Kondisi mami jauh lebih baik dari seminggu yang lalu. Wilson merawatnya dengan baik.
"Udah seminggu mami di rumah, tapi maminga pernah liat Cherry, juga hanya beberapa kali liat Bia. Apa mereka udah tinggal sendiri, Pi?"
"Em .... "
"Pi, Papi menyembunyikan sesuatu dari mami, ya?"
Wilson diam sejenak, menyiapkan kata-kata yang pas agar ucapannya tidak begitu melukai hatinya. Dia menarik nafas panjang, kemudia menatap mata istrinya dalam, "Mi ..., sebenarnya, selama ini Cherry ga pernah pulang lagi. Sudah satu tahun lebih, dia menghilang. Hampir bersamaan dengan menghilangnya mami waktu itu. Sekali pada waktu itu, dia menghubungi Bia, katanya dia pindah ke Jawa Tengah."
"Astaga Cherry... apa ada nomer Cherry yang bisa dihubungi?"
"Sama sekali," sambil menggeleng.
Mami menunjukan wajah sedihnya. Papi mengusap punggung mami, tidak ada yang terucap, tapi saling menguatkan.
"Cherry sama Bia tinggal bersama?"
Kali ini papi menggeleng.
"Bia tetap disini, namun sejak kejadian itu, dia jarang sekali pulang, entah menginap di mana."
"Astaga ...."
Sebenarnya papi agak tidak berselera untuk bercerita mengenai kebiasaan Bia yang mulai tidak terkontrol. Bia yang jarang pulang, urusan perusahaan yang mulai berantakan karena kurang kontrol sampai masalah kebiasaan buruknya di rumah.
"Mi, urusan Bia biar menjadi tanggung jawab Papi. Mami fokus sama kesehatan mami aja."
Tiba-tiba security masuk dengan tergesa-gesa membawa sebuah botol bekas minuman yang berisi foto pernikahan antara Wilson dengan istrinya.
"T-Tu-Tuan ... i-ini, ada yang melempar ini dari depan gerbang, waktu saya kejar, orangnya keburu kabur."
Security menyerahkan barang mencurigakan itu pada majikannya.
Papi membukanya dengan penasaran, kemudian melemparkan foto dirinya yang tercoret sebuah tinta merah menjauh dari posisinya.
"Apa itu, Pi?"
"Foto kita, Mi."
"Siapa yang kirim?"
"Surat kaleng, Mi. Sepertinya ini sebuah teror dan ancaman."
"Papi ada musuh?"
"Sejauh ini, ga ada Mi. Rasanya pesaing bisnis Papi fine-fine aja, kalah tender pun jadi hal lumrah yang tidak sampai berakibat seperti ini."
Keduanya diam, mencoba mengingat-ingat barangkali ada yang memang tidak menyukai atau sengaja ingin menghancurkan keluarga mereka.
"Jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan apa, Mi? Mami tau siapa pelakunya?"
"Mami curiga kalo pelakunya orang yang sama dengan orang yang menyandra Mami waktu itu."
DEG!
"Siapa? Mami kenal sama dia?"
Mami menggeleng, menghela nafas lalu melanjutkan, "Orang itu selalu memakai topeng dan selalu berpakaian hitam. Tidak pernah sekali pun menunjukan wajah aslinya. Suaranya juga selalu berubah, dia menggunakan filter suara, mungkin agar identitasnya tidak diketahui."
"Emangnya mami sedang dimana waktu itu?"
Mami mulai memflash back kejadian yang mengerikan di hari ia disandra dan dibekap oleh seseorang yang tidak ia kenal.
"Hari itu, mami seperti melihat Cherry di sekitar rumah sakit tempat Bia di rawat. Mami ikuti gadis itu diam-diam. Tapi, Mami kehilangan jejaknya. Pas lagi duduk, ada yang menepuk dari belakang. Setelah itu, udah, sampai selama itu, dia mengurung Mami."
"Dimana, Mami tau?"
Mami kembali menggeleng.
"Dia menutup semua dinding tempat Mami dikurung dengan kain hitam. Tangan dan kaki Mami selalu terikat. Jika ada yang mendekat, kepala Mami di tutup dengan kain. Jadi, hanya suara aja yang bisa kudengar, Pi."
"Sepertinya dia sudah melakukan aksinya dengan sangat profesional. Polisi angkat tangan untuk kasus ini. Papi pernah melaporkan kasus Mami pada 3 kantor kepolisian yang berbeda dan semuanya menyatakan menutup kasus itu sebelum menghasilkan hasil yang sesuai harapan." Papi menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.
"Akhirnya setelah usaha papi yang ketiga itu, Papi pasrah, tidak ingin melibatkan pihak kepolisian untuk kasus ini. Dan ternyata, Mami pulang disaat Papi hampir putus asa dengan semuanya."
"Oke lah ... yang penting Mami udah kembali. Itu gimana ceritanya, Mami tiba-tiba bisa ada di depan gerbang?"
"Pagi-pagi banget, tiga orang yang ga pernah ke ruangan itu, tiba-tiba menyeret Mami dan memasukan ke mobil, posisinya dengan mata tertutup. Habis itu, ya sudah, Mami diturunkan dengan cara didorong dari dalam mobil. Mami ga tau, dimana Mami diturunkan. Sampai pada akhirnya si mamang berteriak dan nolongin Mami."
"Aneh ya, siapa ya orang yang tega begini. Padahal Mami kan jarang punya musuh. Apalagi ini ditahan dengan waktu yang sangat lama menurut Papi. Dia ada ngomong apa, atau ngancem apa gitu ga, Mi?"
"Dia cuma bilang mau ngehancurin rumah tangga kita. Tapi kadang-kadang dia berlaku kurang senonoh sama Mami."
Papi berfikir, menerka setiap lawan tendernya yang kira-kira sedikit sangar dan pendendam
"Rasanya ga ada!"
"Tapi, Mami yakin, dia bukan orang Jakarta. Logatnya jawa, Pi. Dia sangat fasih menggunakan bahasa daerah."
"Yakin? Jangan-jangan ...." Papi tidak langsung menyebutkan siapa namanya. Dia hanya mencurigai satu orang.
"Orang itu adalah suami sirinya Melani, mamanya Bia."
"Papi masih berhubungan sama orang itu?"
"Sebenernya dari awal, Papi ga begitu kenal baik sama dia. Cuma dulu Papi sempat berhutang budi sama dia, terus cerita sana sini, dia minta dicarikan jodoh. Kebetulan, Papi kenal sama Melani, dia juga sendiri waktu itu. Jadilah Papi dekatkan mereka berdua. Karena mereka berdua ngerasa klop, yaudah jadilah nikah. Tapi dia ga mau nikah negara, karena identitasnya kurang ini dan itu, makanya di nikah siri."
"Jadi, laki-laki itu ga tau kalau Melani udah punya anak?"
"Tau, tau. Tapi dia menolak keberadaan Bia. Dia hanya mencintai Melani, tidak dengan Bia."
"Terus, apa hubungannya dengan Mami yang diculik. Bahkan Mami kenal sama dia juga engga, pernah ketemu juga enggak. Terus alasannya apa?"
"Ya mungkin, dia dendam sama aku, karena merasa dibohongi dengan kondisi Melani yang sesungguhnya waktu itu. Padahal ...."
"Stop, Papi ga usah jelasin lagi!"
"Tanggung, Mi. Sudah setengah penjelasan. Sekalian, ya?"
Tanpa menunggu persetujuan dari istrinya, Papi menjelaskan kembali, seberapa jauh dia mengenal suami siri almarhumah Melani. Papi menjelaskan ciri-ciri fisik laki-laki yang bernama, Faisal. Dengan segenap daya ingatnya, mami berusaha membuka memorinya yang begitu buruk.
"Mirip sih, tapi ga yakin orang yang sama. Jika tidak ada bukti nyata yang mengarah padanya, kita ga bisa ngangakat kasus ini, Pi."
"Mami yakin ga ada satu pun jejak yang bisa dilacak?"
"Kayaknya gitu deh Pi."
Pemikiran mereka kembali menemui titik buntu. Namun, setidaknya sudah ada titik terang, siapa yang kemungkinan bisa melakukan hal sejahat ini dengan cantik dan bersih. Meski tanpa bukti, tidak ada salahnya, Wilson dan istrinya mencurigai suami siri Melani.
"Pi, Mi ..., apa kalian sedang membicarakan ayah tiriku?"
"Bia, sejak kapan kamu berdiri disitu?"
"Cukup untuk mendengar semua cerita Papi yang selama ini dirahasikan. Aku udah mendengar semuanya."