Gadis remaja yang dipanggil 'Alice' itu menghela nafas kasar. Alice harus ekstra sabar dengan temannya yang terlalu polos dan sangat tidak peka.
Pemuda di depannya hanya mengangguk sekali. Tidak biasanya temannya berbicara sehangat itu. Biasanya Alice selalu mengoceh tentang betapa tampannya artis-artis dari negara lain.
Namun, meski begitu, Eric senang memiliki teman dekat seperti Alice.
"Alice?"
"Hmm?"
"Kamu menonton drama 'Our Promise' kemarin?"
"Ahahaha tentu saja. Apa yang kamu bicarakan, heh?" Alice menjawab.
"Hmm, benar. Aku ingat ada adegan seperti itu di drama. Kamu pasti mengutipnya, kan?" kata Eric, tersenyum mengejek.
Alice sedikit tersentak. Dia tidak menyangka usahanya untuk terlihat romantis harus gagal seperti ini.
Alice menggaruk bagian belakang lehernya.
"Hehehe ketahuan ya?"
Eric tertawa. Setidaknya ketika dia bersama Alice, dia bisa melupakan masalahnya sejenak.
Meski sebenarnya hati Eric rapuh, Eric akan berusaha baik-baik saja di depan gadis yang menjadi sahabatnya sejak kecil.
"Eric?"
"Hmm?"
"Liburan tengah semester sudah di depan mata. Ke mana rencana liburanmu?" Alice bertanya sambil meraih pergelangan tangan Eric.
Dari tadi, Alice melihat keanehan pada Eric. Meskipun Eric terlihat bahagia, tangannya yang dingin dan terkadang gemetar tidak bisa membohongi Alice. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan dari teman ini.
"Eric?"
Sekali lagi, Alice memanggil sahabatnya ketika dia tidak menerima tanggapan dari sebelumnya.
"Eric?"
Kesunyian. Satu-satunya suara yang bisa didengar adalah napas Eric.
"Eric Yudistira?"
"Oh ya?" Eric setengah terlonjak saat mendengar nama lengkapnya diucapkan oleh Alice.
Alice hanya tersenyum lembut. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi sahabatnya. Alice menarik kepala Eric untuk bersandar di bahunya yang kecil
Eric mendongak sejenak, menatap Alice. Entah kenapa, matanya terasa perih sekarang. Sekuat apapun Eric berusaha menjadi kuat, tak bisa dipungkiri saat ini Eric butuh tempat untuk bersandar.
Bahu Eric mulai bergetar. Isak tangis lembut terdengar. Pada akhirnya, Eric terisak di bahu Alice.
Jika seorang pria menangis, itu bukan karena dia lemah. Tapi itu menunjukkan bahwa pria itu masih memiliki hati.
Alice tidak mengatakan apa-apa. Alice dengan lembut membelai lengan Eric, menghibur remaja laki-laki yang telah menjadi sahabatnya.
"A-aku benci diriku sendiri, Alice! Aku benci diriku yang lemah," kata Eric di tengah isak tangisnya.
Alice semakin mempererat genggamannya pada Eric. Alice juga dengan lembut membelai kepala Eric yang masih berada di bahunya.
"Tidak apa-apa, Eric. Kamu bisa terlihat lemah saat bersamaku," kata Alice lembut.
***
"PENCURI!! BAGAIMANA KELAS INI DAPAT MENYEMBUNYIKAN PENCURI!!"
"LEPASKAN KAMU!!"
"BAGIAN!"
"TAMPUNGAN WAWASAN ANDA TELAH MENYEMBUNYIKAN PERILAKU JAHAT ANDA!"
"MENJIJIKKAN!"
Desas-desus keji telah diucapkan oleh teman sekelas Eric.
Eric duduk di sudut kelas. Tubuhnya gemetar. Pakaian Eric kotor karena serangan teman-temannya. Ada yang melempari Eric menggunakan sampah, bungkusan kertas, kotak susu, dan masih banyak lagi.
"HENTIKAN INI!" teriak seorang pemuda di ambang pintu. Itu adalah Raymond yang saat ini datang dan mendekati Eric di sudut ruangan.
Raymond adalah sahabat Eric dan Alice juga.
Raymond membantu Eric berdiri, dan membersihkan pakaian adik kelasnya, yang juga merupakan sahabatnya.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Raymond, dengan ringan mengguncang bahu Eric.
Eric mengangguk. Eric membersihkan pakaian kotornya.
Mata tajam Raymond tertuju pada semua orang di kelas.
"Apa kalian semua, ya? Kalian bertingkah seperti penjahat!!" teriak Raymond ke seluruh kelas 10-F. Dia berada di kelas 10-D. Jadi, seluruh kelas terdiam ketika Raymond datang di tengah keributan.
Salah satu pemuda berambut pendek maju ke depan. Dia sedang mengunyah permen karet sekarang.
"Oho, ternyata ada pahlawan yang terlambat melindungi pencuri," katanya.
Saat berada tepat di depan Eric, pemuda itu meludahkan permen karetnya tepat ke pipi Eric.
"HEI! BERANI KAMU!!"
Raymond menarik kerah seragam pemuda itu. Raymond meninju wajah pemuda tampan itu beberapa kali.
"SIALAN KAMU, BIMA!" teriak Raymond, masih meninju wajah Bima.
Bima tidak melawan. Keributan baru berhenti ketika seorang guru memasuki ruangan.
Bersambung....