webnovel

Scene 7

Dibanding denyut kota yang hidup di seluruh penjuru, pemukiman penduduk di Dravien Street di distrik tenggara San Dimmo tampak seperti kota mati. Seperti pinggir desa yang telah banyak ditinggalkan oleh para penghuninya yang masih muda, menyisakan hanya yang tua dan tidak banyak berguna yang menghuninya. Tidak banyak denyut kehidupan tampak di Dravien, hanya beberapa orang yang berjalan dan berlalu lalang dengan motor, jika Ami juga dihitung.

Bagian kota ini praktis tampak seperti bagian yang tidak dipedulikan oleh pemimpin kota San Dimmo karena tidak lagi produktif berkontribusi pada San Dimmo, melihat bagaimana banyaknya plang-plang toko yang telah tutup, dibiarkan tergantung di atas pintu-pintu yang tampaknya tidak pernah terbuka sejak lama, dan rumah-rumah yang dijual tanpa pernah laku dan jadi lapuk.

Penagihan kontrak biasanya dilakukan di malam hari, Ami biasa melakukan itu, tapi karena kontrak ini ditanda tangani langsung oleh Asmodeus, kontrak ini langsung menjadi kontrak VIP yang diprioritaskan untuk ditagih.

Harga jiwa pengikat kontrak ini pastilah tidak ringan. Pasti berharga beberapa jiwa biasa sekaligus jika sampai Asmodeus tertarik. Lagipula Ami jarang mendengar iblis itu sampai memuji ambisi seseorang. Jika dia sampai memuji hasrat pengikat kontrak ini, artinya dia memang bukan manusia biasa.

Ami memantik kontraknya dengan satu jari, membiarkan jejak dari energi iblis yang terpancar dari kontrak itu membawanya ke salah satu bangunan yang paling tidak diduganya akan dikunjungi hari ini.

Sebuah gereja.

Kepala Ami mendongak, menatap gereja itu dari atas sampai bawah. Temboknya berwarna abu-abu lapuk dan dibuat dari batu. Arsitekturnya kuno, tampak seperti berasal dari abad ke-19 yang telah lama berlalu dan tidak begitu terawat. Ami bisa melihat karat dan lumut menggerogoti batu-batu gereja paling atas. Kaca-kaca di sana juga dbiarkan berdebu dan pecah. Tapi setidaknya tangga dan terasnya rapih. Bersih juga. Sepertinya ada yang tidak begitu niat merawat gereja ini.

Dan tidak salah lagi, jejak energi dair pengikat kontrak Asmodeus mengarah ke gereja ini.

Tapi ini akan jadi sulit.

Ami menghela napas. Dia akan mempertaruhkan banyak hal sekarang jadi ia tidak boleh gagal. Ia pun menghela napas, lalu memarkirkan motornya di lapangan parkir gereja yang sempit. Ada banyak daun berguguran di depan halaman gereja dan sebuah pohon yang telah mati tapi belum ditebang. Ami melihat deretan daun kering itu dengan tatapan penuh arti.

Tidak ada yang menyapu halaman hari ini, kelihatannya.

Dari arah depan, tiba-tiba terdengar pintu berderit terbuka. Ami menoleh ke depan dengan kaget, melihat beberapa orang berjalan keluar dari dalam gereja. Sekitar empat orang, pria dan wanita yang sudah paruh baya. Mereka semua melirik dan menatap heran ke arah Ami, seperti seseorang yang baru saja melihat hal aneh berjalan di halaman mereka.

Ami melirik pakaiannya sendiri. Jaket kulit, kaus merah, celana jeans dan sepatu bot. Ia tidak mengenakan sesuatu yang aneh sama sekali hari ini. Rambutnya pun digerai tanpa gaya atau perawatan yang aneh-aneh. Singkat cerita, ia tampil biasa saja.

Mungkin keberadaannya di sinilah yang tidak biasa.

Yah, Ami tidak menyangkal itu. Ia jarang berkunjung ke distrik tenggara. Alasan utama untuk itu adalah aroma limbah yang sennatiasa bergumul di udara. Bahkan seakrang saja, aroma berbagai limbah San Dimmo yang mendarat di distrik ini masih terasa. Ami ingin secepatnya pergi dari sini dan menjemput kontrak berikutnya.

Orang terakhir yang berpamitan dari gereja itu tampak berbicara di puncak anak tangga. Di depannya, seorang lelaki berdiri dengan agak membungkuk saat wanita yang kelihatan agak tua itu berbicara ramah kepadanya.

"Baik, sampai nanti, Nak Eugene." Ami mengernyit ketika nama itu keluar dari mulut sang wanita tua.

Eugene.

Nama salah satu pengikat kontrak dari kontrak ganda itu.

Wanita tua itu pun berlalu, tapi tidak tanpa memberikan satu lirikan penuh arti ke arah Ami, sama seperti yang lain. Ami mengabaikan lirikan itu dan fokus pada lirikan heran yang lain dari puncak tangga. Tepat dari pemuda yang bernama Eugene itu.

Visi Ami yang berubah-ubah tidak menentu membuatnya tidak fokus. Ia bahkan tidak bisa melihat jejak kontrak pada tubuh pemuda ini.

Mata Ami melirik ke arah salib yang terpajang di salah satu menara gereja.

Rupanya gereja ini tidak sepenuhnya terbengkalai, pikir Ami ironi.

"Permisi?" Eugene menyapa Ami lebih dulu. Ami agak heran mendengar suaranya yang lumayan tinggi untuk ukuran laki-laki. Apa dia pemilik suara tinggi? "Apa ada yang bisa saya bantu?"

Ami segera kembali fokus pada misinya.

"Saya hanya ingin berdoa di gereja ini karena ini satu-satunya gereja yang ada di sekitar sini," jawab Ami natural. "Boleh?"

"Ah, tentu, silakan." Eugene menjawab dengan ramah. Pemuda itu dengan sopan minggir dari depan pintu. "Silakan masuk."

***

Bagian dalam gereja itu rupanya sedikit lebih baik daripada bagian luarnya ayng tidak terawat. Kursi-kursi jemaat berjejer rapih dalam lima barisan di kanan dan kiri, sebuah altar doa berdiri kokoh di depan jejeran kursi itu bagai podium. Sebuah kamar doa berdiri agak tersembunyi di sebelah kiri di samping altar. Di depan altar doa, salib besar berada dengan tentu saja, Anak Tuhan disalib di sana.

Masih terus di sana padahal sudah entah berapa abad berlalu.

"Silakan ambil tempat di mana saja." Eugene mengarahkan dengan sopan. "Saya permisi dulu. Ada tugas bersih-bersih yang harus saya kerjakan sementara."

"Tentu." Dengan santai, Ami duduk di salah satu kursi kosong yang tersedia. Tapi tentu saja, ia tidak mulai berdoa.

Eugene tidak tampak mempermasalahkan itu dan langsung berlalu. Meninggalkan Ami sendirian di ruangan yang besar itu. Sendirian dan langsung diserang berbagai pikiran dalam kesunyian. Ami memijat kepalanya yang mendadak pening. Ia lantas membungkuk, menyandarkan kepalanya ke bangku di depan.

Dalam hati, ia sudah merasa penagihan kontrak hari ini akan berakhir dengan masalah.

Dalam kepala menunduk, ia melihat bayangannya sendiri. Tidak merasakan apa pun dari sana. Ah, ya, hari ini ia benar-benar sendirian. Tidak ada Lulu di sampingnya. Tidak ada juga gelombang energi kontrak yang bisa ia ikuti. Sepenuhnya, Ami benar-benar sendirian.

Ami pun menghela napas. "Aku benci gereja ini."

***

"Anda baru selesai?"

Setelah berjam-jam menunggu, Ami bertanya pada Eugene yang baru saja datang dan berjalan di sebelah Ami. Pemuda itu bau keringat. Ami ingat di luar tidak begitu cerah, jadi aroma matahari tidak begitu menyengat di tubuhnya, tapi tetap saja, aroma Manusia, tidak begitu menyenangkan di hidungnya. Apalagi di tempat seperti ini, dengan senyum seperti itu.

"Ya." Eugene membalas dengan senyuman. Ia lantas berlalu menuju altar. "Ada banyak sekali daun kering di halaman."

"Anda membersihkannya sendiri?"

Tapi Ami menghentikannya. Eugene menoleh lagi, masih dengan senyum ramah, meski ada kebingungan di wajahnya … dan sesuatu seperti sebuah rasa malu di sana.

"Ya … benar." Ia menjawab dengan suara pelan. "Hanya saya staff yang ada di sini selain Bapa yang biasa datang berkunjung untuk khotbah di sini."

Ami melirik langit-langit gereja yang lapuk. Ia mendesis prihatin. "Pasti berat."

"Awalnya, ya," Eugene mengakui tanpa malu. "Tapi lama-lama terbiasa juga. Saya lumayan menikmatinya."

"Meski tidak dibayar?"

Terdengar dengkusan dari Eugene. "Kadang-kadang ada donasi yang datang dari para jemaat dan itu lumayan membantu."

"Kadang-kadang?" Ami mengulang.

Eugene lantas tersenyum sedih. "Ya … hanya kadang-kadang."

Ami mendebas. "Berat juga pekerjaan merawat gereja itu, ya." Ia melemparkan pandang ke langit-langit. "Bangunan sebesar ini … seorang diri … tanpa ada siapa pun yang membantu."

"Kalau sudah suka, pekerjaan berat pun akan terasa ringan." Eugene lantas terkekeh. "Dan itu mengingatkan saya, saya belum berdoa banyak hari ini."

Ami mengedikkan bahu. "Silakan ambil waktu Anda."

Eugene menyalakan lilin di dekat kamar pengakuan dosa lalu mengambil tempat di bangku seberang Ami untuk berdoa. Lama Ami menunggu doa pemuda itu sampai selesai. Lama dalam kesunyian, Ami melirik Eugene sejenak, melihatnya khusyuk memanjatkan doa, entah apa. Dia memang tidak bisa menilai apakah doa itu tulus atau apakah doa itu terkabul, tapi melihat seseorang berdoa dengan tenang tanpa terganggu selalu membuat Ami kesal.

Ami menghela napas. Rasanya semua ini tambah sulit saja.

Sekarang, Ami hanya bisa berharap. "Semoga dia lebih beruntung."

***

Sejujurnya, Lulu tidak merasa begitu beruntung.

"Err…." Lulu berusaha mengeluarkan suaranya yang paling imut, paling memikat, tanpa membuat anak di hadapannya jadi mabuk kepayang atau kehilangan kewarasannya dan mulai tertawa-tawa sendiri. Rasanya benar-benar menjengkelkan. "Kau bisa bawa aku ke kakak cantik yang kau maksud itu? Aku ingin sekali bertemu dengannya."

Anak perempuan di depan Lulu malah menyipit curiga kepadanya. Sama sekali tidak tampak luluh. Mendapat picingan tajam begitu, Lulu semakin tidak sabar. Tangannya yang terkepal berkali-kali ia sembunyikan di belakang punggung.

Karena inilah ia tidak suka anak kecil!

Kenapa? Apa yang salah? Sedari tadi ia terus bertanya-tanya seperti itu.

Lulu memerhatikan penampilannya sekali lagi. Ia sudah yakin telah sempurna menyamar sebagai bocah lelaki sepuluh tahun dengan penampilan yang baik dan rapih. Tutur katanya juga sangat sopan. Suaranya juga sempurna; lembut, memikat, dan imut seperti layaknya anak kecil. Pakaiannya juga tidak salah. Ia memilih kemeja putih, celana dengan suspender, dan sepatu yang stokingnya agak tinggi sampai ke bawah lutut. Sepatunya juga disemir rapih. Rambutnya juga tidak masalah. Dan terakhir kali ia berkaca, Lulu benar-benar merasa dirinya adalah anak lelaki paling tampan di semesta.

Jadi kenapa anak perempuan ini malah bersikap curiga selalu kepadanya?

Secara teknis, anak ini memang tidak punya alasan untuk curiga padanya, itu benar, tapi Lulu juga paham, anak-anak itu lebih merepotkan diurus ketimbang orang dewasa. Karena sebagian besar dari mereka, masih memiliki sensitifitas yang tidak lagi dimiliki orang dewasa.

Salah satunya kecurigaan pada sebuah entitas yang punya niat busuk seperti dirinya.

"Tidak mau!" Gadis itu sekali lagi menolaknya. "Aku tidak mau Kak Eulis bertemu orang asing sepertimu!"

Andai feromonnya juga bekerja untuk anak-anak. Sayang, feromon miliknya tidak bekerja seperti yang ia mau jika anak itu tidak punya pikiran paling jahat atau busuk. Dan anak perempuan di depannya ini … terlalu murni untuk ditembus oleh incubus sepertinya.

Dia harus menggunakan cara manual untuk bisa mendapatkan apa yang ia mau. Membujuk dan bicara … dari hati ke hati … atau dari kepala ke kepala, seperti yang biasa dilakukan oleh Ami. Hanya saja, ia tidak biasa melakukan itu. Tidak biasanya itu adalah bagiannya.

Bagiannya hanya menghibur Ami. Bukan bersusah payah dan mengerahkan banyak sel otaknya untuk sesuatu seperti ini.

"Tapi … tapi…." Lulu mengerahkan tenaganya lebih keras lagi. Memasang wajah lebih memelas dan lebih persuasive. "Justru karena aku dengar Kak Eulis luar biasa, aku juga ingin bertemu dengan dia!"

Diam untuk waktu yang lama. Lulu merasa triknya gagal dan mulai memikirkan trik lain, tapi otaknya sudah buntu! Melayani lima orang sekaligus di ranjang jauh lebih mudah dari mengurusi satu anak kecil kurang ajar seperti ini!

Ami, aku harap kau siap untuk tidak bisa jalan selama seharian penuh setelah semua ini selesai!

"A-anu … apa… apa tidak boleh?" Lulu mencoba mendesak lagi. Kali ini matanya berkaca-kaca. "Aku … aku hanya ingin tahu bagaimana caranya berbuat baik pada kakakku dan disayang olehnya. Aku dengar … aku dengar kak Eulis menyayangi anak-anak dan semua anak sayang kepadanya. Jadi, jadi mungkin ia tahu bagaimana caranya agar aku … agar aku disayang kakakku lagi."

Sekali lagi, diam. Tapi kali ini tidak bertahan lama.

"Kakakmu?" Anak perempuan itu menyahut. "Memangya kakakmu tidak sayang lagi padamu?"

Kena!

Lulu menggeleng. "A-aku tidak tahu. Suatu hari dia tiba-tiba saja jadi dingin dan … dia tidak mengelus kepalaku lagi!" Tangisan Lulu pecah dalam isakan yang menyedihkan da menyayat hati. "Aku … aku hanya ingin dia sayang kepadaku lagi. Aku hanya ingin dia mengelus kepalaku lagi dan memujiku sekali lagi!"

"Orang tuaku juga begitu…." Tanpa diduga, jawaban itu keluar dari mulut sang anak perempuan. "Tiba-tiba saja tidak sayang lagi padaku setelah adikku lahir."

Lulu mencoba menahan diri untuk tidak berjengit. Ia tidak pernah meminta kisah keluarga, tapi terserahlah. Demi menyelesaikan semua ini segera!

"Aku mencoba berbagai cara tapi percuma dan aku jadi sedih. Ayah dan Ibu tidak sayang padaku lagi…." Anak perempuan itu rupanya masih belum berhenti bercerita. Ia lantas tersenyum tipis. "Tapi sejak kenal kak Eulis, aku tidak sedih lagi. Aku tidak perlu lagi kasih sayang orang tuaku! Aku bisa mandiri! Aku tidak butuh mereka lagi!"

Sebuah kata-kata yang aneh untuk menyemangati, tapi justru dari sanalah, Lulu yakin bahwa pancingannya sudah dapat dan ikan di depannya ini tidak melepaskan kailnya.

Lulu mengangguk-angguk semangat. "Ya! Ya, aku paham itu!"

Inginnya, Lulu langsung meminta diantar ke gadis bernama Eulis ini, tapi ia tidak mau memaksakan keberuntungan. Biar ia coba untuk bersabar dulu, jika tidak bisa, ia baru akan meminta.

"Tapi…."

Uh-oh. Ada kata tapi. Itu tidak bisa berarti bagus.

"Tapi?" Lulu mulai kehilangan sabar.

"Tapi kak Eulis biasanya baru ada saat sore."

APA?!

Rasanya Lulu ingin menjerit saat itu juga. Tapi tidak bisa. Ia hanya bisa tersenyum dan menyimpan semua amarah dan frustrasi itu dalam hati. Incubus pandai untuk itu, tapi tidak pandai melampiaskannya lewat kekesalan.

"Soalnya hari ini ada jadwal terapi."

Kemarahan Lulu berhenti sejenak. "Terapi?"

"Ya." Gadis itu mengakui. "Kak Eulis ingin bisa berjalan lagi, jadi dia harus mengambil jadwal terapi rutin setiap dua kali seminggu. Dan itu hari ini."

"Oh … begitu." Lulu tidak repot menyembunyikan lesu, lelah, dan frustrasinya. Kedatangannya mungkin sia-sia sekarang. Dan mungkin Ami tidak akan senang. "Oke … mungkin lain kali—

"Elisa?"

Sekujur tuubuh Lulu merinding. Kepalanya dengan cepat menoleh ke belakang. Matanya mendelik nanar ke arah datangnya energi mengerikan yang menerjang tanpa kenal ampun ini. Ia membelalak ketika mengetahui sumbernya.

Seorang gadis, dengan kursi roda berjalan dibantu oleh seorang pria di belakangnya. Gadis remaja itu berambut brunette panjang yang tergerai. Ia mengenakan gaun terusan sederhana yang tampak membuatnya berkilau sederhana seperti seorang peri baik hati. Dia lebih muda beberapa tahun dari Ami, tapi kedewasannya tampak jauh di atas majikannya.

Oh, tapi Lulu tahu lebih baik. Gadis itu bukan peri. Bukan sama sekail.

"Oh, Ami…."

Tapi ia juga tidak menyangka situasi ini. Karena ini jelas … tidak sesuai info yang dibagikan kepadanya.

"Apa-apaan kontrak yang kau tagih sekarang ini?" gumamnya di hadapan energi berapi-api dari gadis di atas kursi roda itu.

Menurut informasi yang dibagikan oleh Ami, seharusnya target yang menjadi incarannya sekarang adalah pemilik kontrak Asmodeus. Kontrak langsung, tapi bukan tidak bisa ia tangani.

Namun ini bukan sesuatu yang bisa ditangani oleh Lulu. Tidak seorang diri.

Karena gadis di atas kursi roda itu, gadis bernama Eugene yang sedang tersenyum tepat kepadanya itu, sama sekali tidak memancarkan energi Asmodeus.

"Siapa ini, Elisa?" Mata Eulis terarah kepada Lulu. "Teman barumu?"

Itu jelas-jelas energi dari Lingkar Amarah. Eulis adalah pengikat kontrak dari lingkar amarah! Bukan Lingkar Nafsu!

***