Mereka bersender di mobil dengan santai. Keduanya sangat bersyukur bisa lari dari club' itu dengan sembunyi-sembunyi.
"Kau yakin tadi walikota pingsan? Dia tidak mati kan?" tanya Jihan dengan wajah penasaran. Dia menyibakkan rambutnya.
"Tentu saja dia tidak mati. Aku sudah belajar teknik itu. Meski aku baru melihat di youtub satu kali," jawab Aslan tertawa kecil. Mata biru itu membuat Jihan terpana.
"Ya Tuhan, Aslan!" seru Jihan menepuk jidatnya.
"Tunggu-tunggu," Jihan melihat wajah Aslan dengan jelas.
"Ada apa dengan wajahmu, Aslan?"
"Oh ini, ini bukan masalah kok," jawab Aslan menyentuh pelipis dan bibirnya.
"Kau habis di gebugin?" cecar Jihan serius.
"Iya, tapi nggak sakit kok, biasa aja," kata Aslan dengan wajah santai.
Jihan menepuk lengan Aslan dengan keras.
"Dasar kau ini!" kata Jihan.
Jihan berpikir bahwa yang memukuli Aslan adalah anak buah dari ayahnya.
"Jadi semalam waktu aku ada di hotel dan kau pulang. Kau di pukuli oleh anak buah ayahku?" tanya Jihan dengan wajah khawatir. Dia mendekatkan wajahnya kepada Aslan.
"Ya begitulah, tetapi aku kalah karena ya mereka mungkin ada empat atau tiga orang," jawab Aslan meringis sambil menggaruk kepala bagian belakang. Aslan seolah malu harus kalah dengan beberapa pria.
"Ya Tuhan, jahat sekali ayahku," kata Jihan dengan lesu. Ia tiba-tiba melihat tangan Aslan yang terluka bekas infus yang sengaja di lepas secara paksa.
Jihan menarik tangan Aslan dan memperlihatkan di depan matanya sendiri.
"Apa ini Aslan? Kau kabur dari rumah sakit?" tanya Jihan dengan panik.
Aslan hanya tertawa sambil menjawab bahwa dia memang kabur dari rumah sakit.
"Kau ini gila ya? Apa kau tidak merasakan sakit? Nanti ibumu juga akan marah padamu," seru gadis dengan hidung mancung itu. Ia kesal dan hanya bisa memandang jalanan kota di depannya.
Mobil Aslan masih melaju dengan kecepatan rendah. Entah kenapa tiba-tiba mobil hampir saja menabrak mobil di sampingnya.
"Hei, Kau kenapa Aslan?" tanya Jihan dengan panik.
Sementara Aslan masih mengemudi dengan goyah.
"Kepalaku pusing sekali," rintih pria dengan bulu mata lentik itu. Kedua matanya hampir saja menutup mata.
Jihan terpaksa membuat dirinya duduk di jok pengemudi. Sementara Aslan berganti duduknya. Kini Jihan berusaha mengendarai mobil dengan tenan meski pikirannya sangat khawatir. Ia takut Aslan mengalami hal yang tidak baik. Semoga saja Aslan hanya pingsan.
"Ya Tuhan, Kau kenapa sih, Aslan?" tanya Jihan dengan panik. Ia melihat Aslan yang kini menutup mata sambil menyender.
"Bawa aku ke rumah sakit, Jihan," jawab Aslan setengah sadar.
"Iya ini aku sedang mencoba mengendarai mobil sportku," jawab Jihan dengan panik. Ia berusaha mempercepat laju mobil.
Jihan memilih rumah sakit yang tidak terlalu dekat dari kota. Pasalnya agar ibu Alsan tidak tahu keberadaan Aslan. Kalau sampai ibunya tahu dimana Aslan. Sudah pasti Aslan akan mendapat Omelan. Kasihan Aslan. Jihan akhirnya membawa Aslan ke rumah sakit yang tidak terlalu besar.
Mobil itu di berhenti di parkiran. Jihan dengan cepat keluar mobil lalu berlari mencari bantuan untuk membawa Aslan menuju ke ruangan. Kini tiga orang perawat dan satu petugas laki laki segera menggotong Aslan dari tempat duduk mobil ke sebuah brankar. Wajah Alsan sangat pucat. Bibirnya kering matanya tertutup rapat.
Jihan hanya bisa mendorong brankar itu bersama yang lainnya. Mendorong dengan kekhawatiran yang mendalam. Jihan terus melihat wajah Aslan. Ia benar-benar takut dengan keadaan Aslan.
Kini brankar itu di masukan ke dalam ruangan khusus dan aku tidak di perbolehkan untuk masuk ke dalamnya. Jihan hanya bisa duduk di kursi berbahan besi yang dingin. Perempuan dengan hidung mancung dan bibir berbentuk itu terdiam dengan pikiran yang kacau. Ia memeluk dirinya sendiri.
Terbayang jelas ketika pertama kali mereka berdua bertemu. Aslan yang tidak pernah putus asa terus mengejar Jihan sampai di sebuah danau. Lalu mereka berdua berbincang layaknya dua orang yang sudah tidak lama bertemu padahal baru bertemu beberapa kali saja.
"Aku harap kau baik-baik saja, Aslan," ucap Jihan dalam hati. Matanya berkaca-kaca. Ia mengutuk ayahnya sendiri. Jack tega sekali menyuruh para anak buahnya untuk memukuli Aslan.
"Sungguh, aku tidak akan memaafkanmu. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Aslan. Aku akan memarahimu ayah," kata Jihan dalam hati.
Jihan hanya bisa berdoa sekarang. Ia juga sebenarnya bingung. Akan menelfon ibu Aslan atau tidak. Kalau dirinya menelfon ibu Aslan. Sudah pasti ia akan di usir dari rumah sakit ini. Karena Jihan sudah tau bahwa sang ibu Aslan benar-benar tidak menyukai keberadaannya.
Sekitar dua puluh menit Jihan menunggu. Kini ia melihat seorang dokter laki laki keluar dari ruangan Aslan.
"Apa kau keluarganya?" tanya dokter itu dengan sopan dan ramah.
"Oh, bukan aku hanya teman Aslan," jawabku dengan cepat.
"Oh, baiklah. Pasien hanya mengalami dehidrasi dan luka yang ada seperti lebam di wajahnya akan segera membaik. Aku harap obatnya akan selalu rutin dan satu lagi. Dia juga harus hati-hati dengan lambungnya," jelas sang dokter.
Jihan mengangguk paham. Setelah berterimakasih. Kini ia di perbolehkan untuk masuk ke dalam ruangan itu. Jihan langsung saja mendekat ke sisi ranjang.
"Aslan?" Tangan Jihan langsung memeluk kepala Aslan dengan lembut.
Aslan saat itu pura-pura menutup matanya. Meski saat ini hatinya benar-benar berdebar. Ia juga tertawa dalam hati melihat Jihan yang kini menggerutu.
"Kau ini ceroboh sekali sih, kenapa sampai mengalami dehidrasi seperti ini? Kau pasti lupa minum dan makan ya? Kau harusnya tidak usah menolongku, Aslan," ucap Jihan dengan menangis kesal.
Jihan melihat wajah Alsan dengan kasihan. Gadis dengan rambut pirang terurai itu merasa sangat bersalah.
"Kenapa kau tidak bangun juga?" tanya Jihan dengan kesal.
"Tadi kata dokter kau sudah bisa di ajak berkomunikasi, tapi kenapa kau tidak bangun Aslan?" tanya Jihan sambil mengelus-elus pipi Aslan.
Aslan membuka matanya sambil tersenyum nakal.
"Kau bercanda ya?" seru Jihan menepuk keras lengan Aslan.
Pria dengan mata biru itu tertawa keras.
"Aduh! Jangan pukul aku. Aku 'kan lagi sakit," jawab Aslan tanpa berdosa.
Jihan melihat ke arah lain dengan kesal.
"Aku baik-baik saja kok, cepat suapi aku makanan. Aku sangat lapar sekali," kata Aslan melihat ke arah meja.
Jihan kini dengan sabar mengambil piring yang berisi makanan rumah sakit.
"Aku mau minum dulu tapi," kata Aslan dengan lirih.
"Oke, oke baiklah," jawab Jihan setengah kesal dan ia membantu Aslan minum air putih dengan sedotan.
Aslan mengulum bibir lalu berkata terimakasih kepada Jihan. Jihan menyuapi Aslan dengan pelan.