webnovel

Pria Tidak Dikenal

18 tahun kemudian.

Riana tidak menduga, setelah 18 tahun berlalu ia akan kembali lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah milik Rita, mertuanya.

Setelah lebih dari 25 tahun tidak pernah mendapat pengakuan dari mertuanya.

Kemarin, Rita mengundang keluarga kecilnya untuk turut serta diacara ulang tahunnya.

Awalnya Riana ingin menolak untuk datang, namun melihat betapa antusias putranya, dengan berat hati akhirnya Riana berada di sini. Di rumah besar milik Rita.

Riana tersenyum lega, kehadiran Randu disambut dengan hangat oleh kerabat lain. Paman dan bibi mas Gean ternyata menerima Randu dengan baik.

Mereka turut senang, tidak mempermasalahkan Randu anak kandung atau bukan. Meski Rita masih bersikap dingin seperti biasa.

Randu bahkan ditarik kesana-kemari oleh saudara-saudaranya hingga anak itu kebingungan. Sedangkan Gean sudah melipir pergi bersama adiknya entah ke mana.

Tinggalah Riana bersama Sari, istri dari Rian, adik Gean.

Rita memiliki dua putra, Gean adalah putra sulungnya, dan Rian adalah bungsunya.

Rian menikah dengan Sari beberapa bulan sebelum Riana dan Gean mengadopsi anak. Usia dua kakak beradik itu memang terpaut cukup jauh, yaitu 8 tahun.

Pasangan itu baik, ketika Riana memutuskan berhenti berkunjung ke rumah Rita, Rian dan Sari akan seringkali berkunjung ke rumahnya, apalagi setelah keduanya mengadopsi anak.

Kadang, Riana yang datang mengunjungi keduanya. Sekedar basa-basi menanyakan kabar, atau membawa Randu kecil untuk ikut bersamanya.

Kini mereka sudah memiliki dua putri cantik. Yang paling besar berusia 13 tahun, selisih 4 tahun dengan Randu. Dan, yang paling kecil baru menginjak usia 7 tahun.

"Randu tumbuh menjadi anak yang baik, ganteng, pinter, sopan, lemah lembut, pengertian pula." ucap Sari, memperhatikan Randu yang sedang bermain dengan putri kecilnya.

Riana tersenyum.

"Mbak jangan khawatir, ya. Mbak sudah mendidik Randu dengan baik, membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Sari yakin, Randu juga bahagia punya Mbak sama Mas Gean."

"Kamu gak mau cari orang tua kandungannya?" celetuk Rita yang datang dari dapur, membawa sebuah piring berisi apel yang sudah dikupas juga dipotong-potong.

"Gak usahlah, bu. Toh, Randu juga hidup dengan baik sama Mbak Riana dan Mas Gean." Sari menimpali.

"Kalau orang tua aslinya tiba-tiba dateng, terus ambil Randu gimana? Ikhlas kamu?"

"Bu-"

Sari akan kembali menimpali, namun Riana lebih dulu meraih lengannya, menggelengkan kepala, pertanda agar Sari tidak berkata lebih jauh. Membuat perempuan yang lebih muda darinya itu menghela napas.

Riana beralih pada Rita, memandang ibu mertuanya dengan sorot sayu, "Jika suatu hati mereka memang datang, semua keputusan akan Riana serahkan sepenuhnya pada Randu," Riana menjeda kalimatnya sejenak, "tapi, bu, Riana minta tolong sama ibu. Tolong, untuk saat ini jangan bahas hal ini. Jika waktunya sudah tepat, Riana pasti akan memberi tahu Randu yang sebenarnya." ucap Riana memohon.

Rita menatap menantunya, "Asal kamu tahu, Riana. Walau anak itu tertera dalam kartu keluarga putra ibu. Bagi ibu, dia hanya orang asing, kecuali dia benar-benar terlahir dari rahimmu!" katanya begitu dingin.

"Bu, kenapa ibu bicara seperti itu? Randu juga bagian dari keluarga ini." Sari lagi-lagi menimpali.

"Mana Gean? Ibu mau suruh dia beli minuman ke supermarket." Rita mengalihkan pembicaraan, melengos pergi begitu saja.

Riana pikir, setelah 18 tahun berlalu, sikap Rita akan sedikit melunak. Namun, nyatanya sama saja. Perangainya tak berubah.

Riana hanya bisa mengelus dada, menguatkan diri agar tidak terpancing emosi kembali menjadi egois. Demi Randu.

Randu yang melihat Rita mendekat, bertanya.

"Oma mau ke mana?"

"Cari Gean, mau disuruh beli minuman ke supermarket. Bentar lagi acaranya mau dimulai, minumannya belum ada." jawab Rita ketus.

"Biar Randu aja, Oma." tawar Randu.

"Yaudah, nih!" Rita menyerahkan tiga lembar uang seratus ribu.

Randu menerimanya, lalu berlalu dari hadapan Rita.

"Kamu mau ke mana, Randu?" tanya Riana yang begitu melihat Randu memakai sepatunya.

"Randu mau beli minuman, bu."

"Ibu ikut, ya? Sekalian pengen jalan-jalan."

Randu mengangguk, Riana tersenyum, segera mengikuti langkah Randu.

Semenjak menikah, Riana belum pernah sekali pun berjalan-jalan di kawasan rumah tinggal Rita. Ini kali pertama baginya.

Lingkungan di sini ternyata sangat asri, banyak tanaman rindang disisi-sisi jalanan. Membuat udaranya terasa sejuk.

"Kamu seneng?" tanya Riana.

Randu menoleh, "Iya, ini kali pertama buat Randu kumpul keluarga kaya tadi. Ternyata seru."

Riana mengulas senyum, "Syukurlah kalau kamu seneng. Ibu ikut seneng dengernya."

Hening setelahnya, ada banyak hal yang ingin Riana utarakan, namun ia tak mampu bersuara.

"Ternyata, kalau dilihat dari dekat kaya gini, di usia ibu yang sekarang, ibu malah makin kelihatan cantik."

"Tch," Riana tersipu,"ternyata anak ibu udah besar, ya? Udah bisa gombal."

"Ini gombalan eksklusif dari Randu cuman buat ibu."

Riana terkekeh, mengusak pelan rambut putranya. Riana bahagia memiliki Randu. Meski disisi lain ia khawatir. Jika sewaktu-waktu temannya itu akan datang, dan kembali mengambil Randu darinya.

Tapi, hingga saat ini. Belum juga ada kabar darinya. Apakah ia berhasil menyelesaikan urusannya? Atau malah sebaliknya?

Riana memang tidak tahu diri jika menginginkan Randu seutuhnya sebagai putra. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Riana tidak ingin Randu mengetahui kebenarannya.

Riana tidak ingin Randu membencinya. Setelah 18 tahun ia dan suaminya membesarkan Randu bersama-sama. Sungguh, Riana ingin Randu tetap menjadi putranya.

Tiba-tiba dua orang pria menghadang langkah mereka. Pria berpakaian serba hitam dengan mantel panjang yang menjuntai itu berhenti tepat di hadapan keduanya.

Riana membelalak melihat siapa yang datang. Dengan cepat menarik Randu ke belakang, melindunginya.

"Ada urusan apa kalian datang ke sini?" tanya Riana dingin.

Randu yang bingung hanya bisa diam, ketika ibunya maju menghadapi mereka.

"Randu Fardian, aku diperintahkan untuk membawanya." ucap salah seorang dari mereka.

"Atas dasar apa?"

"Kenapa aku harus memberitahumu?"

"Karena aku ibunya!"

Orang itu terkekeh, pandangan meremehkan, "Benarkah?"

"Randu, kamu tunggu di sini sampai ibu selesai bicara dengan mereka. Jangan ke mana-mana!" perintah Riana.

Kerutan alis Randu semakin dalam, namun tak urung anak itu mengangguk mengiyakan.

Riana segera menarik kedua pria itu menjauh dari Randu.

"Katakan! Dari mana kalian tahu tentang anakku? Atas dasar apa kalian membawanya?!"

"Kau menginginkan yang bukan seharusnya, Riana. Lagi pula, sejak kapan anak itu menjadi putramu? Bukankah hingga saat ini, kau tidak pernah merasakan bagaimana rasanya mengandung?"

Jawaban meremehkan salah satu dari mereka berhasil menyentil emosi Riana. Ia menarik kerah jaket pria itu.

"Jangan pernah menyentuh putraku!!"

"Dia bukan putramu! Dan, kami harus membawanya atas perintah dari pimpinan!"

"Aku bukan lagi bagian dari kalian, aku tidak perlu mematuhi aturannya!"

"Tapi, Randu bagian dari kami!"

Tanpa babibu, Riana melayangkan satu tinjuan. Pria itu tersingkur, sedang pria yang satunya menjambak rambut Riana kasar, menamparnya dengan keras hingga membuat telinga Riana berdenging sesaat.

Riana berbalik, balas menampar lalu menendang perutnya kuat hingga pria yang menamparnya itu jatuh terjengkang.

"RIANA!!"

Randu terkejut, kali pertama baginya melihat sang ibu menghajar seseorang. Ia hendak mendekat, namun urung ketika ibunya kembali menampar salah satu dari mereka.

"Kalian semua tidak berhak atas putraku! Jadi, jangan berani-berani menyentuhnya!"

"SADARLAH RIANA!! DIA BUKAN PUTRA KANDUNGMU! DIA HANYA TITIPAN! DIA BUKAN HAK MU!!"

Teriakan nyalang itu membuat Riana seketika terbungkam. Untuk sesaat jantungnya seakan berhenti berdetak. Riana melirik Randu, sedang putranya itu tertegun dengan pandangan tidak percaya.

Benarkah apa yang ia dengar? Wanita yang ia panggil sebagai ibu sepanjang hidupnya, ternyata bukan ibu kandungnya? Jika memang benar, lantas siapa orang tua kandung Randu sebenarnya?

Randu termundur, segalanya terasa kosong sekarang. Hingga pemuda itu berlari menjauh dari ibunya dengan dada yang bergemuruh.

"Randu..." Riana hendak menyusul Randu, namun mereka menahan kedua lengannya.

"Urusan kita belum selesai, Riana!"

Riana menepis tangan mereka, menatapnya tajam, "Jika aku tidak berhak atas putraku, lantas apa hak kalian atas dia?!"

"Randu properti milik kami!"

Riana menggeram, "Kalian bajingan!"

"Jangan lupakan dirimu yang sebenarnya. Kau bahkan lebih bajingan dari kami!"