webnovel

I Love You, Ars!

PRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah berapa banyak tenaga yang sudah kuhabiskan untuk memporak-porandakan isi apartemen. Aku tak peduli. Evan merangkul bahuku. Aku mencoba berontak, dan berhasil. Lalu terhempas duduk ke atas tempat tidur. "Jangan sentuh aku!" Evan menekuk lutut, memohon di hadapanku. Aku menutup kedua telinga. Sungguh, tak ingin mendengar satu kata pun kedustaan yang ke luar dari mulutnya. "Ars ...." "Jangan bilang kamu nggak kenal sama perempuan itu! Aku tau siapa dia! Aku tau!"

Lovayudia · Urbain
Pas assez d’évaluations
21 Chs

Evan 8

Satu-satunya pencahayaan di kamar ini berasal dari lampu tidur. Aku memicingkan mata, mencarinya. Arsyana sedang terlelap di atas sofa. Satu tangannya terjulur hampir menyentuh lantai. Terdapat sebuah ponsel di antara jemarinya.

Aku mengusap wajahnya dengan lembut. Perlahan, kukecup keningnya. Desahan napasnya begitu jelas di ruangan yang sunyi ini. Lalu, dia membuka mata.

"Evan?" Suaranya terdengar parau, khas orang bangun tidur.

"Sayang ...." Aku mengusap wajahnya lagi.

"Ini jam berapa? Kenapa kamu baru pulang?"

"Maaf, aku lembur mendadak."

"Aku telpon, kenapa nggak di angkat?"

"HP aku silent."

Arsyana merubah posisinya, kini duduk bersandar. Menyibak rambut yang menghalangi wajah.

"Kamu udah makan?" tanyanya.

"Udah. Kamu pindah ya ke tempat tidur. Pasti pegel-pegel."

Arsyana mengangguk. Lalu, beralih ke tempat tidur. Aku berjalan menuju kamar mandi, dan berganti pakaian.

"Apa yang kamu kerjain sampe selarut ini?" Dia menatapku lekat.

Ini bulan ke dua pernikahanku dengan Arsyana. Memang, sebelumnya aku tak pernah pulang sampai larut. Tapi, akhir-akhir ini, entahlah. Sampai mendapati dia ketiduran di atas sofa selama menungguku pulang.

"Ada yang harus diberesin secepatnya di kantor."

Dia menghela napas perlahan. "Tidurlah. Kamu butuh banyak istirahat," ucapnya sambil mengusap rambutku.

Aku menangkap usapan tangannya. Menciuminya lembut.

***

Setiap pagi, Arsyana selalu menyiapkan sarapan. Walaupun rasanya sedikit aneh, tapi tidak seburuk saat pertama aku mencicipi masakannya. Tak pernah aku menyisakan satu butir pun nasi di atas piring. Aku selalu menghargainya.

Menurutku, dia sedang berusaha menjadi istri yang baik. Menyiapkan sarapan, walaupun setelahnya dapur seperti habis diterjang gempa. Merapikan rumah, walau tak begitu rapi sempurna.

"Hari ini kamu lembur lagi?"

Arsyana menaruh piring berisi nasi dan semangkuk sup di depanku. Kepulan asap terlihat di atas mangkuk, menandakan sup masih panas.

"Aku nggak tau."

Dia memajukan bibir. Gemas.

"Aku bosen, Van."

"Kamu mau apa? Shopping sama Erika?"

Dia menggeleng.

"Lalu?"

Aku menyuap sesendok sup.

Asin

"Kayaknya aku butuh kegiatan lain."

Dia menyendok sup, dahinya mengernyit.

"Misalnya?"

Matanya bergerak-gerak, tanda sedang berpikir.

"Mungkin ... pilates, acroyoga, atau ...."

"Ars ... kalo kamu mau olah raga, kan bisa di rumah. Aku beliin matras nanti buat pilates."

"Kalo acroyoga?"

"Nggak! Itu resikonya besar."

"Ya nggak lah, Van. Kan latihan dulu. Nggak mungkin lah dateng langsung akrobat gitu aja."

"Tapi aku nggak setuju."

Dia memonyongkan bibir, mendengus kasar.

Ting tong.

Bel berbunyi. Siapa yang bertamu sepagi ini?

"Biar aku aja. Kamu lanjutin sarapannya."

Aku bergegas menuju pintu, dan membukanya.

Dia ...?

Aku segera kembali ke pantry, menepuk bahu Arsyana.

"Ada yang nyari kamu."

"Siapa?"

Aku mengangkat bahu. Dia langsung berjalan menuju pintu, aku mengikuti di belakangnya.

Mata Arsyana membulat, takjub. Kemudian langsung memeluk seseorang di balik pintu.

"Bang Ash!"

Ashkara balas memeluk Arsyana. Mereka berpelukan cukup lama. Larut dalam melepas rindu.

"Ehm." Aku memecah keheningan.

Mereka melepaskan pelukan.

"Bang, pulang kok nggak bilang-bilang? Kan bisa kita jemput ke airport."

"Gue nggak mau ngerepotin kalian."

"Nggak ada yang direpotin kok, Ash."

"Masuk yuk, Bang. Kita sarapan dulu. Abang belum sarapan pasti."

Arsyana menarik lengan Ashkara, mengajaknya duduk bersebelahan di pantry. Dia segera meraup sepiring nasi dan semangkuk sup.

"Bang, cobain."

Ashkara menautkan alis. "Ini lu yang masak?"

Arsyana mengangguk. "Iya."

"Sejak kapan lu bisa masak? Masuk dapur aja nggak pernah!"

Ashkara terkekeh. Kemudian menyuap sesendok nasi beserta sup. Raut mukanya langsung berubah. Dia melirikku. Aku mengedipkan satu mata. Berharap dia mengerti maksudku.

"Gimana, Bang?" tanya Arsyana.

"E-nak," jawab Ashkara tergagap.

Rasain!

Akhirnya ada yang nyobain masakan Arsyana selain aku.

Arsyana tersenyum kecut. Menatapku dan Ashkara bergantian.

"Bilang aja kalo masakan aku emang nggak enak."

Hening.

Ashkara melirikku. Entah aku harus berbuat apa. Selama ini, dia sama sekali tak pernah bertanya tentang masakannya. Aku tak mempersalahkan jika masakannya memang tak enak. Tapi Ashkara? Dia tak bisa berpura-pura.

"Aku tau kok, selama ini masakan aku nggak enak. Iya kan, Van?"

Aku mengusap rambutnya. Berusaha menenangkannya.

"Tadi kamu bilang, kamu butuh kesibukkan?" tanyaku pelan.

Arsyana diam.

"Gimana kalo kamu ikut kelas masak?"

Matanya membulat, sedikit berbinar.

"Aku mau. Aku mau, Van." Dia menggerakan lenganku antusias.

"Kalo gitu, besok aku anter kamu cari cooking class terbaik di kota ini. Tapi jangan terlalu jauh juga. Gimana?"

Arsyana mengangguk, tersenyum, memelukku.

Aman.

"Ehm ...." Ashkara mendeham. "Percuma gue pulang kalo dicuekin!"

Kami berpandangan satu sama lain. Lalu melepas tawa bersama.

Tiba-tiba ponselku bergetar, menandakan satu pesan masuk. Kuusap layar untuk melihatnya.

Vanesha.

Satu foto terpampang dalam pesannya. Lalu, cepat-cepat kusentuh gambar mirip tong sampah. Deleted!

"Siapa, Van?" tanya Arsyana mengejutkanku.

"Oh. Ng-gak. Ini klien. Aku harus cepet-cepet berangkat kerja.".

"Ya udah, kamu berangkat aja."

"Ash, kapan lu mulai kerja?"

"Besok, Van. Hari ini gue istirahat dulu."

"Oh, oke. Kalo gitu gue duluan."

"Oke."

Aku dan Arsyana berjalan beriringan sampai depan pintu. Seperti biasa, dia membetulkan letak dasiku. Aku mencium keningnya.

"Take care," ucapnya seraya tersenyum.