasar cewek jutek! Ke tempat begini, dia pake heels," gumam Bia sambil terkekeh melihat Cherry yang kesusahan melintasi semak belukar di hutan itu.

"Kaya ada yang ngikutin gue!" ujar Cherry sambil tengak- tengok mencari arah datangnya suara yang ternyata berasal dari Bia.

Untungnya Bia segera sadar, dia tiarap diantara belukar yang ada di hadapannya.

"Fiiuh ...! Hampir aja!"

Kini Bia lebih waspada dari sebelumnya, Cherry makin dalam memasuki hutan, tidak ada suara apa pun yang terdengar. Sesekali ada suara serangga yang silih berganti, menjadi backsound penguntitan Bia terhadap Cherry.

"Ini cewek, bener-bener ya!" keluh Bia.

Cherry memasuki sebuah tumpukan batu yang lebih mirip seperti goa. Bia bersembunyi di belakang batu besar yang menjadi pintu goa tersebut. Dia bisa mendengar jelas suara Cherry.

"Ini bukan goa alami. Ini sengaja disusun oleh seseorang. Tapi siapa yang bisa menyusun tumpukan batu yang begitu besar begini. Gue aja belum tentu kuat mennggeser satu batu ini, apalagi menyusunnya seperti ini. Ini bukan pekerjaan mudah. Terlebih buat gadis kota seperti Cherry. Ini mustahil, jika dia yang melakukannya."

Bia masih terus mengamati Cherry.

"Sayang ...."

"Sayang? Jangan-jangan itu tunangan Cherry!"

"Maafin aku, aku ga sengaja membuat kamu begini. Aku diluar kendali waktu itu. Maafin aku, sayang ...," tangis Cherry.

"Ah bener!"

"Semua ini gara-gara Bia!" (tertawa).

"Gue?" Bia kaget.

"Gue akan balaskan!"

"Ja-jadi ... Cherry mau balas dendam ke gue. Tapi kan, gue ga ngapa-ngapin cowoknya! Jelas-jelas Cherry yang ngebunuh tunangannya."

Bia mulai berkeringat karena mendengar ancaman Cherry. Dia masih terus mengamati Cheery. Seperti sedang melakukan sebuah ritual. Cherry menyusun tulang belulang Goldi yang masih menyatu di atas sebuah batu besar seperti meja. Gerakan tangannya seperti seorang peramal dengan sebuah bola ajaibnya. Tidak begitu jelas apa yang ia lakukan selanjutnya. Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Bia sempat ketakutan, namun tidak beranjak. Kini, di depan matanya, Bia melihat kekuatan supranatural yang dimiliki oleh Cherry. Sebuah api kecil ia ciptakan dengan kedua tangannya. Bia takjub.

"Ckckck....gue pikir cuma di film!" batinnya.

Makin lama, semakin besar, rupanya api itu ia gunakan untuk membakar tulang belulang Goldi. Dalam sekejap api sudah menjadi kobaran yang sangat besar. Cherry menghirup dalam-dalam aroma yang menyeruak dari goa batu itu. Bau khas tulang yang di bakar. Bia begidik menyaksikannya. Tiga puluh menit, tulang putih itu sudah menjadi abu. Cherry mengumpulkannya perlahan. Kemudian Cherry mengambil sebuah batu yang cekung, menyerupai mangkok. Ditaruhnya abu-abu itu di sana. Dia melakukannya lagi. Kali ini, seperti pengendali air. Abu-abu itu terangkat, menyerupai wujud manusia.

"Sayang ...," ucap Cherry sambil memeluk abu berwujud manusia itu.

"Bener-bener gila cewek tuh!"

Cherry meniup abu itu dan mereka kini bersatu. Abu itu masuk ke tubuh Cherry.

"Aish!"

Bia jatuh terjengkang karena terkejut dengan rangkaian kejadian yang baru aaja ia saksikan.

"Gua ga nyangka, ini kejadian nyata kaya yang gue lihat di film-film barat!" batin Bia.

Mendengar bunyi yang mencurigakan, Cherry segera menoleh ke luar goa.

"Bia!" serunya.

"Sejak kapan lo disini. Lo ngikutin gue!"

"So-so-sorry Cher ... gue terpaksa ngikutin lo, karena gue curiga sama kelakuan lo yang aneh ba-banget."

Dan ...

"To-to-long ...."

Sekejap saja, tangan Cherry sudah mencengkram leher Bia dengan erat. Bia kesusahan bernafas. Wajahnya sudah pucat. Entah kenapa, Cherry terpental ke dinding goa batu itu.

"Kenapa gue ga bisa gerak!" rintih Cherry.

Bia melihat pergolakan diri Cherry, seperti sedang melawan diri sendiri. Ada yang mengendalikan dirinya dari dalam. Sekuat tenaga, Cherry berusaha bangun, hendak meraih Bia. Tapi kekuatan lain, menahannya.

"Aaargh!!" teriak Cherry.

Tangan Cherry masih berusaha meraih sesuatu untuk melukai Bia. Sementara kepala Cherry, mengisyaratkan kepada Bia untuk segera pergi. Bia mengerti, dia segera lari. Sambil terbatuk-batuk, Bia berlari secepat yang ia bisa.

"Akhirnya, gue bisa kabur juga!"

Bia segera mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia tidak lagi memperdulikan keadaan Cherry, gadis yang sekarang menjadi istrinya.

"Gue hampir mati! Sekarang, apa yang harus gue lakukan. Apa mungkin gue harus segera menceraikan Cherry. Bisa aja dia mau bunuh gue lagi. Bisa aja sekarang gue selamat, belum tentu besok gue masih hidup."

Bia memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah gang yang mengarah ke rumah orangtuanya. Dia berhenti cukup lama disana.

"Gue kasih tau Papi ga ya?"

"Jangan deh!"

Bia memutar balik.

Tit ... tiit ...

Seseorang keluar dari mobil itu.

"Papi?" ujar Bia sambil menepuk jidatnya.

Terlambat baginya untuk pergi, Papi sudah mengetuk kaca mobilnya.

"Ah ... telat! Ga mungkin gue tancap gas kan! Cuma Papi yang gue punya, sekarang."

"Bi ... mau kemana? Papi mau ngomong sebentar."

Bia keluar dari mobilnya, mereka bercakap di taman yang tak jauh dari sana. Papi memeluk Bia, dia meminta maaf untuk semuanya.

"Pi ... aku juga mau ngomong sesuatu ...."