Selepas subuh pun, Ravi tetap tak bisa tidur. Ia hanya berbaring lesu di sofa sambil menonton televisi yang entah menayangkan acara apa, karena ia terhanyut dalam pikirannya.
Matanya menatap nanar ke arah ponsel Risa yang ditaruhnya di atas meja. Rencananya ia ingin menghubungi dan mendatangi orang yang mengirim pesan tiga buah foto itu. Namun, jangankan menghubungi, teringat saja tentang hal itu sudah membuat tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tetapi kesakitan yang dirasakan membuat tubuhnya itu bergetar hebat.
"Risa pasti punya alasan ...."
Hanya kata-kata itu yang terus diulanginya untuk meyakinkan diri, jika gadis yang selama ini ia cintai, tidak seburuk itu.
Ketiga foto itu ... berisi foto kekasihnya tanpa busana bersama seorang pria tua di atas ranjang. Hatinya tentu segera melakukan pembelaan-pembelaan seperti, "Mungkinkah kekasihnya itu dijebak?" atau "Dia melakukan itu karena dipaksa?" Namun, senyuman mengembang dari bibir kekasihnya di foto itu membuat logikanya menentang semua pembelaan dari hati.
"Risa memang ambisius dan sedikit angkuh, tetapi dia bukan gadis yang mudah menyerahkan dirinya untuk seorang pria." Ravi terus meyakini dirinya. Bukankah ia yang paling mengenal gadis itu? Pasti sudah terjadi kesalahpahaman. Selama ini bersama kekasihnya, ia tak pernah melihat tubuh polos itu, apalagi melakukan hal yang jauh, karena ia tulus mencintai Risa, dan selalu menjaganya.
Tanpa sadar, hari sudah mulai terang, dan ia terlihat berantakan sekali. Masih setia pada lamunannya. Ia sengaja ke apartemen kekasihnya ini untuk berdamai dan menenangkan diri, tetapi semua keadaan seakan tak berpihak padanya, dan lihatlah betapa menyedihkan dan berantakannya ia sekarang.
Ponsel Risa berdering, nadanya lumayan panjang sehingga membuyarkan lamunan Ravi. Seketika matanya melebar saat melihat nama yang tertera di layar. Ia masih ingat, jika nama itu yang mengirim foto semalam.
Kedua tangannya mengepal kuat. Ia segera bangkit, dan mengambil ponsel itu dengan berani. Ia akan menghadapi apa pun, dan tidak akan membiarkan siapa pun yang berani mengusik kekasihnya.
"Biar aku yang mengangkat!"
Ravi terkejut karena Risa merampas kasar ponsel itu dari tangannya.
"Kamu terlalu lancang dengan ponsel orang lain!" seru gadis itu marah. Ia lalu mengabaikan Ravi, dan menerima telepon dengan ekspresi dan nada suara senang dan bersemangat.
Dada Ravi sakit melihatnya. Suara kekasihnya terdengar menggoda si penelepon. Ia menatap serius ketika gadis itu sudah mematikan panggilan. "Siapa, Sayang?"
Risa tak menjawab, ia malah terlihat panik sambil mendorong tubuh Ravi ke belakang sofa. "Kamu sembunyi dulu di sini," suruhnya. "Aku pikir kamu pulang! Malah masih di sini!"
Bel pun terdengar dari arah pintu. Ravi maupun Risa sama-sama menoleh ke sumber suara. "Jangan ke mana-mana!" seru Risa memelototi Ravi. Sebelum beranjak pergi, ia menunjuk ke arah Ravi. "Awas saja! Jangan sampai kamu keluar! Tetap sembunyi di sini!" ancamnya.
Ravi menurut. Diam-diam ia mengintip dari balik sofa. Terlihat seorang pria tua masuk dan langsung dipeluk oleh Risa. Kedua mata Ravi bulat sempurna, ia terkejut sekali. Pria tua itu adalah pria yang sama dilihatnya di dalam foto bersama kekasihnya. Ia sangat yakin itu.
"Apa-apaan ini," geramnya menahan amarah. Namun, ia hanya bisa bersembunyi seperti permintaan kekasihnya tadi. Mengapa sekarang ia yang seperti kekasih simpanan? Bersembunyi seperti ini, dan melihat kekasihnya bersama pria lain. Saat ini, ia hanya bisa memandang mereka.
"Tidurmu nyenyak?" tanya pria tua itu sambil mengedipkan sebelah mata.
Risa memeluk lengannya, mereka berjalan menuju sofa. "Tentu, tapi kenapa Mas dadakan ke sini?"
Mereka duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa tempat Ravi bersembunyi, sehingga pria itu bisa melihat semuanya dengan jelas.
Pria tua itu memeluk pinggang Risa. "Aku butuh sarapan sebelum ke kantor." Ia lagi-lagi mengedipkan mata dengan genit, memandang Risa penuh nafsu.
Tangan Risa turut melingkar di perut buncit pria tua itu. Ia tersenyum manja, dan menyandar di bahunya. "Apa karier Risa akan cemerlang di Milan, Mas?"
"Tentu saja!" seru pria tua itu sambil tertawa kecil. "Sudah jelas perusahaan model yang mas pimpin itu bekerja sama dengan banyak majalah di luar negeri. Risa tidak akan kecewa."
Kedua tangan Ravi mengepal kuat sampai-sampai ia tak merasakan sakit ketika kuku-kukunya telah menancap di telapak tangan. Ada apa dengan kekasihnya? Seperti manusia tidak berperasaan melakukan semua ini di hadapannya dengan begitu mudah.
"Kalau begitu, Risa berjanji tidak akan mengecewakan perusahaan kita." Ia mendongak, dan tersenyum manja. "Perusahaan model kita akan lebih maju dan popular."
Ravi tidak bisa menahannya lagi. Jantungnya berdegup sangat cepat sampai-sampai ia sulit bernapas. Pria bodoh mana yang akan membiarkan saja ketika melihat kekasih yang dicintainya bermesraan seperti itu dengan pria lain? Ia benar-benar tidak bisa sabar. Terlebih melihat tangan menjijikkan pria tua itu mengusap rambut dan menyentuh bibir kekasihnya.
"Aku jelas tidak salah memilihmu. Kamu selalu cantik dan menawan," puji pria tua itu membelai wajah Risa. "Sepertinya kamu belum mandi?"
Bibir Risa mengerucut. "Bagaimana Mas tahu? Apa aku bau?" tanyanya.
"Tidak-tidak." Ia tertawa, lalu mengusap bahu Risa. "Aku temani?"
Ravi segera keluar dari tempat persembunyiannya, menghampiri mereka dengan amarah yang memuncak. Bahkan, wajahnya sudah merah padam. Ia menarik kuat pria tua itu dari kekasihnya, dan mengempaskan kuat-kuat ke lantai.
"Ravi! Kamu gila!" teriak Risa kaget ketika melihat pria tua itu yang merupakan bosnya—pemilik perusahaan model—, sudah terkapar di lantai.
Seperti kesetanan, Ravi meninju kuat rahang pria tua itu berkali-kali. Ia tidak memedulikan teriakan Risa yang berusaha menghentikannya.
"Aku akan melaporkanmu ke polisi!" seru pria tua itu dengan napas terengah-engah menahan marah sekaligus sakit. Ia tak sanggup untuk bangun karena Ravi masih terus menyerangnya.
Semua orang pun sontak terdiam, termasuk Ravi, bersamaan dengan suara tamparan keras yang terdengar memenuhi ruangan.
Ravi mematung, ia menatap Risa hampa.
Kekasihnya itu telah menamparnya kuat.
"Berhenti Ravi!" teriak Risa marah dengan napas naik-turun. Ia menatap nyalang kekasihnya itu, lalu mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari si bos. "Maaf, Mas," katanya cemas sambil membantunya berdiri, dan membawanya duduk di sofa.
"Dia siapa!? Orang gila mana yang kamu sembunyikan di apartemenmu!?" bentaknya kepada Risa. "Aku akan melaporkannya kepada polisi!"
"Lapor saja!" seru Ravi yang masih dikuasai amarah. "Apa Anda tidak punya istri!? Biar keluarga Anda tahu perbuatan Anda!" ancamnya.
Risa berdiri. "Ravi! Itu sama saja kamu menyeretku!" serunya tak percaya. Ia menatap bosnya. "Aku benar-benar minta—"
"Sudah! Biar aku menghubungi asisten untuk menjemput!" Ia lalu berdiri dengan kesal, dan berlalu pergi. Risa segera mengikuti langkahnya, sambil memohon-mohon untuk dimaafkan.
Sinar mata Ravi meredup melihat Risa. Apa dia seperti itu demi kariernya? Namun, haruskah dengan mengorbankan harga dirinya? Hati Ravi hancur sebagai seorang pria yang mencintai dan dicintai olehnya.
Suara langkah kaki Risa terdengar dihentak-hentakan dengan kesal. Ia berjalan ke arah Ravi. "Kamu gila! Bukankah sudah kukatakan jangan keluar?" Ia melipat kedua tangan di depan dada. "Apa susahnya bersembunyi!?"
"Apa susahnya?" tanya Ravi tak percaya. "Apa kamu bisa sabar, jika seandainya aku bermesraan dengan gadis lain? Bahkan, diluar batas wajar seperti itu!?" Ia menatap gadis di depannya dengan lekat, menuntut jawaban. Namun, gadis itu hanya terdiam.
Tangan Ravi memegang kedua bahu Risa, ia berkata tulus, "Aku mencintaimu, Sa. Aku memang terluka, tetapi aku akan mendengar semua penjelasanmu," ungkapnya lembut.
Risa menurunkan tangan Ravi dari bahunya. Pikirannya berat. "Jangan menghalangiku lagi, Vi, jika kamu memang mencintaiku."
"Menghalangi?"