webnovel

Zeana (Tolong Lepaskan)

*

"Aku selalu berharap untuk lepas dari Zeana. Aku tidak ingin di bully lagi, itu membuatku depresi."

*

Singkat cerita, kini aku sudah masuk SMP. Ceritanya singkat saja, bahwa aku berhasil lepas dari Zeana. Itu artinya aku tidak di bully lagi. Beberapa hari ini sekolahku baik-baik saja. Sampai, ada anak baru di kelasku. Awalnya aku bahagia sebelum aku tahu bahwa anak baru itu adalah Zeana.

Mataku terbelalak karena terkejut melihat orang yang aku hindari ternyata malah satu kelas kembali, apakah Zeana tidak bisa pergi dari hidupku?

"Namaku Zeana, aku baru sekolah di SMP Cahaya, dan pindah kemari ke SMP Purnandian." ujar Zeana dengan senyum pura-puranya.

Zeana duduk di bangku tepat di depanku, dia menjulurkan lidah kepadaku.

"Hallo Senja, kita bertemu kembali. Apakah kamu senang?"

"Zeana?"

"Ya, ini aku. Orang yang sangat kamu rindukan." ujar Zeana.

Setahuku Zeana memutuskan untuk sekolah ke Bandung, ikut bersama dengan ibunya. Tapi kenapa dia bisa ada di Jakarta dan sekolah di tempat yang sama denganku.

"Senja, selamat bermain kembali denganku." bisik Zeana.

Tubuhku jadi menggigil, kelu rasanya. Bagaimana bisa kami bertemu kembali, artinya Zeana akan terus mengganggu hidupku.

"Bu, boleh izin ke toilet?" tanyaku.

"Silahkan."

Aku pergi dari kelas menuju toilet, sepertinya aku membutuhkan ketenangan diri.

"Senja, apakah kamu masih lama di dalam sana!" teriak Zeana dari luar.

"Aku kunci ya!"

Aku bernapas dengan tersengal-sengal, takut sekali bahwa Zeana akan melakukan hal yang lebih kriminal lagi.

"Kamu tahu aku sengaja pindah ke sekolah ini, itu semua karena ada kamu di sini. Aku rindu bermain perminan denganmu. Oh dan Cian, bagaimana dia sekarang? Terakhir dia berani menentangku bukan?"

"Zeana, jangan hina aku lagi!"

"Bodoh!" teriak Zeana dari luar.

Panggilan itu sudah menggema di telingaku dengan lama, dan kini aku mendengar nya kembali.

"Bodoh, sehabis dari toilet kamu belikan aku makanan dan minuman. Jangan sampai tidak!"

Aku tidak menjawab saking takutnya, hanya bisa menggesekkan tangan agar aku lebih tenang.

Suara Zeana tidak terdengar lag, aku berjanji tidak akan memberikan apa yang dia minta barusan.

***

"Zeana, ini yang kamu minta." ujarku pada Zeana yang tengah mengobrol dengan teman-temannya.

"Kamu tidak mau menyapa Selina dan Celia yang juga pindah ke sini. Aku sekelas dengan mereka dan dirimu, yey!" ujar Zeana.

Mataku langsung terbelalan. Makanan yang aku bawa  pun langsung tumpah, bahkan mangkuk itu juga pecah menjadi beberapa serpihan.

"Kenapa kamu memecehkannya? Apakah kamu juga merasa bahagia?" tanya Zeana dengan tatapan nanar.

"Apa kamu serius?" tanyaku.

Zeana mengangguk, dia bahkan mengacak rambutku."Bukankah menyenangkan bertemu dengan kami lagi?"

Aku berlari, rasanya aku tidak bisa menerima kebenaran ini. Bagaimana juga aku tidak mau terus menerus di hina oleh mereka, pembullyan membuatku jadi seorang yang pendiam.

Langkahku berakhir di anak tangga menunu rooftop. Mungkin di tempat tingga itu aku bisa lebih tenang.

Sesampainya aku disana, ternyata bukan hanya aku saja yang ingin ketenangan.

"Hallo, apakah aku bisa di sini juga?" tanyaku pada anak lelaki yang usia nya lebih tua dariku.

Dia menoleh kearahku dengan tatapan datarnya, dan aku juga baru teringat akan seseorang yang mempunyai tatapan seperti itu.

"Kak Bumi kan?" tanyaku.

Tatapan dingin itu membenarkan bahwa orang itu benarkah Bumi yang aku kenal.

"Siapa ya?"

"Senja, aku Senja temannya Cian."

Hanya mengangguk dan menatap kembali kearah langit.

"Cian kapan pulangnya kak?" tanyaku pada Bumi. Karena Cian memutuskan izin selama dua hari untuk pergi ke Bandung.

Tidak ada balasan dari Bumi, dia malah memejamkan matanya ketika sinar matahari mengenai wajah nya.

Respect tanganku menghalangi pantulan sinar matahari itu, hingga dia membuka matanya dan menoleh kearahku.

"Kenapa kamu kesini?" tanya dia.

"Aku hanya sedang sedih kak, ada seseorang yang terus saja mengejarku seperti mangsa." ujarku dengan mimik wajah sedih.

"Mantan?" tanya Bumi.

"Apa itu mantan?" tanyaku balik.

Bumi menghela napasnya. Bukankah tidak apa bertanya jika kamu tidak tahu? Aku benar-benar itu tahu apa yang di tanyakan oleh Bumi jadi aku bertanya apa itu.

"Mantan pacar Senja!"

"Oh, aku tidak punya."

"Lalu apa?"

"Tiga orang gadis, mereka selalu menghinaku. Jadi aku tidak nyaman jika ada mereka, awalya mereka tidak bersekolah di sini. Dan tadi ada pengumuman bahwa ada anak baru. Ternyata itu mereka."

"Kalau begitu kamu yang pindah."

"Kak Bumi ngomongnya enak banget, pindah sekolah itu tidak mudah." ujarku.

Bumi terlihat tidak acuh kembali. Orang itu memang memiliki karakter seperti patung, berbicara hanya ketika dia mau saja. Pantas saja Cian selalu kesal dengan Bumi, orang dia seperti itu.

"Kak Bumi kayak patung deh!" ujarku.

"Batu? Apa wajahmu yang seperti itu?"

"Kak Bumi kenapa pendiam sekali? Sedang ada masalah ya?" tanyaku, hanya menebak saja.

"Tidak."

"Eh, kak Bumi kelas sembilankan? Wah sebentar lagi sudah mau SMA. Pasti enak karena tumbuh dewasa." ujarku dengan wajah bahagia.

Namun Bumi menggelang."Bertambah dewasa itu tidak enak Senja. Kalau kamu sudah dewasa mungkin kamu akan berharap untuk kembali menjadi anak kecil lagi."

"Memangnya kenapa?"

"Karena jadi dewasa itu tidak enak Senja, kamu harus melangkah dengan matang. Kalau pun gagal, kamu harus bangkit sendiri. Bukan seperti dulu, kalau jatuh kamu di pangku."

"Aku tidak di pangku, nangis juga tidak. Aku kuatkan?"

"Kuatmu sekarang akan hilang ketika tingkatanmu lebih tinggi. Jadi jangan memikirkan untuk segera dewasa, hal itu akan membuatmu kecewa."

Bumi menoleh kearahku yang belum paham juga."Kamu tidak paham?"

Aku menggeleng."Tidak, boleh di ulang lagi?"

"Senja, kamu memang sangat lemot!"

"Maaf itulah kekuranganku."

Bumi melihat kearah jam di tangannya, dia berpamitan padaku dan pergi ke kelasnya.

"Kenapa kak Bumi dingin sekali?" tanyaku karena wajahnya itu tidak tersenyum sama sekali.

Karena waktu sudah hampir pulang, aku kembali ke kelas untuk mengambil tas ransel. Di kelas, aku melihat tiga orang yang aku takuti.

"Kenapa wajahmu seperti itu Senja?" tanya Zeana.

"Ak-"

"Aku pulang." ujarku mengambil tas ransel lalu pergi berlari begitu saja.

Biarlah aku pulang, karena aku juga sudah meminta izin kepada guru. Tubuhku seperti lemah, rasanya aku tidak bisa menopang tubuh hingga aku pingsan.

Dari kejauhan aku melihat ada seseorang yang berlari kearahku. Dia menggendongku dalam pelukan nya, wangi parfum yang tidak asing di hidungn nya.

Ketika aku sadar, aku hanya melihat sebuah ruangan dengan nuansa berwarna putih.

"Ini dimana?" tanyaku bergumam. Aku hendak bangkit, tapi ternyata ada seseorang yang tidur di sampingku.

Aku melihat siapa dia, ternyata dia adalah Bumi. Meskipun aku melihatnya dengan samar karena tidak memakai kacamata, namun aku bisa menebak bahwa itu Bumi.

"Kak Bumi." panggilku.

Tubuhnya menggeliat, dia menoleh kearahku yang menatapnya."Kenapa Senja?"

"Aku ingin bertanya dimana kacamataku? Apakah kamu benar kak Bumi kan?" tanyaku.

"Iya, aku Bumi."