"Ini tidak apa-apa, Paman. Meski hidungku mengeluarkan banyak darah, tapi aku tidak merasa sakit sedikit pun," bohong Zarius sambil berusaha terus menghentikan perdarahan pada hidungnya.
Kaus putih yang dikenakan Zarius kini ujungnya sudah berubah warna menjadi merah kehitaman, karena dibuatnya mengelap darah yang keluar dari hidung.
Tuan Reno benar-benar diselimuti rasa bersalah, tapi Tuan Rendi juga tidak tega melihat remaja yang masih menunduk sambil menyumbat hidungnya dengan ujung kaus itu.
Tuan Reno menghela napas dalam-dalam dan memberanikan diri untuk kembali mendekat ke arah Zarius. Meski putranya sudah menyuruh Tuan Reno untuk membawa Zarius ke kantor polisi, tapi Tuan Reno masih belum tega. Dia takut kalau ada orang asing yang akan mencelakai Zarius.
"Apakah kau merasa pusing, Son?" lirih Tuan Reno, masih menatap sendu ke arah Zarius. Tapi, ia belum berani duduk di sebelah Zarius lagi, karena ia sempat melihat Eric mengintip mereka dari kaca jendela dapur. Dan Tuan Reno ingin menjaga perasaan putranya.
Eric secara terang-terangan mengungkapkan ketidaksukaannya pada Zarius tadi. Jadi, sejak saat itu, Tuan Reno mencari cara agar dapat mengusir Zarius secara halus. Namun, dalam hatinya yang terdalam, Tuan Reno sangat
"Pasti pusing sekali ya, Son?"
Zarius tersenyum dan menggeleng pelan. Tapi, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. Untung Zarius berada di kursi panjang sekarang. Jadi, Zarius merebahkan diri ke kursi. Ia meletakkan kepalanya yang terasa berat di kursi. Sedangkan, kedua kakinya masih menjuntai di tanah.
Zarius tidak tahu mengapa luka-lukanya belum sembuh juga. Bahkan, dia tidak ingat mendapatkan luka-luka menganga itu dari mana. Zarius tidak memiliki ingatan apa pun sebelum ini. Yang dapat Zarius ingat hanyalah namanya 'Zarius'.
Tuan Reno berjongkok di dekat tubuh lemas Zarius, yang sudah luruh ke kursi panjang.
"Ada apa, Son?" tanya Tuan Reno lagi, masih dengan wajah bingung karena yang tiba-tiba lemas. Dia masih takut jika memberi perhatian lebih pada Zarius, maka Eric akan marah lagi pada Tuan Reno. Lelaki dewasa itu benar-benar berada dalam dilema.
Apalagi, Tuan Reno mengkhawatirkan keadaan Eric akhir-akhir ini. Eric seolah belum menerima kepergian saudaranya, Rafael. Eric masih berharap saudaranya akan pulang suatu saat nanti. Padahal, ini sudah lebih dari beberapa bulan setelah Rafael menghilang. Eric tidak terima jika Tuan Reno menganggap Zarius adalah Rafael. Itulah alasan Eric membenci Zarius.
Dan Zarius sudah memaklumi hal itu. Jadi, Zarius tidak terlalu berharap pada Tuan Reno akan terus membantunya saat ini.
"Aku merasa sedikit pusing, Paman ...."
Zarius berbisik lemah. Matanya sudah terasa sangat berat dan setengah tertutup. Napasnya terengah dan putus-putus. Ia sudah menahan rasa sakitnya sejak tadi. Tapi sepertinya, tubuh Zarius tidak kuat menahan rasa sakit lebih dari ini. Ia sudah mencapai batas.
Tuan Reno tidak melakukan banyak hal, dia tahu jika Eric masih mengawasi mereka saat ini. Tuan Reno malah duduk di tanah berumput, tepat di depan tubuh Zarius yang tertidur lemas di kursi panjang.
Tangan Tuan Reno bergetar dan terulur untuk membelai ujung kepala Zarius.
"Apakah sakit, Son?"