webnovel

Menginginkan Masa Damai dan Santai

Untung saja Magdalyn tidak banyak bertanya lagi begitu adiknya sampai di rumah meski diantar oleh Gauzan. Bukannya si kakak tidak mengenal siapa itu Gauzan, tapi tadi kan Giavana berkata kalau dia ke rumah Nada.

Tapi … Magdalyn paham karakter adiknya yang kadang keras kepala dan tak suka terlalu banyak ditanya-tanya. Yang penting sang adik pulang dalam keadaan selamat dan wajah berseri-seri tanda tidak mengalami hal buruk apapun.

Ya sudah, biarkan saja.

Gaivana berjalan gontai ke kamarnya dan merebahkan tubuh dengan senyum di wajahnya. Sudah begitu lama dia tidak bertemu Gauzan, dan ternyata lelaki itu masih saja sama seperti terakhir mereka bersama-sama menghabiskan waktu sebelum dia terbang ke Australia untuk kuliah.

Tapi, ketika teringat akan kakak tersayangnya ternyata bertunangan dengan Gyarendra … senyum di wajah manis Giavana pun lenyap secara cepat.

Bukannya Giavana merasa cemburu karena mantannya dimiliki sang kakak, tapi dia merasa dilempar kembali ke masa kelam dia ketika masih menjadi kekasih pria yang kini hampir berusia 30 tahun.

Dulu, Gyarendra merupakan sosok yang sangat posesif dan gemar mengekang Giavana. Memang tidak melakukan kekerasan fisik, namun ucapan-ucapan tajamnya sering membuat Giavana tak nyaman dan menusuk telinganya kemudian merobek hatinya.

Apakah nantinya sang kakak juga harus menuai perlakuan semacam yang dia pernah dapatkan dari lelaki itu jika sudah menjadi istri?

Membayangkan kakaknya yang rapuh secara fisik dan perasaan, Giavana rasanya ingin menjerit kepada Magdalyn untuk menjauh secepatnya dari Gyarendra.

Sayang sekali Magdalyn sepertinya sudah terbius oleh kharisma dan sikap simpatik Gyarendra yang bagi Giavana hanyalah sebuah kemunafikan saja. Lelaki itu manipulative, kak! Menjauhlah segera! Ughh! Ingin sekali dia menyerukan itu ke kakaknya.

Ohh, dia terlupa bahwa ibunya juga terbius oleh penampilan munafik Gyarendra. Ini juga akan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Giavana untuk menyadarkan sang ibu agar tidak terlalu memandang takjub pada lelaki manipulative itu.

Ahh, sungguh disayangkan jika dua orang tersayangnya itu tertipu penampilan Gyarendra. Giavana tak rela dua orang kesayangannya dimanipulasi sedemikian tinggi.

Tapi bagaimana?

Kacau dengan pikiran ruwetnya sendiri mengenai itu, Giavana malah jatuh tertidur tanpa berganti pakaian.

-0—0—0-

"Met pagi, Kak. Pagi, Ma …." sapa Giavana begitu dia keluar dari kamarnya dan bertemu ibu serta kakaknya di ruang keluarga.

"Ya ampun, anak gadis Mama ini … bisa-bisanya begini siang baru bangun!" Bu Jena hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan putrinya. "Sudah jam berapa ini, Va?"

Giavana hanya meringis tanpa dosa sembari mengacak rambut bangun tidurnya. Bahkan dia sama sekali belum cuci muka dan benar-benar keluar kamar dalam kondisi apa adanya. Jangan lupakan baju semalam yang belum dia ganti.

"Sudah, Ma … sudah, jangan keras begitu ke Vava. Dia kan baru menikmati hari-hari bebasnya setelah sibuk kuliah. Biarkan dia santai dulu." Magdalyn seperti biasa, selalu membela adiknya jika ditegur sang ibu. Ia tersenyum ke Giavana lalu berkata, "Sana lekas makan. Tadi aku dan Mama masak asem-asem daging. Masih hangat."

"Unghh … pasti segar," respon Gaivana sambil senyum lebarnya muncul dan segera saja dia berjalan cepat ke ruang makan untuk menjumpai masakan yang terdengar menggiurkan begitu diucapkan.

Benar saja, di meja sudah tersedia semangkuk asem-asem daging yang terlihat segar menggiurkan beserta kerupuk udang di toples. Sebuah perpaduan sempurna bagi Giavana yang tak pernah makan demikian selama di Australia.

Mungkin sekarang waktunya bagi dia untuk perbaikan gizi.

.

.

"Nah, begitu dong harusnya anak putri Mama," puji Bu Jena ketika melihat Giavana sudah keluar dari kamarnya dalam kondisi bersih dan wangi setelah mandi.

"Aiihh, Mama … jangan berharap aku bisa seperti Kak Lyn, deh! Kak Lyn itu bidadari, susah menyamakan level dengannya!" Lalu Givana terkikik sambil melirik sang kakak yang tersenyum ke arahnya.

"Va, apa kamu sudah memikirkan akan melamar kerja di mana?" tanya Bu Jena, langsung ke topik yang sebenarnya sangat ingin dia bicarakan sejak kemarin.

"Hm, nanti dulu, yah Ma. Aku masih ingin bersantai dulu." Giavana mengelak. Sepertinya dia paham akan dibawa ke mana arah percakapan ini nantinya.

"Jangan terlalu lama santainya, nanti malah tertinggal. Jaman sekarang ini kalau tidak gerak cepat, bakalan menyesal." Bu Jena belum surut untuk menjejalkan pemikiran Beliau ke bungsunya.

"Biarkan dulu Vava santai, Ma." Magdalyn menimpali. "Aku yakin dia hanya butuh bersantai dulu selama beberapa minggu sebelum nantinya dia mencari pekerjaan. Paling lama dia akan bersantai setengah bulan saja, iya kan Va?" Pandangan penuh arti diarahkan ke sang adik.

Segera saja, Giavana menangkap itu sebagai isyarat dari kakaknya bahwa dia hanya diberi waktu selama setengah bulan saja. Sungguh isyarat super halus! Givana ingin merutuk tapi karena itu adalah kakak tersayangnya, mana tega dia!

Jangankan merutuk terang-terangan, mengungkap aib-aib Gyarendra saja dia tak berani!

"Umm, iya Kak … aku akan cari kerja setelah puas santai-santai beberapa hari." Givana memilih untuk berkompromi saja daripada dia dikeroyok nantinya apabila terlalu banyak menolak.

"Pertimbangkan perusahaan calon abang iparmu, Va."

Nah, ini yang Giavana sudah perkirakan akan meluncur dari mulut ibunya. Lagi-lagi dia selalu saja tepat menebak cara berpikir sang ibu.

Menghela napas sebentar, Giavana memberikan sahutan ke ibunya, "Kalau urusan itu, sepertinya aku nggak berminat melamar kerja di sana, Ma. Aku tak mau dibilang memanfaatkan koneksi."

"Kamu ini, Va, jangan terlalu idealis!" Bu Jena menampik ucapan putri bungsunya. "Cari pekerjaan sekarang ini sangat susah. Bahkan banyak yang harus membayar ratusan juta dulu hanya untuk jadi satpam atau pekerja level rendah."

"Nanti akan aku cari yang tak perlu bayar dan tak perlu pakai koneksi apapun, Ma." Giavana memaksakan senyumnya meski hatinya ingin menjerit agar ibunya paham bahwa dia tak mungkin sudi bekerja menjadi karyawan Gyarendra.

Dulu dia mati-matian menghindari lelaki itu sampai berganti-ganti apartemen hingga akhirnya dia bisa tinggal bersama ketiga temannya dan merasa aman dengan mereka tanpa terganggu Gyarendra lagi.

Sekarang, ibunya hendak mendekatkan mereka lagi? No, thank you!

Ting tong!

"Ahh, itu pasti Vigo." Bu Jena segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan, sementara itu Magdalyn masuk ke kamar untuk membenahi dirinya karena sang romeo telah datang.

Giavana juga masuk ke kamar, tapi bukan untuk membenahi diri, melainkan untuk mengurung diri di sana saja. Baginya, kamar merupakan tempat perlindungan teraman di rumah ini.

Hingga kemudian, tak berapa lama, Magdalyn sudah membuka pintu kamar adiknya dan berkata, "Yuk, ikut kakak jalan-jalan."

"Hah?" Giavana tidak siap. Sama sekali tak siap dengan ajakan mendadak ini. Wajahnya menyiratkan itu semua.

"Kakak ingin belanja ditemani adik Kakak ini, yah! Buruan ganti bajumu, Kakak tunggu di depan." Lalu Magdalyn menutup pintu, meninggalkan Giavana yang melongo.

Sebuah paksaan tersamar?

Haruskah dia mengiyakan?