"Kok malah peluk Mommy, sana masuk ke kelas."
"Nanti jemput Azzam ya Mommy."
"Siap, Sayang,"
Azzam pun melepas pelukannya.
"Azzura ayo masuk sama abang. Azzam tangan adeknya digandeng."
Azzura masih diam di tempat dengan tangan masih digenggam Ziya. Azzura takut dekat-dekat dengan Azzam. Setelah kedatangan Ziya hubungan mereka tak sedekat dulu. Mereka sering bertengkar. Azzam sering memarahinya karena Azzura lebih suka bermain bersama Ziya daripada Savanna.
"Azzam," pinta Savanna.
Azzam menghela napas panjang, lalu menggenggam
tangan Azzura.
"Ayo ke kelas."
Senyum Azzura mengembang, "Ayo."
Dengan ceria Azzura masuk ke dalam kelas.
Sampai kedua anak manis itu masuk ke dalam kelas, Dario, Ziya, dan Savanna masih ada di sana.
"Mas Dario mau ke kantor kan. Aku ikut ya, sekalian mau ke kantor papa. Gedung papa sama gedung Mas Dario kan deket," pinta Ziya dengan suara manja.
Dario tak langsung menjawab, tapi dia melirik
Savanna.
Dan responnya?
Savanna tidak menjawab apa-apa dan langsung masuk
ke dalam mobil.
"Savanna."
"Ayo, Mas, kamu kan mau ke kantor."
Ziya menariknya paksa masuk ke dalam mobil.
Savanna meninggalkan halaman sekolah lebih dulu. Saat sudah agak jauh, Savanna melihat melalui spion mobil suaminya juga meninggalkan halaman sekolah.
"Gapapa, Savanna. Gapapa," Savanna mengelus dadanya sendiri, "Harus ikhlas, mungkin Mas Dario bukan jodoh kamu," sembari mengelus Savanna terus mengucapkan kata-kata semangat untuk dirinya sendiri.
Jika bukan dirinya sendiri yang menguatkan siapa lagi.
Sejak kecil Savanna tinggal dipanti asuhan, dia tidak tau siapa ayahnya, tidak tau pula siapa ibunya. Savanna hidup mandiri kecil. Dia harus memperjuangkan kebahagiaan dirinya sendiri. Savanna tidak ingin menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain.
Salah satu alasan kenapa Savanna ingin menjadi istri Dario, Savanna ingin memberikan kasih sayang seorang ibu pada anak-anak Dario. Savanna tau bagaimana rasa sakitnya nggak punya ibu. Namun kenyataanya semua jadi rumit setelah kedatangan Ziya.
Yasudah jika Ziya ingin rujuk kembali dengan Dario. Toh juga Ziya ibu kandung Azzam dan Azzura, mereka tidak akan kekurangan kasih sayang. Savanna tidak perlu merasa sedih.
***
Begitu sampai di rumah, Savanna langsung duduk di sofa ruang tengah. Aktivitasnya nggak berat, tapi entah mengapa rasanya dia begitu lelah. Batinnya terkuras dan berefek pada tubuhnya.
Rasanya Savanna ingin cepat bercerai dan terbebas.
Pernikahan ini seperti penjara untuknya, membuatnya sesak napas, dan nyaris gila.
Setengah jam duduk-duduk saja, tiba-tiba terdengar suara mobil dari luar.
Savanna mengernyit, siapa yang datang?
Dan ternyata suaminya.
"Kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Savanna sambil membenarkan posisi duduk.
Dario tidak mengatakan apapun dan duduk di sampingnya.
"Ziya mana? Tumben kamu nggak sama dia?"
"Haus," ucap Dario..
"Aku tanya apa, kamu jawab apa."
"Aku bilang aku haus."
"Ya terus?"
"Ambilin."
"Nggak mau," Savanna melengos.
"Kamu masih sah jadi istriku. Mau durhaka kamu nolak keinginan suami."
"Cih bawa-bawa durhaka. Durhaka mana sama kamu yang cuekin aku dan malah peduli sama perempuan lain."
Dario berdecak, "Bisa tolong ambilin air dulu."
Savanna mendengkus, mau tidak mau dan karena malas berdebat, Savanna pun bergegas ke dapur dan mengambilkan air dingin untuk suaminya. Dapur dan
ruang makan sudah bersih, ART yang membersihkannya. Selesai menuangkan air, Savanna pun kembali ke ruang tamu.
"Ini," Savanna menyodorkan pada suaminya.
Namun bukannya menerima gelas, Dario justru menarik pergelangan Savanna hingga Savanna terduduk di pangkuannya. Air dalam gelas seketika muncrat membasahi wajah, leher dan sebagian dada Savanna.
"Mas! Jadi basah nih," kesal Savanna sambil mengusap wajahnya.
"Aku haus, kamu malah menumpahkan airku."
"Kan salah kamu sendiri. Aku juga basah lihat nih," Savanna menunjuk ke wajah dan lehernya.
"Masih ada sisa-sisa airnya."
Savanna tersentak saat tiba-tiba Dario menempelkan bibir ke lehernya. Bukan hanya bibir, entah hanya perasaannya saja atau Dario memang menjilat lehernya.
"Masih," Savanna mendorong Dario dan langsung
berdiri.
Dario tersenyum miring, menyandarkan punggung di sofa dan menatap istrinya dengan santai. Sementara Savanna melotot marah seolah ingin menelannya hidup-hidup.
"Apa-apaan kamu, hah," kesal Savanna.
"Aku haus."
"Ya minum."
"Tadi aku minum."
"Y-ya bukan air di leherku. Di kulkas kan masih banyak air."
Savanna jadi salah tingkah sendiri. Suaminya ini benar-benar kurang ajar. Apa-apaan itu tadi. Savanna tidak menyangka Dario akan senekat itu mencium lehernya.
"Udahlah, Mas. Aku nggak tahan lagi."
Savanna berbalik badan dan berjalan cepat menuju tangga.
"Nggak tahan apa? Kenapa ke kamar?"
Dario terkekeh dan mengikuti istrinya ke kamar. Dia mengendurkan dasi dan melepaskan dua kancing kemejanya.
"Sebenarnya aku lebih suka malam hari, tapi kalau kamu mau sekarang. Yasudah, aku nggak nolak."
Saat sampai di depan pintu, Savanna menghentikan
langkah. Begitu berbalik badan, dia terkejut tiba-tiba
suaminya sudah ada di depannya dengan seringai nakalnya.
"Sejak kapan kamu jadi mesum gini, hah?"
"Sejak sekarang," ucap Dario dengan santainya.
"Lalu kenapa dua tahun ini kamu nggak mau menyentuhku."
"Karena nggak ingin aja."
"Ohh gitu ya, kalau gitu aku juga nggak mau kamu
sentuh. Sana make love sama mantan istri kamu."
"Nanti aku beneran gitu sama dia, kamu nangis."
"Nggak akan. Lagian aku mau cerai sama kamu."
Savanna membuka pintu kamar, lalu membuka laci dan mengambil berkas-berkas yang dia perlukan untuk ke pengadilan agama.
"Kamu lihat ini? Aku sudah menyiapkan semuanya dan aku akan membawa berkas ini ke pengadilan agar gugatan ceraiku dikabulkan."
Seketika itu ekspresi Dario berubah serius.
"Kapan kamu mengumpulkan ini."
Dario ingin mengambil map tebal itu, namun Savanna segera menyembunyikan di belakang tubuh.
"Enam bulan ini sejak kedatangan wanita. Aku sudah punya firasat, pernikahan kita yang bagaikan perahu yang hanya cukup untuk dua orang, lalu ada orang ketiga yang mau numpang, maka salah satu harus loncat. Aku... Aku yang akan pergi. Kamu bisa mengarungi samudra dengan perempuan pilihan kamu itu."
Savanna mendorong dada suaminya, lalu keluar dari kamar.
"Savanna tunggu."
Dario berlari mengejar istrinya. Savanna mengabaikan panggilan suaminya dan berjalan lebih kencang.
Namun dengan langkah cepat, Dario berhasil meraih
pergelangan tangan Savanna.
"Lepasin."
"Aku nggak akan lepasin kamu. Siapapun yang masuk dalam hidupku, aku tidak akan membiarkannya keluar dengan mudah."
Savanna berusaha melepas cengkraman, tapi Dario justru menguatkan genggamannya sampai pergelangan tangannya terasa sakit.
"Kenapa kamu egois banget, Mas. Kamu tidak mau membiarkanku pergi, tapi kamu menyiksaku seperti terus."
"Kapan aku menyiksamu. Apa aku pernah memukulmu?"
"Apa menurut Mas, dengan Mas bermesraan dengan wanita lain itu nggak nyiksa bantinku?"
"Wanita lain mana yang kamu maksud? Ziya? Aku hanya menganggapnya adik. Aku udah nggak cinta sama dia Savanna."
"Nggak cinta, tapi rasa peduli kamu sama dia melebihi rasa peduli kamu sama istri kamu sendiri. Bahkan kamu
dengan teganya membentak Azzam demi wanita itu."
"Aku membentak Azzam untuk mendidik dia."
"Tapi bisa dengan cara halus kan, Mas."
"Aku tau bagaimana cara mendidik anakku."
"Yaudah, didik saja Azzura dan Azzam bersama Ziya. Ziya ibu kandung mereka, mereka pasti akan tumbuh lebih baik bersama ayah dan ibu kandungnya."
Savanna menarik kuat tangannya hingga cengkraman Dario terlepas. Namun baru selangkah Savanna pergi, Dario berhasil menahan tangannya.
"Lepasin, Mas."
"Nggak akan."
Dario merebut paksa map itu.
"Mas balikin."
Menulikan telinga, Dario menuju ke dapur, mengambil korek api dan berjalan ke belakang rumah.
"Mas kamu mau ngapain. Mas balikin."
Savanna mengejar suaminya. Namun terlambat. Dario sudah melempar mapnya ke tong besi dan membakar dengan korek api.
"Jangan," Savanna memaksa mengambil map itu.
"Savanna," Dario segera menarik istrinya menjauh,
tapi naasnya tangan Savanna sudah terbakar.