*
"Kesalah pahaman hampir membuat kami terpecah, tapi kami tetaplah sahabat yang saling mengerti."
*
Cian bangkit dari duduknya setelah Bumi membentaknya dengan cukup keras.
"Kenapa harus marah sih kak? Tidak ada yang salah!" ujar Cian pada Bumi.
Bumi menatap Cian dengan nanar, menggenggam pergelangan tangan adiknya,"Kakak peringatin sama kamu ya, kamu enggak boleh bilang kayak gitu lagi sama Devi."
"Bumi, aku tidak mas-"
"Diam Dev, dia sudah keterlaluan. Tolong jangan bela dia seperti itu, kamu terlalu baik jika harus membiarkan nya begitu." ujar Bumi yang malah berkata seperti itu.
"Kakak keterlaluan, aku tahu bahwa kamu terpengaruhi oleh dia!" teriak Cian.
"Cian! Jaga ucapan mu itu. Tidak sepantasnya kamu berkata seperti ini, siapa yang sudah mengajarimu untuk tidak sopan?!" bentak Bumi kembali.
Cian terdiam, kesal pada Bumi yang tidak peduli terhadapnya.
"Kak, memangnya apa salah Cian?" tanyaku yang terdiam.
"Senja, jangan membela dia. Apa yang sudah dia lakukan sangat salah, jangan mentang-mentang kalian sahabat." ujar Bumi yang malah menatapku dengan tajam.
Aku juga heran kenapa Bumi bisa seperti itu pada Cian, apa yang Cian katakan memang benar.
"Tapi yang Cian katakan memang benar kak," ujarku.
"Dia punya kaki, dan keduanya bisa bergerak bukan? Kenapa harus kakak yang mengantarnya?" tanyaku kembali.
Bumi sudah geram, dia melepaskan Cian lalu pergi mengantar Devi ke luar.
Di luar Bumi meminta maaf pada Devi karena adik dan sahabatnya. Bukannya marah, Devi hanya tertawa karena respon Bumi terlalu berlebihan. Mungkin saja mereka berdua salah paham pada Devi, karena sepertinya mereka berpikir bahwa Bumi akan mengantar Devi pulang sampai rumah. Tapi sebenarnya hanya di luar saja.
"Maaf ya Dev, karena mereka kamu jadi tidak nyaman," ujar Bumi pada Devi.
Devi tersenyum,"Tidak masalah Bumi, aku tahu bahwa mereka salah paham kepadaku."
"Iya, sepertinya begitu. Tapi kamu tahu, bahwa mereka berdua lucu. Bisa saling membela satu sama lain, aku kagum dengan persahabatan mereka."
"Iya persahabatan mereka memang mengangumkan, tapi disaat seperti itu aku rasa mereka salah karena tidak sopan. Jika tidak paham kenapa tidak bertanyakan?" tanya Bumi.
"Sudahlah, kalau begitu aku pamit dulu. Nanti aku kabarkan lagi soal pembahasan."
"Baik, selamat tinggal."
Setelah itu Bumi kembali kedalam, memeriksa dua sahabat yang saling membela itu.
"Kenapa?" tanya Bumi ketika melihat Cian dan aku tertunduk.
"Maaf kak." ujar mereka secara bersamaan.
"Karena?"
"Kesalah pahaman." ujar mereka berdua.
Bumi tersenyum, karena rupanya mereka berdua menguping percakapan antara Devi dan dirinya.
"Sudah merasa bersalah?" tanya Bumi, dan kami berdua mengangguk.
"Sudah, jangan di bahas lagi. Kakak hanya tidak ingin kalian tidak sopan. Bagaimana juga Devi adalah temanku, kakak kelas kalian."
"Iya kak maaf," ujar Cian menunduk.
"Sudah, maaf juga kakak sudah kasar kepada kalian. Terutama Cian, maafkan kakak ya," ujar Bumi.
"Baik kak, aku juga."
Semuanya kembali berbaikan, tersenyum karena sudah berhasil membuat Bumi marah.
"Kak, aku mendapatkan pesan bahwa kita harus pulang. Lalu bagaimana dengan Senja?" tanya Cian ketika melihat aku yang terdiam saja, di ruangan juga tidak ada orang yang menemani kecuali mereka berdua.
"Tapi aku juga di minta pulang, katanya kita harus berangkat ke Bandung."
"Lalu bagaimana kak?" tanya Cian.
"Kalian akan ke Bandung?"
"Sepertinya begitu, kami harus segera pergi." ujar Bumi.
"Kalian akan menginap?"
"Sepertinya, kami juga tidak tahu karena Mama hanya mengabari itu. Nenek sakit, jadi kami harus mengunjunginya." ujar Bumi.
"Tapi aku sepertinya tidak, ada ulangan yang penting besok." ujar Bumi.
Cian tersenyum,"Kalau begitu kakak yang jagain Senja aja."
"Iya kakak pasti bakalan kembali lagi, tapi kakak pulang untuk meminta izin pada Mama,"ujar Bumi.
"Baik."
Aku yang merasa tidak enak, selalu saja menggeleng dan berkata tidak. Namun mereka selalu memaksaku, katanya agar aku tidak bosan. Bukankah terlalu berbahaya jika bersama dengan Bumi, nanti jantungku jadi tidak aman.
"Kenapa Senja?" tanya Cian padaku.
Aku segera sadar dari lamunan, lalu menggeleng cepat."Tidak!"
"Baiklah kalau begitu. Selama kamu di sini jaga diri kamu Senja jangan sampai seperti ini lagi karena Zeana. Kamu punya hak untuk membela, jadi jangan biarkan kamu tertindas seperti ini," ujar Cian.
Aku tersenyum,"Terimakasih atas perhatian kalian, aku akan berusaha untuk menjaga diriku."
Mereka berdua berpelukan, erat sekali sampai Bumi merasa terharu.
"Baik, pelukannya sudah kan? Saatnya kita pergi Cian."
Mereka berdua pergi, meninggalkan aku sendiri di ruang yang sepi dan terturup ini. Hanya ada TV yang bisa aku tonton disini, jadi aku menyalakannya.
Aku terus menunggu kedatangan Bi Imas, karena sepertinya dia pergi untuk membawakan sesuatu.
"Non, dimana Bumi dan Cian?" tanya Bi Imas yang baru saja datang, melihatku hanya sendirian di ruang itu.
"Pulang Bi, mereka harus pergi ke Bandung. Bibi dari mana?" tanyaku karena Bi Imas tesngah membawa bingkisan.
"Ini dari Mama, katanya kue untuk Non Senja supaya lebih baikan."
Aku antusias sekali, baru pertama kalinya Mama memberikan kue kepadaku karena sebelumnya Mama tidak pernah membelikan kue apapun itu bahkan disaat hari ulang tahunku.
"Bi, kue apa?" tanyaku bahagia.
Ketika Bi Imas membukanya, aku menalan saliva. Bukan karena aku suka, tapi karena aku tidak menyukainya. Aku tidak suka keju, bahkan dalam kue itu bertabur banyak keju. Itu adalah kue keju, bukan kue cokelat kesukaanku.
"Non Senja kan alergi keju?" tanya Bi Imas yang mungkin baru sadar.
Bi Imas menatapku, karena aku takut dia khawatir maka aku memilih untuk terdenyum.
"Bagaimana kalau kita bagikan, pada anak-anak yang berada disini?" tanyaku.
Bi Imas setuju, karena dia tahu bahwa aku tidak akan memakannya sedikit pun. Kalau aku memakannya bisa-bisa aku ruam.
Kue yang Mamaku beli sudah habis di bagikan, tapi rasanya aku bahagia melihat mereka yang memakannya tersenyum bahagia karena mungkin mereka merasa senang.
"Kak, terimakasih kuenya. Ini enak sekali!" ujar salah satu anak perempuan yang menghampiriku.
"Sama-sama, aku senang melihat kalian senang."
Aku kembali ke ruanganku, berbaring sambil menatap langit-langit.
"Bagaimana kalau aku membagikan kue seperti ini di setiap hari selasa?" gumamku, entahlah aku kecanduan dengan senyum mereka yang senang.
"Memangnya apa yang ingin kamu bagikan di hari selasa?" tanya Bumi yang menghampiriku.
Aku hanya terdiam, karena tidak mau Bumi tahu bahwa aku baru saja keluar dari ruangan. Tapi aku menyisakan kue untuk Bumi.
"Kak, aku punya kue. Ambil di atas nakas itu, Mama yang membelikannya untukku."
Bumi tersenyum,"Kamu sudah makan?"
Aku mengangguk pelan, tapi mataku seperti kikuk."Baik, aku makan."
Bumi membukanya, kemudian dia menatap kearahku."Kue keju? Kamu kan alergi terhadap keju."
Aku menelan salivaku, bahkan Bumi tahu bahwa aku alergi keju dan tidak suka dengan keju. Tapi ibuku sendiri tidak mengetahuinya, itu karena dia tidak peduli terhadapku.
"Iya, tapi aku membagikannya." ujarku sambil tersenyum.