“Aduh!”
Ana melompat-lompat agar mencapai bagian kaca jendela paling atas. Sudah banyak yang dikerjakannya--tentu saja dibantu sang suami--sebelumnya, dan kini tenaganya cukup terkuras.
Tubuhnya sedikit tersentak ke belakang karena ada tangan lain yang berhasil mencapai bagian itu. Ia bisa merasakan seseorang berdiri tepat di belakangnya.
“Lain kali kalau gak mampu, minta bantuan sama yang lebih mampu.”
Suara berat itu membuat Ana merinding, jantungnya juga berdebar sekarang.
“Sudah jelas tidak akan sampai, Pendek!”
Baiklah, suara itu mulai terdengar menyebalkan.
Ana pun berbalik, ia bisa melihat wajah suaminya walau harus mendongak karena ia hanya sebahu sang suami. “Berniat menolong, atau ngata-ngatain?” tanyanya menantang dengan mata menyipit.
“Emosimu mudah terpancing,” kata Ravi dengan tawa kecil yang mengejek. “Tidak berubah.”
Seketika Ana terdiam. Tidak berubah?
Apa artinya Ravi masih mengingat sikapnya sedari masa sekolah dulu? Ia jadi merasa senang.