webnovel

Tumbuh (Aku Ingin Dewasa)

"Impianku saat ini adalah menjadi dewasa, itu sangat menyenangkan!"

Aku berjalan menuruni  anak tangga untuk menuju ke lantai bawah tepat dimana Bi Imas tengah membersihkan meja makan.

"Bi ada siapa yang datang?" tanyaku.

Bi Imas tersenyum kearahku, tapi tidak lama dia mengatakan."Teman-teman Mama, Non."

"Kok kesini Bi, memangnya Mama pulang?"

"Waktu Non Senja tidur, Mama pulang dengan teman-temannya katanya sih rapat disini." ujar Bi Imas.

"Oh gitu Bi."

"Iya Non."

Aku sedikit kecewa karena Mama pulang bersama dengan temannya, tapi dia tidak menemuiku. Padahal dia tahu beratap rindunya aku kepadanya, apa Mama tidak peduli padaku?

Mama juga tidak tahu, bahwa selama ini anak sulungnya ini selalu saja di bully oleh teman-teman sekolah. Dari SD sampai sekarang, dan aku harap saat aku SMA aku tidak di bully lagi. Aku ingin hidupku sesuai dengan apa yang aku mau. Tidak mau di suruh oleh orang lain dengan kasar, atau pun menjadi budak siapa pun.

Mungkin kalau aku SMA hal seperti ini tidak akan terjadi kepadaku. Aku ingin tumbuh dewasa sekarang, mencari jati diriku. Lalu jika aku dewasa aku bisa mengunjungi Mama atau Papa semauku.

"Non Senja masih di sini?" tanya Bi Imas.

"Eh, iya Bi. Aku mau meminta izin untuk pergi bermain dengan Cian." ujarku meminta izin kepada Bi Imas yang tengah membereskan meja makan.

"Boleh, tapi jangan pulangnya sore ya."

"Iya Bi."

Aku yang sudah sering ke rumah Cian dan dekat dengan keluarganya merasa biasa saja, meskipun begitu aku tetap harus sopan.

"CIAN!!"

"CIAN, INI SENJA!" teriak ku dengan keras, namun pintu rumah Cian belum juga terbuka.

"CIAN!"

Dan tidak lama ada yang menyahut panggilanku.

"SENJA MASUK SAJA!" ujar Bumi yang membuka jendela kamarnya.

"KAK BUMI SENJA ADA DIMANA?!" tanyaku yang berteriak.

"DI TAMAN BELAKANG!"

"BAIK AKU MASUK!"

Karena Bumi menyuruhku untuk masuk, maka aku masuk kedalam sambil mengucapkan salam.

Di ruang tamu tidak ada siapa pun. Aku yang sudah tahu bahwa Cian ada di taman belakang, maka dengan segera aku menuju kesana.

"CIAN!" teriak ku ketika aku melihatnya duduk di kursi di taman, tengah bermain dengan kelinci kesayangan nya.

"SENJA!" teriak Cian menghampiriku dengan kelinci berwarna putih yang dia peluk.

"Kenapa kamu tidak menjawabku? Aku berteriak memanggil namamu dari tadi. Untungnya ada kak Bumi yang memintaku untuk masuk saja." ujar ku menggerutu.

"Iya aku sedang memberi makan Kimo, kamu sudah makan?"

"Belum, aku tidak bisa makan karena tidak berselera. Aku sedang kesal dengan Mamaku, dia pulang tapi hanya makan bersama temannya di rumah. Sedangkan aku tidak di perhatikan!" kesalku yang kemudian duduk di samping Cian.

"Sudah, sekarang makan di sini saja. Mama membuat makanan enak tahu!"

"Apa? Goreng tempe?"

"Sembarangan kamu. Bukanlah!"

"Lalu apa?"

"Goreng ayam spesial, dengan sambal yang akan membuatmu ketagigah." ujar Cian menggodaku.

"Wah, sepertinya aku mau!"

"Mari!"

"Kak Bumi sudah makan belum?" tanyaku.

"Sudah, jadi kamu bisa menghabiskan yang ini. Kalau untuk Papa sudah di sediakan." ujar Cian membuka penutup lauk yang berada di atas meja makan.

"WAH CIAN!" teriakku kegirangan.

"Benar bukan?" tanya Cian yang tidak kalah berbinar.

"Ada apa dengan kalian?" tanya Bumi yang baru saja menuruni anak tangga.

Kami menggeleng sambil tersenyum, sedangkan Bumi hanya menggeleng.

"Kenapa kamu tidak memakannya?" tanya Cian.

"Bagaimana aku bisa makan kalau kamu tidak memberikan piring padaku!" ujar Senja.

"Maaf, hehehe..."

"Aku tidak melihat Mama mu, sedang kemana?" tanyaku.

"Membeli bahan masakan untuk nanti sore, kamu mau menginap sore ini?" tanya Cian saat aku sedang menyerok nasi.

"Tidak, Bi Imas akan marah kepadaku!"

"Aku yang akan meminta izin, bagaimana?"

"Oke!"

Setelah aku makan, Cian membawaku bermain di luar. Ternyata di luar sudah ada teman nya Bumi yang melambaikan tagan kearah kami.

Cian hendak menghampirinya, tapi aku mencekal tangan Cian agar tidak menghampiri mereka.

"Kenapa Senja?" tanya Cian.

Aku menggeleng."Jangan Cian, kamu tidak tahukan mereka itu orang yang bagaimana?"

"Dia temannya kak Bumi, waktu minggu juga mereka bermain kemari. Kak Bumi kan sudah kelas satu SMA." ujar Cian.

"Lihat muka mereka Cian, manakutkan." ujarku.

Bumi yang melihat aku ketakutan menghampiri kami untuk bertanya."Kenapa kalian tidak mau kesana, teman-temanku memanggil."

"Aku takut kak." ujarku.

Sedangkan Cian nampak biasa saja."Senja, tidak apa-apa. Mereka baik."

Bumi mengangguk."Kalau mereka macem-macam, aku akan pastikan bahwa mereka akan mendapatkan ganjarannya.

Aku mengangguk saja, menurut selama Bumi dan Cian ada di sampingku. Mungkin semua itu hanyalah firasatku.

"Hallo kakak-kakak!" ujar Cian dengan ceria. Sedangkan aku hanya bisa bersembunyi di balik tubuh Cian.

"Dia siapa yang bersembunyi di balik tubuhmu?" tanya salah satu teman Bumi.

"Dia sahabat adikku, Senja namanya."

Aku di suruh untuk berkenalan oleh Cian."Ha-i kak, ak-u Senja.." ujarku dengan kaku.

Teman-teman Bumi menertawakanku, aku tahu bahwa aku hina di hadapa mereka. Aku juga memakai kacamata dan berpenampilan seperti anak kecil.

"Dia lucu sekali Bumi!" ujar salah satu teman kak Bumi.

Aku yang menunduk langsung menongak dan menatap manik mata orang itu."Dia memujiku?" tanyaku dalam hati.

"Terimakasih." ujarku sambil membenarkan kacamataku.

Bumi terlihat tidak senang jika aku du puji seperti itu, apakah da tidak suka aku di sebut seperti itu? Harusnya mimik wajah Bumi senang bukan?

"Kamu kelas berapa? Sama dengan Cian?"

"Iya kak."

"Wah baiklah, untungnya kita satu sekolahan ya? Jadi bisa bertemu setiao hari!" ujar teman Bumi yang memiliki paras tampan.

Sekolah kami memang sama karena di sekolah itu kami disatukan, maksudnya seperti SMP dan SMA nya ada di sekolah yang sama. Bahkan sekolahnya sangat luas sekali, fasilitasnya juga memedai sekali meskipun di satukan. Tidak ada yang kurang satu pun.

Aku tersipu malu, ternyata mereka semua menyukaiku malah memujiku dengan sebegitunya. Padahal kalian sendiri juga tau bahwa aku sangatlah jelek.

"Mari kita pergi ke lapangan!" ujar mereka yang membawa bola basket. Aku hanya ikut saja karena Cian juga mengikuti mereka.

"Cian, apakah kamu ingin tumbuh dewasa?" tanya ku pada Cian.

Tentu saja Cian mengangguk dengan cepat."Aku juga mau!"

"Apa yang kamu harapkan dari tumbuh dewasa itu Cian?"

"Aku ingin menjadi seorang dokter yang hebat, aku tidak sabar!" ujar Cian.

Aku tersenyum."Kalau kamu Senja?" tanya Cian.

"Aku ingin mengelilingi dunia, sepertinya akan sangat menyenangkan!" ujarku.

"Aku harus ikut denganmu juga Senja!"

"Tentu!"

Kami tertawa, membayangkan masa depan yang indah. Di sepanjang perjalanan ke lapang basket pun kami terus membicarakan masa depan. Karena sepertinya setelah dewasa kami bisa mendapatkan apa yang kami mau, bukan sebagai anak kecil yang sulit melakukan apa yang diinginkan.

"Kenapa mereka membicarakan masa depan?" tanya teman Bumi yang bernama Rendi.

"Entahlah."

"Padahal mereka tidak tahu betapa beratnya tumbuh dewasa."

"KITA HARUS CEPAT DEWASA!" teriak kami berdua dengan lantang.