Reynard memberhentikan mobilnya tepat di sebuah rumah mewah bernuansa putih.
"Ngapain lo bawa gue ke sini?"
"Pulang," jawabnya santai.
"Ngapain lo bawa gue ke rumah lo?" Dia tidak menjawab, dia melanjutkan langkahnya.
Ngapain dia bawa gue ke rumahnya?
"Tuan udah pulang?" ucap seseorang paruh baya yang barusan menghampiri Reynard. Gue rasa itu asisten rumah tangganya, karena gak mungkin kalau itu nyokapnya tapi memanggil dia dengan sebutan 'Tuan'.
"Mamah sama Papah mana Bi?" tanya Reynard pada orang paruh baya itu.
"Mereka lagi keluar kota, katanya ada bisnis baru," jawab orang itu yang kemudian dijawab dengan anggukan Reynard.
Reynard membawa gue ke sebuah ruangan yang gue kira itu adalah kamarnya sebab di pintu kamar itu tertera ukiran namanya 'Reynard A.V. Dirgantara'.
AV? Pikir gue saat membaca sebuah ukiran kayu yang terletak di pintu ruangan itu. Yang gue tahu dari namanya hanyalah satu kata, yaitu Reynard. Gue tak begitu lama memikirkan AV itu, gue ikut melangkah masuk mengikuti langkahnya.
Mata gue membulat saat melihat isi kamar yang terlihat begitu rapi. "Jangan lo pikir ini gue yang merapihkannya," ucap Reynard yang membuyarkan lamunan gue. Ok, lagi-lagi dia tahu apa yang sedang gue pikirkan saat melihat isi kamarnya.
"Gak! Gue gak berpikir seperti itu, karena dari tampang lo juga tidak mencerminkan perilaku yang demikian," ucap gue malas.
Dia membuka lemari pakaiannya, dia mengambil baju dan celana serta handuk yang kemudian ia berikan kepada gue.
"Ganti baju lo sana," ucap dia dingin. Gue hanya mengangguk dan menuruti ucapannya tersebut. Sulit bagi gue untuk menolak setiap ucapan yang sudah ia perintahkan. Gue berjalan masuk ke kamar mandinya.
"Gue tunggu di bawah," ucap dia saat gue sedang berada di kamar mandinya.
"Iya," teriak gue dari dalam kamar mandi.
Gue berjalan menuruni tangga rumah ini setelah gue selesai membersihkan diri gue dari sisa air hujan tadi. Gue mengenakan kaos hitam polos miliknya, yang terasa begitu kebesaran di badan gue.
Ini bukan sebab tubuhnya yang terlalu besar dan berbeda dengan tubuh gue, tapi karena baju miliknya ini berukuran XL, sedangkan gue terbiasa memakai baju ukuran M atau bahkan S.
Dia menatap gue dingin, lalu tersenyum sekilas saat melihat gue yang kini tengah berdiri di hadapannya. "Makan," ucapnya sambil melirik ke arah makanan yang ada di atas meja.
Gue harus mengartikan semua tindakannya sebagai apa? Apa sebagai belas kasihannya saja atau sebagai kepedulian? Itulah yang kini tengah gue pikirkan sekarang. Gue gak mau kalau nantinya gue salah mengartikan semua tindakannya ini.
Waktu sudah mulai larut malam. Cuaca di luar sudah normal, karena air hujan sudah tak lagi turun ke bumi.
"Gue mau pulang," ucap gue pada Reynard.
"Gue antar," balasnya dengan nada yang sama seperti sebelumnya, yaitu dingin.
"Gak usah," ucap gue. Dia tidak menjawab, dia hanya berjalan keluar dan akhirnya gue mengikutinya dari belakang.
Dia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalamnya. Gue yang bingung masih menatap dia dengan tatapan penuh tanda tanya dari depan mobilnya.
"Apa lo bakalan pulang dengan terus berdiri di sana?" tanya dia yang membuat gue kikuk. Dia berucap dengan dingin, namun disertai dengan senyuman di akhir kalimatnya.
Akhirnya gue masuk ke dalam mobilnya. Gue menatap jalanan dengan suasana malam. Gue masih bingung akan semua sikap dia.
Gue gak mau kalau nantinya gue salah mengartikan ini semua, karena ditinggalkan saat baru merasakan kehadiran itu sangat menyakitkan dan gue gak mau merasakan itu.
"Apa yang lo pikirkan?" tanya dia yang lagi-lagi membuyarkan lamunan gue.
"Gue gak mikirin apa-apa," elak gue.
"Gak usah mikirin gue," ucap dia datar.
Nih cowok gila atau gimana sih? Kok gue sebel aja ya bawaannya sama dia. Arghh! Bisa gila gue sama semua sikap dia.
"Apa yang harus gue pikirkan dari lo?" tanya gue yang berusaha untuk menutupi keadaan yang sebenarnya kalau gue memang sedang memikirkannya.
"Jawabannya adalah apa yang sudah lo pikirkan sekarang." Dia menjawab ucapan gue tanpa melirik ke arah gue. Dia hanya berucap datar dengan tatapan yang sedari tadi fokus pada jalanan.
*****
Hari terus berlalu, gue semakin bosan akan ke sendirian yang sudah begitu lama gue jalani. Gue semakin merasakan kesunyian dan gue juga semakin bosan akan semua masalah yang terus-terusan hadir di kehidupan gue.
Kenapa semua masalah itu terus saja menghampiri gue, kenapa tidak pindah ataupun sebatas singgah di orang lain? Kenapa terus menetap di gue? Kenapa?
Jika orang bilang 'Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umatnya, maka sampai kapan Tuhan mengira bahwa gue masih mampu?'
Tuhan, percayalah aku sudah tak mampu menjalani ini semua. Gue sudah lelah menahan ini semua sendiri, gue sudah tak kuat untuk terus melingkar di lingkaran masa lalu gue.
Sampai kapan Tuhan mau memberikan aku cobaan? Aku sudah tak mampu Tuhan. Terasa begitu menyakitkan bagi gue untuk menjalani ini semua.
Bulan, kenapa lo sendiri? Lo yang terang saja sendirian, pantas saja gue yang gelap ini sendirian. Apakah lo mau menemani gue? Hmm sangat tak pantas ya buat gue bersama? Hujan saja tak mengizinkan lo untuk menemani gue hmm.
Gue hanya tersenyum miring saat gue yang baru menanyakan apa dia mau menemani gue dan ternyata rintikan air seketika turun dari langit yang membuat bulan itu perlahan menghilang dari pandangan gue.
Tuhan, apa kamu tidak menakdirkan untuk aku mengalami kebersamaan? Jika menakdirkan, lalu kapan? Jika tidak kenapa? Kenapa mereka bisa menikmati indahnya kebersamaan, sedangkan aku tidak? Aku terus saja merasakan kesendirian dan juga kesunyian. Aku juga ingin merasakan kebersamaan dan kehangatan
*****
Gue kali ini sudah benar-benar lelah jika harus terus menyakiti diri gue untuk bisa melupakan masalah yang ada. Gue mau mau cari sesuatu yang lain, gue mau mencari tempat pelampiasan yang lain. Gue berjalan mengambil kunci mobil yang ada di nakas.
Gue melajukan mobil gue menuju ke sebuah bar yang ada di dekat area apartemen gue. Ini sudah gue pikirkan sejak dulu, namun baru mau gue coba sekarang.
Gue belum masuk ke dalam sana, bahkan gue juga belum masuk ke area parkirannya. Gue masih di sini, di seberang jalan tempat itu. Gue masih menatap bar itu, gue masih ragu. Entah kenapa yang jelas gue sangat ragu.
Oke, ayolah ini tak seburuk yang lo kira! Pikiran gue berucap. Oke, kali ini gue yakin. Gue memilih untuk memarkirkan mobil gue di sini. Di dalam pasti penuh, gue ogah cari tempat parkir. Gue membuka pintu mobil dan gue mulai mau menyeberang dan—
Tinnnnd.
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius
Apa yang terjadi selanjutnya? Penasaran gak? tunggu aja di next part!
bbbye!