webnovel

I Love You, Ars!

PRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah berapa banyak tenaga yang sudah kuhabiskan untuk memporak-porandakan isi apartemen. Aku tak peduli. Evan merangkul bahuku. Aku mencoba berontak, dan berhasil. Lalu terhempas duduk ke atas tempat tidur. "Jangan sentuh aku!" Evan menekuk lutut, memohon di hadapanku. Aku menutup kedua telinga. Sungguh, tak ingin mendengar satu kata pun kedustaan yang ke luar dari mulutnya. "Ars ...." "Jangan bilang kamu nggak kenal sama perempuan itu! Aku tau siapa dia! Aku tau!"

Lovayudia · Urbain
Pas assez d’évaluations
21 Chs

Arsyana 9

Berulang kali kuhubungi Evan, namun tak ada jawaban. Jam les memasak hari ini ternyata lebih cepat di luar dugaan. Di pelataran parkir yang mulai sepi, kakiku mulai pegal.

Sebuah motor matic yang dikendarai oleh dua orang perempuan berhenti di depanku. Satu di antaranya, turun dan melepaskan helm.

"Gue cabut dulu ya, Hil," ucap perempuan yang masih di atas motor.

"Oke. Jangan lupa jemput gue jam tujuh," sahut perempuan yang turun dari motor.

"Oke."

Perempuan itu langsung melesat cepat di jalanan. Sedangkan perempuan yang turun, memulai langkahnya. Tatapan kami bertemu, dia tersenyum, dan mengernyitkan dahi.

"Mbak ... yang dulu di outlet pakaian baby and kid's kan?"

Aku memicingkan mata. Mengamati lekat-lekat perempuan di hadapanku. Oh, ya ... dia perempuan hamil itu. Tapi, kini berbeda. Perutnya terlihat rata. Apa mungkin dia sudah melahirkan?

"Mbak yang waktu itu lagi hamil?" tanyaku.

"Iya, Mbak. Tapi, sekarang aku udah melahirkan."

"Wah ... selamat ya, Mbak."

"Makasih. Oh, ya ... kenalin, aku Hilda."

"Aku Arsyana."

Kami bersalaman.

"Mbak Arsyana kursus masak di sini?" tanyanya.

"Iya, Mbak. Mbak juga?"

"Iya, tapi aku ambil kelas sore. Kalo gitu, aku masuk dulu ya, Mbak. Kapan-kapan kita ketemu lagi."

"Iya, Mbak."

Hilda berjalan menuju pintu masuk. Walau sudah melahirkan, dia masih terlihat cantik. Sepertinya, dia pandai merawat diri. Tak ada lemak bergelambir di sekitar perut atau bagian tubuh yang lainnya. Apalagi, busana yang dikenakannya lumayan ketat.

Ah, aku teringat Evan ... ke mana dia?

Memang, akhir-akhir ini dia terlihat sibuk. Beberapa kali sering pulang malam. Pernah suatu hari, dia pulang begitu larut. Kesibukannya kadang membuatku jenuh.

Kuperiksa ponsel sekali lagi, memastikan kabar dari Evan. Ternyata nihil. Baiklah. Aku putuskan untuk pulang sendiri saja menggunakan taksi online.

Di perjalanan, aku teringat bahwa rute yang kulalui saat ini melewati kantor tempat Evan bekerja. Mungkin, tak masalah jika aku mampir sebentar.

Aku menginjakkan kakiku di sebuah gedung perkantoran. Ini kali pertamaku ke sini. Sebelumnya, Bang Ash pernah bercerita, bahwa dia bekerja di lantai tiga.

"Permisi, Mbak. Ruangan Evan ada di lantai berapa, ya?" tanyaku pada seorang Resepsionis perempuan yang sedang berjaga di lobi.

Perempuan itu lantas berdiri. Memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan sinis. Apa yang salah denganku? Bukankah ... seorang Resepsionis harusnya bersikap ramah?

"Pak Danial Evan maksudnya?" si Resepsionis itu balik bertanya.

"Iya betul."

"Kalau boleh tau, Anda siapanya Pak Evan?"

Baru kusadari, pesta pernikahan itu penting. Di saat seperti ini, tak ada yang mengenaliku sebagai istri Evan. Yang kudapat, hanya tatapan sinis dari perempuan di hadapanku. Atau jangan-jangan ... tak ada yang tahu bahwa Evan sudah menikah?

Aku tersenyum seramah mungkin. Tak ingin menunjukkan kekesalanku.

"Saya istrinya."

Perempuan itu terkesiap, matanya membulat. Sepersekian detik menunjukkan senyum ramahnya. Aku tahu, dia hanya berpura-pura.

"Maaf, Bu. Saya pikir ...."

"Nggak apa-apa. Di mana ruangan Evan?" selaku memotong perkataannya.

"Di lantai dua, Bu. Di pojok sebelah kanan."

"Oke. Makasih," ucapku seraya berlalu.

Perempuan itu entah menggumamkan apa saat aku mulai melangkah menuju lift. Terdengar, tapi tak jelas. Mungkin dia sedang mencibirku. Aku tak peduli.

Aku segera masuk ke dalam lift saat terbuka. Menekan tombol angka dua, dan lift mulai bergerak pelan.

Lift terbuka. Dan aku langsung belok ke arah kanan. Menyusuri koridor yang tampak lengang. Hanya ada beberapa orang saja yang berlalu-lalang. Entahlah, aku tak begitu memeprhatikan. Sesampainya di ujung koridor, aku mendapati ruangan Evan yang tertutup rapat. Aku meraih handle pintu, dan langsung membukanya.

"Arsyana?"

Aku mendapati Evan terlonjak dari kursinya. Mungkin, dia terkejut melihat kedatanganku yang mendadak ini.

"Kamu ... kenapa bisa ke sini?"

Aku menutup pintu rapat. Lalu duduk di depannya berbataskan meja.

"Aku telponin kamu dari tadi, Evan ...."

"Oh, ya? Sebentar."

Evan mengecek ponselnya. Dia menepuk jidat.

"Aku silent ternyata. Maaf ya, Sayang ...."

Aku memanyunkan bibir. Seketika, pandanganku tertuju pada dua cangkir putih di atas meja. Berisi kopi, satu cangkir masih utuh. Satu cangkir lagi tersisa setengah, dan ... meninggalkan bekas lipstik merah menyala.

"Gimana cooking class hari ini? Lancar?" Evan bertanya sambil merapikan beberapa dokumen yang berserakan di atas meja.

Apa mungkin Evan sedang bersama seorang perempuan sesaat sebelum aku datang? Jika di lihat dari asapnya yang masih sedikit mengepul, itu belum lama.

"Ars ...."

Evan membuyarkan lamunanku.

"Iya?"

"Ada yang lagi kamu pikirin?"

Ah, mungkin hanya sebatas rekan kerjanya. Kubuang jauh-jauh pikiran buruk tentang Evan.

"Ng-gak ... kamu ... masih lama pulangnya?" tanyaku terbata.

Evan berdiri dari kursinya, dan menyampirkan tas di bahu.

"Karena udah ada yang jemput aku ... jadi, aku mau pulang sekarang."

Evan menjulurkan satu tangannya di depanku. Aku tersenyum, lalu meraih tangannya.

Kami menyusuri koridor dan menaiki lift sambil terus berpegangan tangan. Tapi, rasanya ini terlalu erat. Mungkin ... dia takut aku hilang. Oh, yang benar saja!

Sesempainya di lobi, Resepsionis tadi langsung berdiri saat melihat aku dan Evan berjalan beriringan.

"Sore, Pak Evan," sapanya.

Evan hanya tersenyum. Di sudut mata, aku bisa melihat perempuan itu tersenyum sinis. Biarlah.

***

"Kalo aku nggak samperin kamu ke kantor, kamu pasti bakal pulang malem lagi," ucapku disusul dengan satu sendok cumi asam manis.

Aku dan Evan makan malam seafood warung tenda di pinggir jalan. Dulu, Bang Ash sering mengajakku ke sini.

"Nggak lah, Sayang ...."

"Buktinya, kamu nggak angkat telpon aku."

"Kan udah kubilang, tadi HP-nya aku silent."

Aku mendengus kesal.

"Bisa nggak HP-nya nggak di silent terus?"

"Ya nggak bisa dong, Ars ...."

"Kenapa?"

"Karena nanti kamu telponin aku terus. Aku jadi inget kamu terus. Yang ada aku pengen cepet-cepet pulang ketemu sama kamu."

"Halah, gombal!"

Evan tertawa, mencubit pipiku gemas.

Lalu, kami melanjutkan makan malam, sambil sesekali kuceritakan tentang les memasakku. Tak jarang dia terkekeh geli saat mendengarku bercerita.

Setelah makanan kami habis tak tersisa, Evan segera membayarnya ke kasir.

Tiba-tiba ponsel Evan di atas meja berpendar, memang tak ada getaran. Kulirik sekilas, nama Vanesha muncul di layar mengirimkan satu pesan. Aku meraihnya, dan segera mengusap layar.

"Yuk, Ars!"

Evan memgejutkanku. Ternyata dia telah selesai membayar. Aku belum sempat melihat isi pesan itu. Lalu, kuberikan ponsel itu padanya.

"Siapa Vanesha?"

"Hah?"

Evan mengerutkan kening.

"Ada pesan dari Vanesha. Tapi aku belum sempat liat."

"Oh ... dia temenku di kantor."

Aku menaikkan alis. Ada sedikit rasa keingintahuan saat mendengar nama Vanesha. Tapi, ... mungkin Evan benar.

"Kita pulang sekarang?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Yuk!"

***

Hari ini akhir pekan, Evan tak berangkat ke kantor. Kami berencana mengisi liburan singkat ini untuk pergi ke pantai. Melepas sedikit penat.

Aku tengah membereskan beberapa keperluan untuk di masukkan ke dalam tas.

Ting tong.

Bel berbunyi. Kulirik pintu kamar mandi, Evan masih di dalam. Aku bergegas membukakan pintu.

Seorang perempuan muncul di balik pintu. Mengingatkanku pada sosok Hilda. Dandanannya tak jauh beda. Dan, dia sama-sama cantik.

"Mau cari siapa, ya?"

Perempuan itu tersenyum. Lalu menjulurkan satu paper bag kecil.

"Aku cuma mau kasih ini. Siapa tau Evan membutuhkannya besok."

"Apa ini?" tanyaku penasaran.

"Maaf, aku permisi."

Perempuan itu pergi begitu saja, tanpa menjelaskan apa isi paper bag. Aneh. Siapa dia?

Aku menutup pintu, dan berbalik. Mendapati Evan di belakangku. Ternyata dia sudah selesai mandi.

"Ada siapa?"

Aku mengangkat bahu. "Nggak tau. Nih," jawabku sambil menyerahkan paper bag itu.

"Apa ini?"

"Belum aku liat. Coba buka."

Evan membuka paper bag itu, dan meraih isinya.

Dasi.

Dasi?

Seketika, aku teringat saat dia pulang larut sekitar sebulan yang lalu. Ya ... aku ingat, tak ada dasi yang menggantung di lehernya. What the ....