webnovel

Sebuah Nama

Hujan lebat mengguyur Kota Jakarta siang itu. Suara air yang turun di atas genting SD Wana Yudha menyamarkan suara tangisan seorang bocah.

Maria Ulfa, salah satu guru di sekolah itu yang kebetulan masih berada di ruang guru ditemani dua orang staf tata usaha dan seorang office boy yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, mengernyitkan kening seolah mendengar sesuatu. Ia mencoba menajamkan pendengarannya.

"Pak Min! Apa semua siswa-siswa sudah pulang semua?" tanya Maria pada Pak Min, office boy yang kebetulan membawakan teh manis panas ke meja Maria.

"Sudah pada pulang dari tadi, Mbak! Di depan sudah sepi. Cuma ada dua orang sekuriti yang berjaga di depan gerbang sekolah."

"Pak Min yakin? Apa Pak Min tidak mendengar sesuatu?"

Pak Min berusaha menajamkan pendengarannya. Telinganya bergerak lucu seperti telinga kucing yang sedang mencuri dengar gerakan mangsanya.

"Percuma, Mbak Maria, " celetuk Budi, staf TU yang sedang memasukkan data di komputer di depannya. "Pak Min kan agak-agak kurang pendengarannya, mana dengar dia."

Maria melotot ke arah Budi. "Husss! Sama orang tua enggak boleh kayak gitu. Nanti kualat kamu! Memangnya kamu dengar?"

Budi tersenyum sambil menggeleng, matanya masih fokus menatap layar monitor yang ada di depannya.

"Ah ... Benar, aku seperti mendengar suara tangisan." Maria bangun dari duduknya dan menengok keluar dari balik jendela yang tak jauh dari tempat duduknya.

Mata Maria menatap berkeliling dan berhenti pada seorang anak kecil yang berjongkok sambil menangis di depan kelas 1B, kelas yang diasuhnya.

"Astaga! Anak siapa itu? Kenapa belum ada yang jemput?" Maria bergegas melangkah dari mejanya.

"Jangan-jangan anak kuntilanak. Sekolah ini kan angker," celetuk Budi.

"Ngaco saja kamu! Sekarang tengah hari bolong, mana ada bangsa halus berkeliaran siang-siang. Yang ada kamu tuh makhluk halusnya."

Maria Ulfa tak mengacuhkan Budi yang tertawa cekikikan, ia melangkah keluar ruangan dan berjalan dengan tergesa menghampiri anak itu.

"Neza?" pekik Maria melihat salah satu anak didiknya berjongkok menutup wajahnya sambil menangis tersedu-sedu. Ia lalu berjongkok di depan anak itu.

"Kenapa kamu belum pulang, Sayang? Apa belum ada yang jemput?"

Anak kecil yang bernama Neza itu mendongak, menatap teduh ke arah Maria. Kedua matanya memerah dengan air mata yang masih mengalir deras di pipi tembamnya.

"Ibuuuuu!" Neza memeluk erat tubuh Maria. Tangisnya kembali pecah, suaranya menggelegar mengalahkan suara rintik hujan yang masih turun deras membasahi bumi.

"Cup ... Cup ... Cup ... Cup! Tidak apa-apa sayang. Ada Ibu di sini." Maria membelai kepala yang ditumbuhi rambut hitam yang tergerai panjang.

"Neza takut, Bu! Kenapa Papa belum datang?" ucap anak kecil itu masih dengan tangisnya yang sesenggukan.

"Mungkin papamu terjebak hujan, Sayang! Sudah tidak usah takut. Kan ada Ibu di sini. Kita tunggu sama-sama yuk di ruangan ibu!" bujuk Maria yang masih membelai dengan penuh kasih sayang kepala Neza.

Tangis anak itu mulai mereda, ia melepas pelukannya dan menatap wajah Maria. Wanita lajang yang sudah berumur 27 tahun itu tersenyum manis membalas tatapan Neza.

"Neza cantik, Neza kan hebat, masa anak hebat menangis?" Maria meletakkan tangannya di kepala Neza, jemarinya menyeka air mata yang masih membasahi pipi anak itu.

"Bu Guru Maria juga cantik!" Neza mulai tersenyum. Ia masih menatap takjub wanita di depannya yang menunjukkan sifat keibuan. Rambut hitam sebahu dengan alis yang tebal. Wajah berbentuk oval dengan dagu yang lancip dan bibir tipis yang merah tanpa gincu.

"Kita ke ruang Ibu, yuk! Kamu pasti lapar!" Maria berdiri sambil menggandeng tangan Neza. Namun gadis kecil itu masih terpaku diam di tempatnya berada.

"Kalau papa datang mencariku bagaimana?" tanya Neza ragu.

"Kan di depan ada sekuriti. Kalau papa Neza datang, pasti dia akan bertanya sama sekuriti. Nanti Ibu bilang sama pak satpam kalau Neza, ada di ruang Ibu! Bagaimana?"

"Oke deh!" Neza tersenyum dan mulai berjalan bersebelahan dengan Maria. Kedua tangan mereka saling bergandengan seperti layaknya ibu dan anak.

"Pak Min, tolong buatkan teh manis hangat satu lagi sama kue!" pinta Maria kepada Pak Min yang masih duduk tak jauh dari Budi yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Sementara di sudut lain, Uci, bagian administrasi tata usaha sekolah itu juga masih khusuk di meja kerjanya. Ketiga langsung menoleh menatap Maria dan Neza yang baru masuk ruangan itu. Ruangan besar yang hanya disekat tripleks sebagai pembatas antara deretan meja-meja guru dan TU.

"Eh ... itu anak Bu Maria?" tanya Uci yang tak tahu kejadian sebelumnya.

"Iya, ini anakku," balas Maria sambil tersenyum. Ia membawa Neza duduk di meja kerjanya.

"Ngaco aja, lu!" tukas Budi pada Uci. "Bu Maria kan masih single, memangnya elu, kawin muda! Lulus SMA langsung nikah."

"Yeeee ... Sirik aja, lu! Kan gue enggak tahu. Makanya nanya," sungut Uci.

"Iya benar, ini anak Ibu, tepatnya anak didik. Kan guru itu ibu kedua bagi anak-anak didiknya," terang Maria sambil menyodorkan gelas yang masih hangat ke depan Neza.

"Neza minum dulu teh manis Ibu. Nanti kuenya menyusul." Maria membuka penutup gelas yang berembun karena air dalam gelas itu masih mengepul saat dibawakan.

"Itu kan minum Ibu!" Ragu, Neza menerima gelas dari tangan Maria.

"Enggak apa-apa, tadi kan Ibu sudah minta dibuatkan lagi sama Pak Min. Yang sudah agak dingin buat Neza, nanti kalau yang Pak Min bawa buat Ibu."

Neza mengangguk, ia segera menyesap teh manis ditangannya yang masih dipegang sama Mari.

"Pelan-pelan, Sayang! Jangan sampai tersedak!" ucap Maria sambil melepas pegangan tangan di gelas itu.

Tak lama, Pak Min kembali masuk ke dalam ruangan sambil membawa segelas teh manis hangat dan sepiring kue basah yang biasanya ia berikan kepada petugas yang lembur.

"Nah! Ini kuenya sudah datang!" sambut Maria menerima kue dan gelas berisi teh manis yang dibawakan Pak Min. "Terima kasih ya Pak Min!"

Maria dengan sabar menunggu Neza menghabiskan kue di tangannya. Ia tersenyum, melihat Neza sudah terlihat tenang dan menikmati makanan kecil seolah sedang berada di sisi ibunya sendiri.

"Duh anak pintar, Neza sudah kenyang? Sudah tidak takut lagi?" tanya Maria sambil mengusap sisa makanan di bibir Neza yang tertinggal.

Neza mengaguk. "Kok papa belum datang juga ya, Bu!" ucap Neza.

"Iya, ya!" Maria menyipitkan matanya. "Memangnya yang biasa antar jemput kamu siapa?"

"Papaku, kan mama sudah tidak ada, Bu!"

"Tidak ada? Maksud Neza?"

Mata Neza tiba-tiba berkaca-kaca. "Mamaku sudah di surga, aku hanya tinggal sama papa dan bibi yang mengurus rumah."

Maria ikut berkaca-kaca, ia segera memeluk anak itu. Tak terasa, kedua matanya telah basah dan dipenuhi butiran air bening yang mulai mengalir di antara pipinya.

"Maafkan Ibu sayang. Ibu tidak tahu kalau Neza sudah tidak punya mama lagi." Neza hanya terdiam dan merasa nyaman berada di pelukan Maria. Ibu kedua yang menjadi guru kelasnya.

"Sebentar, Ibu cari dulu nomor telepon papamu." Maria melepas pelukannya dan mencari data-data anak didiknya. Sebuah map berwarna merah muda ia tarik dari tumpukan di atas meja kerjanya.

"Neza Pramasti!" eja Maria sambil menelusuri tulisan-tulisan yang ada di kertas itu dan mencari nama orang tua dan nomor telepon yang bisa dihubunginya.

"Raffa Aji Susilo?" jantung Maria seolah berhenti berdetak mengeja nama itu. "Benar nama papamu Raffa Aji Susilo?" tatap Maria ingin mencari kepastian melalui raut wajah Neza.

Neza mengangguk. "Iya benar, papaku namanya Raffa Aji Susilo."

Dunia Maria seolah berhenti berputar. "Mas Raffa, dunia ini memang terlalu sempit, tujuh tahun aku tak pernah mendengar kabar darimu setelah pernikahanmu, sekarang anakmu sudah berusia enam tahun dan duduk tepat di depan mataku."