webnovel

2. Istri Agresif

Refleks, William mengerem mendadak. Dia sangat terkejut dengan pertanyaan lancang dari bibir Paula. "Maksud kamu apa? Memangnya aku kelihatan suka main cewek?" tanyanya dengan muka merah padam.

Paula masih cekikikan sambil menggeleng. Dia hanya bisa tertawa melihat William yang tampak sangat marah diberi komentar semacam itu. Sangat berbeda dengan teman-teman lelaki Paula sebelumnya.

Teman lelaki yang pernah Paula temui, pasti akan malu bila mereka masih perjaka di usia sematang William. Bagaimanapun juga, usia 25 tahun bukanlah usia yang wajar bagi teman-teman Paula bila harus dilalui tanpa mengenal wanita.

Namun, di sisi lain, Paula merasa senang karena ternyata suaminya masih perjaka. Hal itu berarti mereka setara. Perjaka untuk seorang perawan. Paula membayangkan pengalaman mereka berdua akan sangat menyenangkan nanti karena harus sama-sama banyak belajar.

Ego Paula tak mengizinkan untuk terlihat lebih canggung dari sang suami saat mereka nanti melangsungkan malam pertama. Akan impas bila sama-sama tidak tahu.

Perjalanan sepasang pengantin baru ke sarang cinta mereka berlangsung dalam diam. Paula hanya sesekali melirik suaminya. Sementara William sama sekali tak melihat ke arah Paula lagi. Dia benar-benar marah dan kesal.

Mobil William berhenti di sebuah bangunan kecil yang tampaknya masih baru dibangun. William ternyata memiliki rumah sendiri, tinggal terpisah dari orang tuanya. Tempat tinggalnya tidak terlalu besar. Luas bangunan mungkin sekitar 150 meter persegi, tetapi terdiri atas dua lantai. Rumahnya terkesan mewah karena didominasi oleh dinding kaca. Di bagian depan, ada taman kecil yang manis lengkap dengan sebuah kolam ikan hias di sudut taman.

Saat membuka pintu, Paula cukup terkesan dengan desain interior minimalis yang menambah kesan simple nan elegan. Di ruang tamu terdapat sofa L panjang warna krem yang ukurannya pas untuk tiga orang duduk dan seorang berbaring. Di depannya terdapat sebuah meja kecil yang terbuat dari kaca dan alas karpet bulu polos warna coklat tua yang tampak serasi berpadu dengan gorden coklat susu. Terdapat pula TV yang menempel di dinding, sehingga ruang tamu bisa sekaligus dipakai untuk ruang bersantai. Kondisi itu sangat cocok untuk rumah yang tidak selalu punya tamu.

Dapurnya pun sangat enak dipandang. Kitchen island dan meja bar berbahan marmer warna coklat dengan motif gradasi menjadi satu, menambah kesan lega dan elegan di dapur. Empat kursi kayu dengan dudukan dan sandaran empuk, berjajar lurus di sepanjang meja bar. Spasi di tengah pun cukup lega, memungkinkan untuk dua orang yang ingin memasak bersamaan tidak akan bersenggolan.

Di sudut dapur, dekat kitchen island terdapat kulkas besar dengan kapasitas enam ratusan liter, berwarna hitam. Tidak terlalu kontras dengan nuansa ruangan yang bertema cokelat. Microwave, oven, dan rice cooker pun tersusun rapi di rak khusus di sebelah kulkas.

Pasti ketika memasang iklan, bagian pemasaran menggunakan kata semacam: Hunian mewah untuk pasangan muda yang modern dan dinamis. Kesan yang ditampakkan di ruang tamu dan dapur, membuat Paula ingin segera melihat interior kamar.

Terdapat satu kamar utama di bawah dan dua kamar di atas. Entah kamar mana yang akan Paula tiduri bersama William. Dia berharap bisa tidur di lantai satu saja karena kamarnya terlihat lebih besar.

Namun, betapa kecewa Paula. Dia sungguh terkejut saat William menyuruhnya tidur di kamar yang terpisah. Bukan sekamar sebagaimana suami istri pada umumnya. "Kok nggak sekamar, sih, Will?"

"Memangnya harus sekamar?" tanya Will balik. "Bukannya itu semua tergantung kesepakatan?"

Paula sangat kecewa dengan sikap Will yang aneh. Mulai dari meninggalkan dia saat malam pertama di hotel, sampai menyuruhnya tinggal serumah tapi pisah kamar. Hal tidak lazim yang sangat tidak Paula harapkan akan terjadi di pernikahannya.

"Kamu memang nggak berminat melakukan sama aku, ya?" tanya Paula kemudian. Matanya semakin menyipit. "Padahal aku ini cantik. Banyak teman lelaki yang menginginkan aku. Jangan-jangan kamu ini ...."

Wajah Paula mendekat ke wajah William. Jarak mereka memendek sampai-sampai William bisa merasakan napas Paula yang panas. William pun semakin mundur dan merapat ke dinding. Paula semakin mendesak tak menyerah.

"Hentikan!" bentak William marah dan panik. Bila dia tak meneriaki Paula, gadis itu pasti kini sudah menempel padanya.

Paula pun mendengus kesal dan berkata, "Okelah. Terserah kamu kalau nggak mau sekamar."

Paula memang mengatakan demikian. Namun, dalam hati dia tidak akan menyerah. Dia benar-benar penasaran dengan lelaki yang menikahinya saat ini. Apakah benar dia lelaki lurus ataukah dia salah menikahi pria yang berasal dari tim lain?

Matahari masih bersinar. Paula masih memiliki banyak waktu untuk membenahi kamarnya serta memikirkan rencananya sendiri. Bisa saja sebenarnya bila Paula melaporkan hal ini kepada orang tuanya atau mertuanya. Namun, tentu dia bukan anak kecil yang sedikit-sedikit selalu melapor kepada orang tuanya dan meminta mereka mengatasi masalah yang dia hadapi.

Hal ini memang bukan perkara besar. Hanya saja, selama ini Paula merasa tak pernah ditolak oleh lelaki. Para mantan terdahulunya bahkan terus terang sangat menginginkannya. Mereka bahkan rela mengemis dan menjanjikan banyak hal agar Paula mau melakukan dengan mereka.

Sedangkan William, suaminya sendiri, justru menolak kehadirannya. Tentu saja Paula tak habis pikir. Dia pun semakin penasaran akan alasan William yang sebenarnya.

Saatnya makan malam tiba. Paula memesan makanan sebagaimana yang dia lakukan tadi siang. Bukannya tak bisa memasak. Hanya saja Paula malas bila capek-capek memasak tapi ternyata Will tak berselera makan. Bisa rugi waktu dan tenaga. Lagi pula, kulkas juga masih kosong. Besok saja dia belanja agar bisa mengisi kulkas dengan bahan makanan yang kira-kira bisa disantap langsung dan cepat olah.

Paula menatap suaminya yang tampak sangat tertarik dengan makanan di piringnya dengan berlebihan. Padahal, spaghetti meatball yang dia pesan rasanya tidak terlalu istimewa.

Paula menyadari bahwa Will sengaja melakukan hal itu untuk menghindari percakapan dengan Paula karena hari mulai gelap. Sejujurnya, Will tak akan sanggup mengatakan alasan mengapa dia menolak Paula yang berpenampilan begitu sempurna. Tak seharusnya ditolak.

Kegiatan makan malam yang sunyi senyap seperti siangnya. Mereka berdua bahkan mencuci piring sendiri-sendiri seperti di asrama. Tanpa kata, tanpa sapa. Hingga setelahnya mereka berdua kembali ke kamar masing-masing tanpa mengucapkan selamat malam atau selamat tidur.

Namun, itu semua hanyalah sementara. Karena sebenarnya, Paula tengah menyiapkan sebuah kejutan bagi suaminya. Gadis manis bertubuh menarik itu mengeluarkan lingerie yang kemarin malam tak sempat dia pakai. Malam ini, dia bertekad merayu Will dan mendapatkan apa yang dia mau secepatnya.

Paula pun turun ke lantai satu, ke tempat di mana kamar utama berada. Dia mengetuk pintu dengan senyuman percaya diri yang luar biasa. Pemilik kamar pun menjerit saat mendapati apa yang ada di hadapannya.

"Ya, Tuhan! Kamu gila, ya!" teriak Will sambil memejamkan mata melihat penampilan wanita yang sebenarnya sudah sah menjadi istrinya–sangat berhak untuk dia pelajari luar dalam.

"Apaan sih, Will! Jangan lebay begitu. Aku ini istri kamu!" protes Paula tersinggung. Bagaimana tidak? Banyak teman lelaki yang menginginkan dirinya dulu. Hal ini membuat Paula sangat percaya diri bahwa kecantikannya di atas rata-rata. Namun, respons suaminya sangat mengecewakan. "Jangan lihat aku seperti orang lain, dong! Terus buat apa kita kemarin menikah?"

"Mau kamu apa?" tanya William masih sambil menghindarkan matanya dari menatap pemandangan cantik di hadapannya.

"Istri udah pakai lingerie begini masa ditanya mau apa?" protes Paula dengan mengerucutkan bibir. "Apalagi kalau bukan ingin meminta hakku?"

"Pergi kamu!" teriak Will sambil masih menutup matanya.

Paula bergeming, mengamati suaminya, dan melihat ke tempat lain yang menjadi pusat perhatiannya saat ini. Terang sekali bahwa mulut dan raganya tidak sinkron. Paula pun tersenyum. Dia merasa sudah akan mengibarkan bendera kemenangan sebentar lagi.

Paula justru melangkah masuk semakin jauh ke dalam kamar Will, mengabaikan peringatan suaminya yang menyuruhnya untuk pergi. Will yang mengetahui hal ini tentu saja semakin panik.

"Kamu!" William menoleh sejenak. Melihat betapa molek dan indah pemandangan di hadapannya, William kembali berpaling. "Pergi!"

"Will, aku istrimu. Masa mau dibiarin nganggur di kamar atas? Kamu nggak rugi?" protes Paula lagi. Kali ini dengan tanpa emosi berlebihan, seolah-olah dia sedang memaksa anak kecil memakan kudapan lezat yang sudah terhidang.

"Kamu punya malu apa nggak, sih? Kamu nggak perawan, ya?" tuduh William yang kini mukanya sangat merah padam. Wajahnya menghadap ke arah dinding polos di sebelah kirinya. Walaupun demikian, sebenarnya di pelupuk mata pria itu hanya terbayang penampilan memukau Paula yang tadi dia lihat sekilas. "Kamu sudah pernah ngelakuin, 'kan?"

"Mau tahu? Kenapa nggak dicek aja?" respons Paula datar.

Tanpa diminta, Paula justru kini melucuti kain tipis yang masih tersisa di badannya. Dia melakukannya dengan sangat tenang seolah itu bukan hal besar. Hal inilah yang mengganggu pikiran William. Bagaimana bisa ada wanita yang urat malunya terputus seperti dia?

Dengan mengulurkan kedua lengannya, Paula berkata, "Will, aku udah bantu. Sekarang kamu bisa mengecek dengan lebih mudah apakah aku masih perawan atau bukan."

Gelora keinginan tiba-tiba meningkat secara eksponensial dalam diri William. Walaupun dia tak melihat langsung apa yang Paula lakukan, tetapi mata ketiganya sebagai seorang pria normal mampu memahami dengan gamblang apa yang baru saja dilakukan oleh Paula.

Peluh di kening William menetes. Terlihat sekali dia sedang menahan sesuatu yang bergejolak kuat dalam dirinya. Pikiran waras William memintanya bertahan. Namun, pikiran primalnya memaksa untuk menyerahkan diri kepada tawaran Paula.

Beberapa saat kemudian, William tak bisa lagi berpikir jernih. Dia tak tahu lagi mana pikiran yang waras atau tidak. Yang dia tahu hanya satu. Pria normal pasti akan mengatakan ya untuk ajakan yang sedang berlangsung.

Sayangnya, William adalah pria normal. Akankah dia menjadi lelaki sempurna malam ini? Ataukah dia akan mampu menolak Paula walaupun hasrat biologisnya saat ini sedang meronta-ronta?