webnovel

I Love You, Ars!

PRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah berapa banyak tenaga yang sudah kuhabiskan untuk memporak-porandakan isi apartemen. Aku tak peduli. Evan merangkul bahuku. Aku mencoba berontak, dan berhasil. Lalu terhempas duduk ke atas tempat tidur. "Jangan sentuh aku!" Evan menekuk lutut, memohon di hadapanku. Aku menutup kedua telinga. Sungguh, tak ingin mendengar satu kata pun kedustaan yang ke luar dari mulutnya. "Ars ...." "Jangan bilang kamu nggak kenal sama perempuan itu! Aku tau siapa dia! Aku tau!"

Lovayudia · Urbain
Pas assez d’évaluations
21 Chs

Evan 6

Masalah terbesarku setelah menikah adalah ... ketika aku belum menyentuhnya sama sekali. Bagaimana tidak? Mami menahan kami untuk tetap tinggal selama satu minggu di rumah. Di saat seperti ini, entah kenapa ... satu minggu terasa amat panjang.

Inti masalahnya, ketika mami berusaha menggagalkan malam pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Mami sengaja tidur di tengah-tengah antara aku dan Arsyana. Menggelikan.

"Dari dulu tuh ya ... Evan paling nggak bisa tidur kalo nggak deket ketek Mami," ujarnya begitu yakin.

Sungguh, walaupun tempat tidur ini cukup besar, tapi ini terasa menyesakkan. Entahlah. Mungkin aku hanya terburu-buru ingin bercumbu dengan Arsyana.

"Oh, ya?" sahut Arsyana diiringi gelak tawa.

"Iya. Evan itu anak Mami banget. Pokoknya nggak bisa jauh-jauh dari Mami."

"Mami ... udah deh. Mending tidur," ucapku ketus.

"Kamu nih, ya. Mami kan cuma lagi inget-inget kenangan tentang kamu dari kecil. Kapan lagi coba kita bisa tidur bareng bertiga kayak gini? Biar Arsyana tau juga history kamu."

"Ceritain tentang Evan, Mam," pinta Arsyana.

"Evan itu ... idolanya ibu-ibu. Sejak kecil, ibu-ibu di sini sirik sama Mami, karena anak Mami ini ganteng banget. Suka cubit-cubit gemes pipinya."

Aku menutupi wajah dengan bantal.

"Terus, dia idola ibu-ibu arisan juga. Makanya, kemaren Mami sempet kecewa, kenapa pernikahan kalian biasa aja."

"Mam, kan udah Evan bilang ...."

Mami mendelik. "Lagian, kamu kenapa nggak mau ada pesta sih, Ars? Kalo ibu-ibu pada curiga Evan ngehamilin kamu duluan gimana coba?"

"Aku nggak mau aja, Mam. Lagian, Bang Ash kan nggak bisa lama-lama di sini," jawab Arsyana.

"Tapi nanti, kalian harus bikin pesta lah sesekali. Biar Mami bisa pamerin anak Mami yang ganteng ini sama ibu-ibu. Sekalian, ngenalin mantu Mami." Mami mengusap rambutku.

"Dih, ogah! Aku nggak mau dipamer-pamerin, Mam."

"Halah! Pokoknya harus. Apa kata omongan mereka nanti kalo anak Mami nikah nggak pake pesta?"

Aku mengusap wajah dengan kasar. Kesal.

"Mam, udah deh. Mending Mami tidur aja. Kalo bisa, tidurnya di kamar Mami sama Papi."

"Pokoknya Mami tidur di sini sampe kalian balik ke apartemen. Lagian, emangnya kalian mau ngapain sih nyuruh Mami tidur cepet-cepet?"

What? Mau ngapain mami bilang?

"Ya kita juga mau tidur, Mami ... tuh, liat Arsyana. Dia udah ngantuk kasian."

Mami melirik Arsyana, memonyongkan bibir. "Ya udah, kita tidur. Tapi tetep, Mami mau tidur di sini."

Terserah mami. Aku pasrah.

***

Aku dan Arsyana duduk di barisan paling pinggir di sebuah restoran. Kami menepi sebentar untuk makan siang, saat perjalanan kembali ke apartemen.

"Kamu mau pesen apa?" tanyaku.

Ah, ya. Aku dan Arsyana sepakat untuk beraku-kamu, setelah mendapatkan ceramah semalaman dari Mami. Bukan apa-apa, kami mengiyakan agar mami cepat diam.

"Aku mau ini aja."

Arsyana menunjuk satu menu paket ayam goreng dan jus alpukat.

"Oke, aku pesenin ya. Mas!"

Aku memanggil pelayan restoran, dan memesan makanan. Pelayan itu mencatat pesanan kami, dan beranjak menuju pantry.

Arsyana menopang dagu, memandangku lekat. Aku salah tingkah. Apa yang dipikirkan perempuan ini saat menatapku?

Lalu dia tersenyum. "Van, aku seneng deh. Ternyata, mami baik banget. Sedikit mengobati kerinduan aku sama bunda."

Aku mengusap lembut rambutnya. Merasakan ketulusan dalam setiap perkataannya.

"Syukur lah. Aku jadi ikut seneng."

"Papi juga baik banget sama aku, Van. Aku jadi kayak ngeliat sosok ayah dalam diri papi. Kak Erika juga. Pokoknya, semua keluarga kamu baik banget sama aku. Aku seneng."

Kurasa, Arsyana memang benar-benar kekurangan kasih sayang orang tuanya. Sekarang, sikapnya berubah sedikit lebih lembut.

Makanan kami sudah tersedia di meja. Kami menyantapnya sambil sesekali terlibat obrolan receh. Manis, senyumnya. Membuatku ingin berlama-lama memandangnya.

Setelah menghabiskan makanan, kami melanjutkan perjalanan. Kami sampai di apartemen setengah jam kemudian.

Arsyana membereskan semua pakaiannya yang ada di koper, untuk dimasukkan ke dalam lemari. Ya, untuk saat ini aku berbagi lemari dengannya. Mungkin besok, aku harus membeli lemari tambahan, mengingat baju yang di bawa Arsyana lumayan banyak.

Aku membantunya merapikan beberapa baju, saat kutemukan sebuah baju berwarna hitam yang ... mungkin, tak bisa dibilang baju, itu terlalu tipis, dan hanya berupa jaring-jaring kecil di beberapa bagiannya. Lingerie.

Melihat itu, Arsyana langsung merebutnya dariku, dan disembunyikan di belakang punggung.

"Hei, kenapa memangnya?" tanyaku jahil.

Dia hanya menggeleng.

"Sini, aku mau liat."

Arsyana menepis tanganku, dan mundur beberapa langkah.

"Ars, aku ini suamimu sekarang."

"Aku malu," jawabnya canggung, pipinya memerah.

"Punya kamu?"

Dia menggeleng lagi. "Kado dari Erika."

Tawaku pecah seketika. Lalu, Arsyana cepat-cepat merapikan bajunya ke dalam lemari. Ah, perempuanku ini ....

***

Malam tiba, menghanyutkan Arsyana yang menatap serius ke layar laptop sejak tadi sore. Sejak dekat dengan Erika, dia jadi kecanduan drama Korea.

"Ars, udah dong. Kamu tuh ya dari tadi nonton terus."

Arsyana melirikku dari balik laptop. "Emangnya kenapa? Ini lagi seru-serunya. Bentaran doang."

"Bentar kamu bilang? Ini udah empat jam kamu nonton drama sialan itu!"

Dia melirikku lagi, tapi kali ini tak menggubris.

Sial.

Menyebalkan.

Tak mengerti kalau kita ini sepasang pengantin baru?

Aku menggerutu seraya melangkah menuju balkon. Memandangi lampu-lampu kota di bawahnya, seperti kunang-kunang yang berpendar.

Tiba-tiba, Arsyana sudah di sebelahku, menyandarkan kepalanya di atas bahu.

"Van, aku nggak nyangka deh. Seperti mimpi ...."

Aku menarik tubuhnya hingga menempel ke pagar pembatas. Kini, tak ada jarak lagi di antara kami saat berhadapan. Aku memejamkan mata, menciumi pelipisnya lembut.

"Evan ...."

Aku membuka mata. Arsyana melihat ke jalan raya di bawah sana dengan tegang.

"Kamu nggak ada maksud buat dorong aku kan?"

"Hah?" tanyaku bingung.

"Aku takut jatoh, Van ...."

Sialan.

Aku melepaskan pelukan, dan meninggalkannya menuju pantry. Malam ini terasa panas. Kuambil sekaleng soda di dalam lemari es. Meneguknya dengan cepat.

"Kamu tau kenapa aku suka nonton drama Korea?"

Tiba-tiba dia sudah di hadapanku.

Aku mengangkat bahu.

"Soalnya aku suka Kim Soo Hyun."

Aku menaikkan alis. Siapa Kim Soo Hyun?

"Lalu?"

"Ya, aku suka aja." Dia menyeringai, kemudian membisikkan kata di telinga, "dia romantis."

Dia mengambil kaleng soda dari tanganku, lalu di simpan di atas meja. Kemudian Arsyana mencium bibirku. Ah, rasanya ... manis.

Tapi, tunggu dulu! Dia menciumku setelah menyebut pria lain romantis? What the ....

***

Hujan deras mengguyur kota pagi ini. Membuat kami ingin berlama-lama memadu kasih di atas tempat tidur. Hawa dingin menyesap hingga ke dalam selimut.

"Are you okay?" tanyaku sambil menciumi rambutnya.

Dia hanya tersenyum. Menatap mataku lekat, menyentuh kedua pipi. Dalam jarak sedekat ini, desahan napasnya begitu terasa.

"Evan ...," lirihnya.

"Iya ... Sayang?"

Arsyana sedikit mengerjapkan mata saat kupanggil 'sayang'.

"Aku ... kok kepikiran sama Bang Ash ya?"

"Kenapa?" tanyaku.

"Kayaknya, karena dia belum menemukan belahan jiwanya."

Aku terpaku menatapnya. Membelai wajahnya lembut.

"Suatu saat, dia akan menemukan belahan jiwanya. Kamu tenang aja."

"Gimana kalo kita carikan dia seseorang?" usulnya.

Aku memutar bola mata. "Boleh."

Arsyana tersenyum lagi.

"Eeemmm ... Van?"

"Ya?"

"Aku laper."

"Ah, sial. Jika tak ada rasa lapar, aku enggan beranjak. Aw-"

Arsyana mencubit perutku.