webnovel

Anak Kecil Pembuka Rantai

"Cher ... Bia mana?"

Cherry hanya menggeleng dan malas berkata-kata.

"Cherry! Bia itu suami kamu, seharusnya kamu lebih peduli dan perhatian padanya!"

"Terus mau Papi gimana?"

"Ya kamu ajak dia buat sarapan."

"Bia udah gede, Pi. Dia tau kapan saatnya sarapan, kapan waktunya makan siang dan makan malam. Buat apa repot-repot mengingatkan. Lagian kalo laper kan, dia bisa makan sendiri atau ngambil di dapur. Kamarnya kan sebelahan sama dapur!"

"Begitu caramu menghormati orang lain? Menghormati suami kamu?"

"Pi ...!"

Braaak...

Cherry pergi ke kamarnya dan meninggalkan sarapannya begitu saja. Begitu juga Papi. Tinggal lah Mami seorang diri di meja makan itu. Karena mendengar keributan, Bia keluar kamar dan menghampiri Mami.

"Ada apa Mi?" tanyanya polos.

Mami pun enggan memberi tahu. Sebatas mengangkat kedua bahunya saja.

"Mami udah makan?"

"Makan lah, Mami kenyang." Lalu bangkit dan pergi.

Hal yang biasa dirasakan Bia sejak dirinya ada di sana. Ada empat buah kursi di meja makan, tapi setiap jam makan kursi itu selalu kosong, kalau pun ada, hanya dua saja yang terisi. Antara aku dan papi atau mami dan Cherry. Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah mereka berempat dalam satu meja yang sama.

"Pi ... dari mana? Udah makan?"

"Udah. Papi kira kamu sakit."

"Udah mendingan kok."

"Papi dari mana. Yang lain kenapa?"

"Ya biasa lah ... Udah makan. Yang banyak, jangan sampai sakit!

Cherry yang mengambil sesuatu dari dapur, seketika memutar arah melihat Bia dan Papinya tengah mengobrol hangay di meja makan. Bukankah itu pemandangan yang harusnya menjadi kebiasaan yang menimbulkan kehangatan dalam sebuah keluarga?

"Hhhh ... ngapain sih Papi sama Bia? Bikin gue males di rumah aja."

"Mi, aku pergi dulu!" pamitnya sambil menenteng sebuah tas laptop dan membawa kunci mobilnya.

"Kemana?"

"Ke kantor. Nyari AC, di sini panas!"

Mami paham maksud Cherry. Karena apa yang dirasakan Cherry bisa jadi sama dengan perasaan mami. Memang, hubungan Cherry dengan papi tidak sedekat Bia dengan papi. Wajar, bila Cherry meresa iri dan cemburu akibatnya. Tapi, dia tidak tau bagaimana cara mengungkapkannya. Alhasil, emosi dan marah-marah adalah satu-satunya cara baginya untuk meluapkan kekesalan itu.

"Arrgh!!"

Cherry menggeram begitu sampai di dalam mobilnya yang kini sudah kembali sempurna. Mengingat betapa hancurnya mobil kesayangannya itu, ia segera tersadar.

"Calm down!" bisiknya.

Namun, meski emosinya telah mereda. Tapi suhu badannya sudah terlanjur naik. Membuat AC di dalam mobilnya sama sekali tidak berasa. Baru beberapa menit ia mengendarai mobilnya, Cherry menepikan mobilnya di bawah flyover. Entah di daerah mana. Yang jelas banyak gelandangan yang berteduh di bawah sana. Cherry miris melihatnya. Hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu.

"Eits ... kenapa nih gue?!" batinnya.

Langkah kakinya menolak untuk maju, tapi hati kecilnya terus mendorong Cherry untuk bertindak. Ini di luar kendalinya.

"Ah ... Goldi! Ya, ini pasti dia."

Akhirnya, Cherry merelakan dirinya bergerak sesuai hati nuraninya. Di bawah kesadarannya, Cherry membagi-bagikan nasi bungkus yang ia beli di warung tegal di seberang flyover. Betapa girang dan bahagianya mereka, sepagi itu sudah mendapat menu sarapan yang luar biasa menurut mereka. Seorang anak kecil mendekatinya.

"Kak, sini deh." Anak kecil itu memohon.

Cherry membungkukan badannya. Di luar dugaan, anak itu mencium pipi Cherry dengan lembut.

"Kakak cantik, orang baik!" katanya, lalu pergi sambil melambaikan tangan.

Cherry mengusap pipinya, tepat di bekas kecupan anak itu.

"Hangatnya ...."

Criiiing ...

Tiba-tiba, tubuh Cherry terasa amat ringan. Berbeda dari sebelumnya. Langkah kakinya sangat ringan. Seperti baru saja terlepas dari sebuah rantai besar yang kuat yang mencengkramnya selama ini.

"Wow ... apa lagi ini?" gumamnya takjub.

Cherry sadar, ini ada kaitannya dengan anak kecil yang baru saja ia temui. Ia mencari-cari anak tersebut. Matanya berputar mencari ke segala arah. Tapi tetap saja tidak ketemu.

"Kak, tetap jadi orang baik!" teriaknya dari atas jembatan penyebrangan.

Jarak yang cukup jauh, membuat Cherry tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Apa kamu bilang? Aku ga denger!" balas Cherry.

Lagi-lagi, Cherry kehilangan sosoknya.

"Siapa dia? Dia bisa melepaskan rantai jahat itu dari tubuh gue. Gue harus ketemu sama anak kecil itu."

Cherry yang hendak menyusul anak kecil itu, tiba-tiba mendengar sebuah klakson panjang dari sebuah monil derek.

"Astagaaaa ... mobil gue!" teriak Cherry kaget.

Cherry berlari sekuat tenaga, menghampiri polisi jalan yang bertugas merapikan kendaraan yang terparkir liar. Termasuk mobil Cherry. Rupanya Cherry memarkir mobilnya tepat di sebuah rambu larangan parkir.

"Anda tau rambu-rambu ini, Mbak?"

"Iya ... tapi, cuma sebentar kok Pak,

"Anda tau yang namanya hukum? Pelanggaran? Nah silakan ambil mobil Anda di Polsek. Ini surat pelanggaran Anda dan untuk surat panggilannya akan segera kami proses. Bisa minta KTP dan SIM-nya?"

Pertama kalinya, Cherry melakukan sebuah pelanggaran lalu lintas dengan kasus yang bisa dibilang remeh.

"Mana hape gue di dalem mobil. Tas gue juga! Ini masa gue harus pulanh jalan kaki?!" gerutunya.

Memang tidak ada cara lain. Pilihannya hanya pulang dengan jalan kaki atau melanjutkan perjalanannya menuju kantor yang jaraknya dua kali lipat lebih jauh. Setelah berunding dengan dirinya sendiri, Cherry memutuskan untuk kembali ke rumah. Meski di rumah, kondisinya akan lebih panas dari pada debu jalanan kota Jakarta.

"Sial banget hidup gue! Sepagi ini, gue udah mandi keringat. Mana pake sepatu tinggi begini. Sampe rumah, bisa pegel semua betis gue."

Cherry terus mengumpat sepanjang jalan menuju rumahnya. Dari arah berlawanan, tampak mobil Papi keluar dari gang menuju rumahnya.

"Lah itu si Papi sama Bia, bukan sih?" gumamnya.

Cherry setengah percaya dan tidak, dia yakin itu mobil papinya.

"Tapi, di belakang tadi seperti ada seorang perempuan. Kalo mami, rasanga ga mungkin deh! Gue harylus cepet sampe rumah nih. Perasaan gue ga enak. Jangan-jangan Mami kenapa-napa."

Cherry lebih cepat berjalan. Dia harus segera sampai rumah tepat waktu. Ditengah perjalanannya, tiba-tiba, dalam penglihatannya melihat sebuah kejadian yang mengerikan. Sesosok wanita yang terbaring dan berlumuran darah. Cherry berhenti sejenak dan memegangi kepalanya sambil berteriak histeris.

"Mbak ... Mbak ..., kenapa?" tanyanseseorang yang kebetulan berpapasan dengan Cherry.

Tentu saja Cherry mengabaikannya. Tidak seperti biasanya, kepalanya begitu sakit sesaat setelah ia melihat sebuah kejadian.

"Ah!" Cherry masih menahan nyeri yang ia rasakan.

Sambil terus berusaha berjalan secepat yang ia bisa. Dari kejauhan, perasaan Cherry makin tidak karuan begitu melihat sekerumunan orang di tepian pagar halamn rumahnya sedang berkumpul.

"Astaga! Apa lagi ini. Kenapa Papi sama Bia malah pergi? Jangan-jangan, Mami kenapa-napa?"

Cherry menyeruak kerumunan orang itu.