webnovel

SELAMAT

Samar-samar Ara melihat seorang laki-laki memapah tubuhnya dan membawanya masuk kedalam mobil sambil terus berucap:

"Bertahanlah ra... Ara pasti kuat". Sampai akhirnya Ara memejamkan matanya tak sadarkan diri. Laki-laki itu pun langsung tancap gas membawa Ara ke Rumah Sakit terdekat.

Kondisi Ara tidak begitu parah hanya mengalami luka ringan, Namun kepalanya yang terbentur aspal memang lumayan mengeluarkan banyak darah. Sesampainya di Rumah Sakit Ara pun langsung di masukkan ke ruang tindakan untuk ditangani sang dokter.

Tidak berapa lama kemudian dokter keluar, laki-laki itu langsung menghampiri sang dokter.

"Bagaimanapun keadaannya dok..??"

"Pasien hanya mengalami luka ringan, namun memang harus di rawat untuk beberapa hari. kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap, silahkan Anda urus Administrasinya."

"Baik Dok, terimakasih..!!"

"Sama-sama pak..!!"

Dua jam kemudian Gadis itu tersadar, ia mulai membuka matanya perlahan dan memegangi kepalanya yang sudah terbungkus perban seraya mengangkat tubuhnya tuk bisa bersandar.

"Awww...". Pekiknya, laki-laki yang telah membawa Ara ke Rumah Sakit itu pun berlari menghampiri gadis itu.

"Hati-hati Ra... dokter melarang Ara Untuk ga banyak bergerak dulu.." Ujarnya.

"Ka Fadil... ??" Ara terkejut, ia tak menyangka bahwa laki-laki yang beberapa hari ini tak pernah dihiraukannya itu justru telah menolongnya.

"Iya sayangg... Ara harus banyak istirahat, jika tidak ada halangan lusa juga Ara bisa pulang.." sebuah suara terdengar mendekatinya.

"Ayah....?? Ayah tahu dari siapa Ara di sini.. ??" Tanya Ara lagi, kali ini ia lebih terkejut seakan tak percaya bahwa Ayahnya sudah berada di Rumah Sakit itu juga.

"Paman yang memberitahunya nak, beliau menelepon Zeky dari tempat kerja. Tapi Zeky dan bibi juga masih belum bisa kemari karna ada urusan, mereka hanya berkirim doa semoga Ara baik-baik saja !!". Ayah Ara menjelaskan.

Ara sudah bisa menebak, bahwa sang Paman tahu pasti karena Fadil sudah menghubunginya terlebih dahulu. Saat ini Paman Ara sudah kembali bekerja, namun tidak di Caffe lagi melainkan disebuah perusahaan baja.

"Aamiin... iya yah tidak apa-apa, Lalu bunda bagaimana... ?? Apa Ayah sudah menelpon di kantornya, tolong jangan beritahu dulu yah... Ara tidak ingin membuat bunda khawatir.." Gadis itu memelas.

"Iya sayaangg... Ayah mengerti, biar nanti sore saja kita kasih tahu bunda biar beliau tidak begitu kaget.." Ayah Ara menimpali.

"Dan berterimakasih lah sama nak Fadil karna ia sudah banyak membantu kita, kesigapannya itu mampu membuat kondisi Ara membaik." Lanjutnya lagi, Ara melirik kepada sosok laki-laki yang di maksud Ayahnya tersebut sementara Fadil hanya tersenyum seraya berkata:

"Tidak usah berterima kasih pak, aku hanya kebetulan saja ada di lokasi kejadian itu.. mungkin orang lain pun akan melakukan hal yang sama seperti aku jika menjumpai hal yang demikian.."

Ara hanya mengangguk, ia mengerti dengan ucapan Fadil yang berusaha menyembunyikan kebaikannya itu, meski sejujurnya ia merasa terganggu dengan kehadiran laki-laki tersebut.

Kecuekan Ara tak lekas membuat Fadil jera meski semalam secara tidak langsung Ara telah mengusirnya, Namun Fadil tidak menyerah begitu saja ia tak sedikitpun berhenti peduli apalagi menjauhi gadis yang sangat ia cintai itu. Apalagi Ara saat ini masih salah paham mengenai rekaman yang ditunjukkan Alfan, padahal jika Gadis itu mau meluangkan waktunya sebentar saja untuk mendengarkan penjelasannya mungkin Ara bisa memaafkannya.

"Baiklah, bagaimana pun itu Bapak benar-benar sangat berterima kasih padamu !!" Ayah Ara menepuk bahu Fadi.

"Oh ya Ra, Ayah akan keluar dulu sebentar.. nak Fadil titip Ara sebentar ya..?!"

Ara dan Fadil hanya mengangguk serentak.

Sepeninggalnya beliau,

"Ra... masih marah..!?" Fadil menarik kursi yang diduduki nya supaya lebih dekat dengan gadis itu.

Ara langsung membuang muka, Dadanya sudah kembali berdegup dengan kencang.

"Kenapa juga Ayah ngebiarin Aku berduaan dengan ka Fadil, jadi ga karuan gini kan hatinya.. Mana ka Fadil terlihat beda banget dari semalem." Makinya dalam hati.

"Ra.. Tolong jangan siksa Kakak kaya gini, kalo Ara mau maki Kakak maki aja Ra.. itu mungkin lebih baik dari pada harus di diemin kaya gini..!!" Fadil terlihat memelas.

"Kakak sangat mencintai Ara, mana mungkin Kakak tega ngelakuin itu pada Ara. Itu cuma akal-akalan Alfan aja, karena percakapan dalam rekaman itu sudah banyak yang terpotong."

Ara masih tetap dengan posisinya, meski sudah mulai mempercayai perkataan Fadil namun ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.

"Ra kakak kangen, kangen melihat senyum Ara, kangen dengan sikap manja Ara pada Kakak seperti di kantor dulu.. kenapa kamu secepat itu berubah sikap padahal apa yang dikatakan Alfan kemarin itu tidak benar.." Fadil membatin, ia sudah tidak tahu lagi harus berkata apa karna Ara tidak mau meresponnya.

"Baiklah kalo Ara masih belum mau bicara sama Kakak, kakak pamit. Besok kakak datang lagi, Ara cepet sembuh ya, jangan telat minum obatnya." Laki-laki itu kemudian bangkit seraya mengusap rambut Ara. Seperti ritual yang selalu ia lakukan di kantor dulu, meski belum jadian keduanya memang sudah sangat dekat bahkan Ara pernah memberikan first kiss nya kepada Fadil meski tanpa sadar. Namun kini semuanya kembali canggung seperti semula gara-gara peristiwa naasnya bersama Alfan.

Tiga hari kemudian Ara pun diperbolehkan pulang oleh sang dokter, Fadil berniat mengantarkannya namun dengan tegas Ara menolak tawaran laki-laki itu. Ia berusaha membujuk Ayahnya tuk bisa mencarikan angkutan umum saja, namun penjelasan sang Ayah mampu meluluhkan hatinya ia pun bersedia menerima tawaran Fadil. Semenjak kejadian itu Fadil lebih sering menemui Ara di rumahnya, perhatian demi perhatian yang di torehkan laki-laki itu mulai membuat hati Ara kembali melunak. Semakin hari ia semakin menyadari akan ketulusan Fadil tersebut, apalagi ketika Fadil memberikannya sebuah bingkisan.

"Ara... ini Kakak bawakan sesuatu tuk Ara.." ucap Fadil sambil memberikan bingkisan itu kepada Ara.

"Apa ini ka... ??" Tanya Ara menerima bingkisan tersebut, saat ini Fadil sedang berkunjung ke rumah gadis itu.

"Buka saja...!!". Pinta Fadil, Ara kemudian membukanya.

"Semoga Ara suka ya.." ujarnya lagi.

Ketika bungkusan itu terbuka, Ara justru terkesima.

"Handphone... ??" teriak Ara dengan sangat terkejut. Sebuah handphone bermerk dan masih tersegel terlihat dalam bingkisan itu.

"Iya... biar Ara bisa berkomunikasi dengan yang lain, jadi kalau ada apa-apa orang terdekat bisa segera tahu". Jawab laki-laki itu, sementara Ara masih terlihat bingung.

"O iya... ini Kakak belikan Ara simcard juga jadi Ara bisa langsung pakai handphone nya..". Lanjutnya lagi, sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Fadil kemudian menjelaskan cara kerja handphone tersebut kepada Ara, ia berbicara panjang lebar dengan tatapan mata tetap fokus pada Benda tersebut. Sementara Ara justru matanya tidak sedikitpun berkedip melihat Fadil, ia pandangi raut muka itu dengan sangat lama entah apa yang tengah ia pikirkan. Mungkin memang benar Ara sudah mulai jatuh cinta pada laki-laki itu.

"Bagaimana.... Ara mengerti kan ??". Ujar Fadil sambil melirik Ara, namun Ara tak sedikitpun merespon Perkataan Fadil ia masih asik menatap wajah itu.

"Ara.... Ara baik-baik saja kan ??" Ucapnya lagi berusaha menyadarkan gadis itu. Sontak Ara terkejut ketika tersadar, ia tersipu malu karna Fadil sudah memergokinya tengah memandangi wajah laki-laki tersebut.

"Oh iya ka, maaf..." ujarnya menahan malu.

"Tadi sampai di mana..??" Ara kembali fokus pada handphone nya.