webnovel

Takut (Zeana Marah)

*

"Aku harus apa? Diam salah, bergerak pun aku takut kepada nya."

*

"Zeana Almera, ikut Bapak ke ruang BK!" ujar salah satu guru dengan tiba-tiba.

Hal itu membuatku ketakutan. Aku kebingungan, apakah ini semua karena Bumi yang sudah mengatakan semuanya kepada kepala sekolah. Lalu aku harus apa sekarang?

Tanganku bergetar, bahkan pensil yang aku genggam tiba-tiba terjatuh. Namun, ketika aku hendak mengambilnya tanganku di tahan oleh kaki seseorang yang aku tahu bahwa dia adalah teman Zeana.

"Bisakah kamu melepaskan tanganku?" tanyaku dengan lembut.

Bukannya melepaskan tanganku, dia malah menginjaknya lebih keras hingga aku meringis.

"Sa-kit!"

"Ada apa denganmu Senja?" tanya Bu guru.

Aku hanya bisa terdiam, sedangkan dia tertawa dengan puas. Kalau tidak salah namanya Yura.

Sekarang ini aku sudah seperti anak tiri saja di kelas. Kalau aku jalan mereka menyenggolku dengan sengaja dan marah seolah aku yang salah.

Banyak sekali kejadian-kejadian yang membuatku muak untuk tetap sekolah di sana. Tapi mau bagaimana lagi? Bukankah aku kuat? Aku harus menahan semuanya!

Pada jam pelajaran terakhir. Aku melihat Zeana baru saja kembali ke kelas dengan wajah di tekuk.

"Senja, apa yang kamu lihat?" tanya Cian.

Aku menggeleng karena tidak mau membuat Cian cemas.

"Apakah kamu tidak punya PR Cian?" tanyaku, lalu mimik wajahnya berubah ketika mendengar kata PR.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu jangan mengingatkan ku Senja, aku tidak nau mengerjakan nya." ujar Cian malas-malasan.

"Segeralah!"

"Baiklah."

Cian akhirnya mau menurut padaku, dia kembali ke kelasnya untuk mengerjakan PR yang belum dia kerjakan. Meskipun hal ini tidak baik untuk di contoh.

Sedangkan aku, kini berjalan kembali ke kelas.

"SENJA!" teriak Zeana dengan amarahnya yang memuncak.

Aku menoleh kearah suara yang memanggilku. Belum saja aku melihat orang itu, rambutku sudah di tarik dengan brutal.

"Sakit!" aku kesakitan, tapi orang itu malah menarikku di sepanjang koridor sekolah.

Yang membuatku takut adalah, dia membawa sebuah pisau kecil di tangan nya.

Sekilas aku melihat orang itu, dia adalah Zeana. Sekarang apa lagi yang akan dia lakukan?

"Zeana hentikan!"

"Apa Senja!"

"Aku akan di keluarkan dari sekolah karena kamu!" ujar Zeana.

Aku tidak berani lagi bertanya apa-apa pada Zeana. Hanya bisa menahan rasa sakit dan maluku karena semua mata tertuju kepadaku.

"ZEANA!" teriak ku.

"APA SENJA?!"

Zeana melemparku ke arah lapangan, dia menarik rambutku lalu memotongnya dengan pisau kecil itu. Aku hanya bisa menangis melihat pisau itu, bagaimana kalau pisau itu sampai mengenai wajahku.

"Zeana!"

"Diam Senja!" peringat Zeana.

Aku diam, dia terus saja memotong rambutku dengan tidak rapih. Ada yang terlalu panjang dan pendek, tidak sama.

Sampai akhirnya satpam dan kepala sekolah menenangkan Zeana. Ternyata kepala sekolah sudah memanggil rumah sakit jiwa untuk Zeana.

Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, tepat di depan mataku Zeana di bawa oleh dua orang yang memakai baju seragam berwarna putih. Dia bahkan memaksa Zeana untuk ikut masuk kedalam mobil yang senada dengan bajunya.

Bumi menghampiriku, dia menenangkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi kejadian tadi tidak bisa aku lupakan, apalagi ketika melihat Zeana berteriak meminta di lepaskan. Bahkan dia juga mengutukku bahwa dia akan balas dendam.

Aku ketakutan, menggigil."Senja, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Bumi yang memeluk ku.

Aku menggeleng, akhirnya aku di bawa ke rumah sakit untuk di periksa. Mungkin mereka takut terjadi apa-apa denganku.

Inilah yang aku takutkan. Lebih baik aku diam, dari pada bergerak yang membuatku ketakutan. Apakah sepanjang hidup aku akan terus terbayang akan kejadian itu? Aku takut.

Meskipun aku sudah di temani oleh banyak orang. Bayangan Zeana selalu melekat di pikiranku, terbayang-bayang.

"Senja, apa kamu baik-baik saja?"

Kenapa semua orang bertanya itu? Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Meskipun aku tidak terluka, tapi mentalku yang terluka. Aku ketakutan, bisakah seseorang jangan bertanya tapi mencoba untuk mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Dalam keadaanku yang seperti ini pun kedua orangtua ku tidak ada. Hanya ada Papa Bumi -yaitu Pak dokter.

"Bagaimana keadaamu Senja? Tenanglah semuanya berakhir sampai di sini. Kamu sudah tidak apa-apa, tenang semuanya baik-baik saja Senja." ujar Pak dokter.

Aku yang tadinya menunduk ketakutan, menongak dan menatap manik mata Pak dokter dengan lekat.

Rasanya tenang sekali ketika melihat matanya yang berwarna biru langit itu. Seperti ada langit di dalam mata Pak dokter, itu yang aku lihat.

"Kenapa Zeana di bawa ke rumah sakit jiwa?" tanyaku dengan polos.

Pak dokter menjelaskan semuanya padaku sampai aku paham apa yang dia katakan. Aku sekarang mengerti, Zeana ternyata mempunyai penyakit mental yang serius. Sekarang aku bisa lebih tenang karena Zeana sudah tidak ada, dan aku juga mendoakan agar dia bisa membaik.

***

Aku akhirnya pulang ke rumah. Bahkan kejadian di sekolah tidak aku ceritakan kepada siapa pun. Mungkin kepala sekolah hanya menelpon kedua orangtuaku saja.

"Non, kok pulangnya sore banget?" tanya Bi Imas.

Aku sudah meminta Pak dokter agar tidak mengatakan apa-apa kepada Bi Imas karena aku tidak mau membuatnya khawatir.

"Tidak, dia hanya main bersama dengan Cian dan Bumi." ujar Pak dokter.

Aku mengelus dada, tenang kalau Pak dokter tidak mengatakan yang sebenarnya. Tidak lama aku melihat ada mobil terparkir di depan.

Sungguh terkejut aku melihat Mama pulang, tapi sepertinya bukan. Sepertinya hanya ada barang yang tertinggal.

"Mama!" ujarku dengan bahagia.

Namun, Mama tidak menoleh sama sekali kepadaku. Hanya sibuk menelpon dan menyuruh Senja untuk menyingkir dari jalan.

Padahal Pak dokter masih ada di sana, dia juga terkejut melihat sikap Mama yang seperti itu.

"Pak dokter, maaf ya kalau Mama aku gitu." ujarku karena aku takut Pak dokter merasa bahwa Mama ku tidak sopan.

"Tidak apa-apa, Mama kamu mungkin sedang sibuk, yakan?" ujar Pak dokter dengan lembut.

Aku mengangguk. Pak dokter berpamitan untuk pulang setelah mengantarku.

"Mama, tadi ada Pak dokter yang selalu bantuin aku loh!" ujarku dengan senang.

"Iya." jawab Mama dengan singkat.

"Mama..."

"Apa Senja!" tanya Mama membentak ku.

Aku terkejut dengan sikap Mama yang kasar kepadaku. Padahal aku hanya ingin mengatakan itu, apa Mama tidak ada waktu untuk mendengarkan anak nya bercerita?

Lebih parahnya lagi, kedua orangtuaku tidak tahu apa yang baru saja aku alami. Apa mereka tidak khawatir kepada anaknya ini.

"Bi, apa Mama akan kembali ke kantor lagi?" tanyaku.

"Iya Non. Non Senja kan tahu kalau Mama sama Papa sibuk kerja." ujar Bi Imas.

Anggukanku bukanlah yang sebenarnya, kalau di tanya kedalam hati mungkin aku menggeleng dengan serius. Pertanyaan nya sekarang adalah, mau sampai kapan? Sudah, aku menginginkan kehadiran kedua orangtuaku.

"Non, ayo ke kamar." ajak Bi Imas, mungkin agar aku tidak melihat Mama yang terus saja menelpon.