Dika menganga menyaksikan sesuatu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya secara nyata.
Bangunan rahasia yang dia pikir hanya ada di film-film kini terpampang jelas di depan matanya.
"Darimana kau tahu tentang tempat ini?" Tanya Dika masih dengan pandangan takjub. Matanya menelisik pada setiap inci bangunan yang mereka lewati.
"Ibuku."
Dika menoleh, "Kau dan ibumu menemukan tempat ini? Wow, menakjubkan!"
Randu menggeleng, "Tidak, ibuku pemilik tempat ini."
"Ah..." Dika mengangguk-angguk paham, untuk beberapa detik kemudian pemuda itu melotot, seraya memekik kencang, "HAH?!!"
Randu berbalik dan melotot, "Kecilkan suaramu!" Peringatnya. Yang diabaikan oleh Dika
"Ibumu... ibumu yang baik hati dan lemah lembut itu pemilik tempat ini? Tempat sangar ini? Mana mungkin? Kau ingin aku percaya pada omong kosongmu?"
Randu tersenyum kecut, dia sendiri bahkan tidak mempercayainya, apalagi orang lain?
"Terserah, tapi itulah kenyataannya. Ibuku juga manusia, pernah memiliki mimpi dan keinginan, mungkin salah satunya adalah membangun tempat ini." Randu berjalan mendahului Dika yang masih ternganga tidak percaya.
Pemuda itu memimpin jalan, berjalan pelan dan tenang. Agar tidak ketahuan. Sama seperti saat pertama kali pemuda itu datang ke tempat ini.
Setelah sadar dari keterkejutannya, Dika berlari kecil menyusul Randu. Pemuda itu mensejajarkan langkahnya dengan Randu.
"Lalu, jika ibumu sungguh pemilik tempat ini, kenapa kau datang diam-diam? Bukankah kau hanya perlu mengatakan bahwa kau putra ibumu? Dengan begitu mereka tidak akan menghalangimu masuk, kan? Aku seperti diajak mencuri dengan datang diam-diam seperti ini!" Cerocos Dika.
Randu terkekeh mendengarnya, "Ini misi rahasia, ingat? Tidak lagi rahasia jika aku memberitahu mereka."
"Tapi, kau bisa meminta mereka merahasiakannya!"
Randu menggeleng, "Bukankah penyimpan rahasia terbaik adalah diri sendiri? Belum tentu, mereka mau merahasiakannya. Belum tentu juga mereka bisa menyimpan rahasia."
"Tempat ini rahasia, jadi bisa dipastikan kalau mereka pandai menyimpan rahasia!" Dika mendengus.
Randu hanya tersenyum sumir, lantas menjawab, "Selain itu, ibuku menyembunyikan tempat ini. Ibu tidak tahu bahwa aku sudah tahu hal-hal yang beliau sembunyikan. Lagipula, jika aku mengatakan hal itu tiba-tiba, siapa yang akan percaya?"
Dika menggaruk tengkuknya yang tak gatal, pemuda itu membenarkan dalam hati, namun juga mempertanyakan banyak hal.
"Lalu, apa tujuanmu datang ke sini? Apa yang kau cari?"
"Kebenaran."
Dika mendadak berhenti, matanya memicing menatap punggung Randu. Satu pikiran terlintas di kepalanya, dan itu berhasil membuat Dika mendadak dilanda cemas.
"Randu... kau tidak sedang menyeretku dalam sebuah kekacauan, kan?" Celetuk Dika, kentara sekali pemuda itu was-was.
Randu berhenti, berbalik menatap pemuda berambut ikal itu, "Semoga saja... tidak." Jawab Randu datar. Kemudian kembali berjalan tanpa mempedulikan ekspresi Dika atas jawabannya yang acuh tak acuh.
Namun, detik berikutnya pemuda itu berbalik dengan wajah panik. Menarik Dika berlari dan memasuki ruangan secara asal untuk sembunyi.
Dika yang ikut panik hampir memekik, jika saja tangan Randu tidak sigap membekap mulutnya.
"Sssttt! Jika kau berteriak kita akan ketahuan!" Randu berbisik.
Dika segera mengatupkan bibirnya rapat, sedang Randu menempelkan telingannya di pintu. Dia mendengar suara langkah kaki mendekat, namun kemudian menjauh.
Memastikan tidak ada orang yang mengetahui keberadaannya. Randu membuka pintu sedikit, mengintip lewat celah itu. Dan, bernapas lega ketika tidak menemukan siapa pun di sana.
"Apa ada orang di luar?" Tanya Dika berbisik.
"Sudah pergi." Randu berbalik, lantas tertegun.
Di depannya kini, terdapat rak-rak tinggi berjejer rapi. Tiap raknya bersusun box-box berukuran sedang. Dengan warna coklat senada.
Randu mendongak pada papan nama di atas pintu yang bertuliskan 'Ruang Arsip'.
Randu tersenyum, "Dika, sepertinya aku tahu harus mencari ke mana." Ucapnya. Lalu, berjalan menuju rak terdekat, membuka satu persatu box di sana.
Meski tidak tahu apa yang Randu cari, Dika tetap mengikuti apa yang temannya itu lakukan.
Setiap box memiliki tanda di depannya, berisi beberapa berkas yang di satukan dalam sebuah map berwarna merah.
Beberapa box memiliki tanda yang sama, Randu menyimpulkan bahwa setiap tanda di box tersebut memiliki arti. Namun, entah apa.
Pada rak ketiga di baris keempat, Randu menemukan sebuah box hitam yang memiliki tanda X di depannya.
Tanpa pikir panjang, Randi segera mengambil box tersebut, membuka penutupnya, dan menemukan sebuah berkas usang yang disatukan dalam sebuah map hitam berjudul 'Lost'.
Randu sempat bingung sesaat, namun tidak ada lagi box dengan warna hitam yang sama dengan box ini. Hanya ini satu-satunya.
"Aku menemukannya!" Randu sedikit memekik, Dika segera menghampiri Randu, melihat berkas yang ada di tangan pemuda itu.
"Lost?" Dika mengernyit, "sepertinya aku pernah mendengar tentang itu, tapi di mana?" Dika berusaha mengingat.
Randu baru saja ingin membuka berkasnya, mencari tahu apa isi di dalamnya. Namun, urung. Pemuda itu nampak berpikir sejenak, sebelumnya akhirnya menutup berkas tersebut dan menentengnya di tangan.
"Ayo keluar!" Randu bergegas, ketik baru saja menyembulkan kepala. Randu kembali menutup pintu.
Lagi dan lagi mereka hampir ketahuan. Beberapa meter di depan terlihat berambut gondrong berjalan mendekat. Setelah dirasa aman, Randu segera keluar dari ruangan. Dibuntuti Dika yang ikut memindai keadaan.
Mereka berlari kecil, berbelok menuju lorong yang akan membawa mereka keluar dari sana.
Sayang, lima langkah di depan tiga pria bersenjata sudah menghadang, melotot menatap mereka. Lantas, salah satu dari mereka berteriak nyalang.
"Hei! Siapa kalian?!!"
"Aisshh!!!" Randu segera berbalik arah, menarik tangan Dika dan menyeretnya pergi dari sana.
Dika yang masih melongo terkejut, hanya bisa pasrah ketika Randu menyeret dirinya. Dengan langkah terseok Dika mengikuti langkah temannya yang lebar.
Melihat pemuda di hadapannya berlari, ketiga pria itu segera mengejar.
Dika menoleh ke belakang, melotot melihat pria yang mengejar mereka adalah pria-pria berbadan kekar. Bahkan Dua Kali lipat lebjh besar dari badannya.
"Aisshh! Randu kau benar-benar gila! Kenapa harus menyeretku masuk kandang srigala?!!" Dika melepas tangan Randu, berlari mendahului pemuda itu.
Salah satu pria menekan tombol alarm peringatan yang dia lewati. Hingga membuat orang-orang di sana berhamburan keluar. Dan itu membuat Dika semaki mengumpati temannya.
Dari berbagai arah, pria bertubuh Sama kekar itu berhamburan keluar. Mereka membawa senjata, dan turut mengejar dua pemuda yang berlari dengan napas terengah-engah.
Saat itu di depan mereka juga terdapat segerombol pria. Dika membelokkan arah larinya, tidak peduli lagi kemana mereka pergi.
Posisi mereka jelas tidak menguntungkan, mereka tersudut, Dan membutuhkan yempat sembunyi.
Dika dan Randu hanya memiliki satu keuntungan. Bahwa digedung ini tidak ada CCTV. Tidak akan ada yang mengawasi mereka.
Jadi, ketika orang-orang yang mengejar mereka tertinggal, kedua sahabat itu memiliki kesempatan untuk keluar dari sana dengan selamat.
Segerombol pria tadi berbelok menuju lorong di mana Randu dan Diika menghilang.
Mereka menemukan tangga, namun begitu menuruni beberapa anak tangga tidak ada satu pun yang berani turun ke sana.
Lagipula jika memaksa, mereka tidak akan menemukan Dika Dan Randu yang entah hilang ke mana? Karena tempat itu tidak ada penerangan sama sekali.