webnovel

Keberangkatan

Seorang gadis bergaun putih elegan sedang terlelap damai di bangku taman istana berteman buku-buku tebal yang telah ia baca.

Entah bagaimana bisa seorang Putri seperti dirinya tertidur di tempat seperti itu, yang jelas suasananya memang menentramkan jiwa siapapun yang berada di situ, paling tidak untuk saat ini.

Sesekali dia mengigau, menyebutkan kata-kata penuh tanda tanya yang mungkin merepresentasikan bunga tidur yang sedang dialaminya.

Jika apa yang penulis asumsikan benar, maka sebaiknya dia harus terbebas dari mimpi buruk itu dengan segera mengakhiri tidur siangnya

Seorang pemuda yang kira-kira usianya tidak jauh berbeda dari gadis itu memanggil dari kejauhan.

"Edelweiss!"

Edelweiss tahu betul suara itu, bahkan di dalam mimpi sekalipun. "Kak Aden, Apa ayah memanggil kita?"

"Benar," Sahut Aden. "Sebaiknya kita segera bergegas pergi ke ruang takhta, ayah sudah menunggumu lama sekali."

Sembari mengumpulkan semua kekuatannya, Edelweiss menccoba untuk berdiri kemudian mengikuti kakaknya menghadap Baginda Raja.

Ada satu hal yang membuatnya bingung, kenapa pelayan istana tidak ada yang membangunkan dirinya jika ayahnya telah menunggunya?

Apa mungkin dirinya sulit dibangunkan lagi seperti terakhir kali? Kalau seperti itu dia pasti akan dimarahi orangtuanya ketika sampai.

Apapun kemungkinan yang akan terjadi, Edelweiss tetap tidak boleh mengabaikan panggilan ayahnya, sebab selain dianggap sebagai tindakan lancang ia juga akan mendapatkan reputasi yang buruk di mata para pelayan istana atau bahkan seantero kerajaan.

Beberapa saat kemudian, sampailah ia pada satu ruangan berhias ornamen-ornamen mewah dengan dua singgasana sebagai pusat perhatiannya, ruangan ini pasti merupakan tempat takhta sang raja juga ratunya.

Tampak para pelayan juga penjaga istana berbaris pada tepi karpet merah seraya memberikan penghormatan setiap kali Edelweiss dan kakaknya melewati mereka.

"Salam, Ayahanda, Ibunda," Ucap mereka berdua, memberi hormat

Yang Mulia Ratu menjawab salam mereka, "Bangunlah, anak-anakku. Baginda Raja akan memberikan titah untuk kalian berdua"

"Titah apakah itu Ayah?"

"Setelah festival cahaya berakhir, pergilah ke tempat sepupu kalian di Maxima. Kalian akan belajar banyak di tempat itu."

Mendengar akan hal tersebut, Edelweiss merasakan ada yang aneh dari perintah ayahnya, Baginda Raja seolah-olah seperti menyembunyikan sesuatu dari anak-anaknya.

Untuk memastikan, dia mencoba menggali informasi lebih dalam lagi.

"Tapi Ayah, kenapa kami harus pergi belajar di sana? Firmus memiliki segalanya, termasuk para cendikiawan yang bisa mengajari kami."

Di saat yang bersamaan, Aden menepuk bahu adik kesayangannya dengan lembut, kemudian menggelengkan kepalanya.

Edelweiss tahu betul maksud dari bahasa tubuh kakaknya. Dirinya seperti dinasihati untuk tidak mempertanyakan keputusan ayahnya selama bermaksud baik.

Sepertinya mereka tidak memiliki alasan untuk berlama-lama di ruangan itu, ditambah lagi nampaknya Yang Mulia Raja tidak berminat untuk menjawab pertanyaan anaknya tadi.

Dengan penuh hormat, mereka berdua pamit undur diri untuk segera mempersiapkan segala sesuatu hal yang perlu dibawa nanti, bagaimanapun juga mereka akan melakukan perjalanan jauh nan lama, lama sekali.....

Pada sudut pandang Edelweiss kita diperlihatkan keadaan kamarnya yang masih rapih meski dirinya agak "brutal" dalam mencari barang-barang yang perlu dibawa.

Tentu, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari pelayan pribadinya, Sophia yang siap sedia membereskan kekacauan yang Edelweiss lakukan di kamarnya.

Sophia memandangi Edelweiss dengan keheranan, kenapa Yang Mulia Putri membawa buku-buku tua yang kelihatannya hanya akan memenuhi kereta penyimpanan barang, padahal dirinya masih memiliki banyak barang yang belum dikemas.

"Jangan terheran seperti itu, Sophia. Aku membutuhkan semua buku ini untuk kupelajari."

"Ma ... maafkan saya Tuan Putri! Saya masih tidak menyangka Yang Mulia menyukai buku-buku seperti itu."

"Sejak dulu, ayah selalu bercerita kisah tentang artefak legendaris kepadaku dan kakak. Tak kusangka, ada juga buku yang memuat tentang benda-benda itu di perpustakaan."

Sophia hanya terdiam, tidak berniat untuk merespon penjelasan tersebut. Memang benar, Edelweiss menyukai buku melebihi apapun yang ada di dunia ini, dia bahkan mampu bertahan hingga berjam-jam lamanya hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

Karena itulah, terkadang dirinya dapat terlihat sedang tertidur di waktu dan tempat yang tidak pas.

"Oh iya, kamu juga harus segera bersiap! Kita akan pergi besok ketika festival dimulai."

"Mohon maaf Yang Mulia, saya tidak bisa ikut dengan Anda besok karena diminta Baginda Raja untuk tetap berada di istana."

"Sangat disayangkan sekali," gumam Edelweiss pelan, penuh kekecewaan. "Aku pasti akan merasa kehilangan, Sophia."

"Saya yakin sekali perjalanan ini dapat membuat diri Anda jadi lebih baik lagi! Saya akan tetap berada di sini sampai Anda kembali lagi nanti."

Sebuah kata-kata pemberi semangat telah Sophia utarakan supaya majikannya tidak memiliki keraguan apapun dalam menjalankan perintah ayahnya.

Bagi Edelweiss sendiri, Sophia sudah seperti saudari kandungnya saja, sebab hanya Sophia satu-satunya orang di dunia ini yang dapat memahaminya, mereka berdua lebih mirip seperti "sahabat karib" dibandingkan pelayan dan master-nya.

...

Keesokan harinya, banyak orang dari segala penjuru kerajaan memadati balai kerajaan untuk membantu menyiapkan festival.

Sebenarnya, persiapan untuk Festival memang sudah selesai dilakukan sejak kemarin, namun beberapa orang kelihatannya tidak ingin ada 'kecacatan' dalam hal apapun.

Perlu diketahui, festival cahaya di kerajaan Firmus sebenarnya merupakan pesta ulang tahun kerajaan.

Tepat sekitar 250 tahun yang lalu, Richard Vorwister mendirikan sebuah pemerintahan monarki independen yang diberi nama Firmus setelah "perang besar firmus" berakhir sebagai bentuk pemisahan diri.

Pada malam hari saat festival, orang-orang akan berkumpul di jalanan sembari menyalakan obor yang sudah terpasang di depan rumah, membuat seluruh penjuru kerajaan menjadi terang-benderang.

Di saat itu pula, pemuka agama tertinggi akan memimpin jalannya prosesi doa bersama agar Firmus tetap berada pada kejayaan dan kemakmuran.

Biasanya, pada hari-hari seperti ini baik Edelweiss maupun kakaknya akan pergi bersama untuk membeli beberapa barang menarik serta bersenang-senang dengan masyarakat.

Akan tetapi, pada tahun ini mereka tidak bisa melakukannya sebab harus segera bersiap-siap untuk perjalanan.

"Kau sudah siap Edelweiss?"

"Aku pasti akan sangat merindukan tempat ini," ujarnya, "bagaimanapun juga di sinilah tempat kita dibesarkan."

Perjalanan kedua anak raja itu dilakukan secara rahasia, hal tersebut dibuktikan dengan rombongan yang menyertai mereka merupakan kelompok pedagang serta pakaian yang Edelweiss dan Aden kenakan sangat sederhana.

Ada beberapa keuntungan mereka berdua membaur seperti ini, salah satunya adalah untuk menyembunyikan identitas keluarga kerajaan supaya meminimalisir kemungkinan tak diinginkan.

Duduk termenung di depan kereta barang dengan wajah lesu, hal itulah yang sedang Putri Raja lakukan saat ini, akan sedikit aneh jika dirinya mengisi rasa bosannya dengan melamun dan bukannya membaca.

Edelweiss merasa sedikit kecewa pada ayahnya sebab memajukan waktu keberangkatan mereka menjadi di siang hari, padahal dirinya teringin menghadiri festival untuk terakhir kalinya.

"Aku tidak boleh begitu, seharusnya aku tidak mempertanyakan perintah ayah ...."

Dia ternyata masih menyimpan keraguan di dalam hatinya, jadi terus-menerus mengingat kalimat tadi sebagai senjata untuk mengusir pikiran buruk tersebut.

"Kau kenapa Edelweiss? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

"Ah, aku tidak apa-apa Kakak. Hanya ingin tahu apa yang Sophia lakukan saat ini...."

Aden tahu betul adiknya hanya melantur dan berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. Ini tidaklah baik untuknyaa sebab segalanya akan terasa berat jika Edelweiss tak berusaha menikmatinya.

Memerintahkan anak yang masih berumur sebelas tahun untuk melakukan perjalanan jauh adalah hal yang gila, terutama jika orang tuanya tidak ikut menyertai.

Meski demikian, dirinya tak bisa apalagi meragukan meragukan melawan ayahnya, sebab Baginda Raja pun mempunyai alasannya tersendiri.