*
"Aku menyapa dengan senyuman, namun wajahnya sangat datar. Dasar batu hidup!"
*
"Hallo, aku Senja. Heyyyy!!"
Aku sudah mencoba untuk menyapanya, bahkan aku juga berusaha membuka bantal yang menutup wajahnya.
"Aku pernah liat di film, kalau kelamaan di dalam bantal nanti kamu sesak napas terus meninggal deh, emang kamu mau?" tanyaku.
Dan setelah aku mengatakan kalimat itu, dia membuka bantal itu. Wajahnya sangat tampan, tapi sayangnya tidak ada senyum sedikit pun. Tatapan matanya sangat tajam, seakan punya denda kepadaku.
"Wah, Pak dokter. Matanya seperti elang, apa dia akan memburuku?" tanyaku kearah Pak dokter.
Pak dokter tertawa mendengar itu, dia menghampiri kami."Namanya Bumi, kamu bisa mulai berteman dengan dia."
"Apa dia tidak bisa berbicara?" tanyaku dengan polos.
"Bisa kok sayang, tapi dia memang jarang berbicara kepada orang lain. Jadi mohon di maklum ya."
"Iya, Pak dokter."
Aku menatap matanya dengan lekat, indah sekali tapi sayang terlalu dingin. "Kenapa kamu diam saja?" tanyaku.
"Bisakah kamu pergi?" tanya dia. Bahkan kalimat pertama yang dia ucapkan sangatlah tajam.
"Bolehkah aku meminjam pisau?"
"Untuk apa Senja?"
"Aku ingin memotong lidahnya yang tajam itu."
Pak dokter tertawa, sedangkan Bi Imas menyuruhku untuk meminta maaf karena sudah melakukan kesalahan. Padahal bukan aku, melainkan dia.
"Bi, kenapa harus aku yang minta maaf?" tanyaku, tapi Bi Imas masih bersikeras agar aku meminta maaf segera.
"Bukan aku yang salah Bi, tapi dia yang mengusirku!"
Bi Imas menghampiriku dan membisikkan sesuatu. Akhirnya dengan terpaksa aku meminta maaf kepada anak lelaki bernama Bumi itu.
"Dah Bumi, maaf ya soal yang tadi." ujarku.
Pak dokter hanya tertawa saja melihat tingkahku, biasanya aku tidak seperti itu. Tapi kali ini aku bersikap seperti itu karena Bumi yang tidak mau mengobrol sama sekali. Bukankah menyebalkan?
Bi Imas pamit kepada Pak dokter, dan aku pun begitu. Sambil pergi keluar aku sekilas melihat kearah anak lelaki itu.
"Menyebalkan." gumamku.
Aku tidak kembali ke kamar, melainkan berjalan-jalan ke taman karena tidur di kamar saja membuatku bosan dan semakin sakit.
"Bi, aku ingin balon." ujarku menunjuk salah satu balon yang berada tidak jauh dari kami.
"Tunggu di sini, Bibi belikan dulu." ujar Bi Imas.
Aku menunggu hingga Bi Imas datang kearahku."Ini Non."
"Makasih Bi."
Bahagia saat aku melihat balon berwarna merah melayan di udara, dan sekilas aku ingin menjadi balon itu sepertinya seru.
"Kenapa Non?"
"Tidak Bi."
***
Malam harinya, aku tidak bisa tidur karena terbayang akan cerita menyeramkan yang aku dengar saat siang.
"Bi!" panggilku.
"Bibi udah tidur ya?" tanyaku.
Namun Bi Imas tidak menggeliat, itu artinya dia masih tertidur dengan lelap. Jadi, hanya aku saja yang tidak bisa tertidur.
"Aku harus apa?" tanyaku bergumam pada diri sendiri.
Aku berangjak dari ranjang, melihat sekitaran dan menyalakan TV agar tidak terlalu sepi.
Melihat siaran TV saja membuatku bosan sekali, namun tidak ada yang bisa aku lakukan. Hanya terdiam menayap layar TV sambil membayangkan ruangan gelap bertuliskan 'Ruangan Mayat'
Sampai waktu sudah semakin malam, tanpa sadar aku tertidur di atas sofa dengan TV yang masih menyala.
Aku merasa ada yang menggoyangkan tubuhku, bahkan memanggil namaku dengan nyaring.
"Senja!"
"Senja!"
Perlahan mataku mulai terbuka, pikiran yang masih berada di bawah alam sadar kini sudah semakin jelas bahwa aku tengah menatap seorang anak gadis cantik seumuran denganku.
"Senja, ini aku Cian!" ujar anak gadis itu, aku masih belum jelas melihat wajahnya.
Hingga aku mulai melihat dengan jelas."Cian?"
"Iya, Senja. Ini aku."
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyaku, sedangkan Cian duduk di sebelahku.
"Papa ku yang memberitahukan bahwa kamu ada di rumah sakit."
"Papa?" tanyaku dengan bingung.
"Dokter yang anak lelakinya sedang di rawat di ruangan sebelahmu. Dan anak lelaki itu adalah kakaku Bumi."
"Wah, benarkah? Dunia terlalu sempit Cian."
"Iya, sampai aku bisa bertemu denganmu dengan sangat mudah."
"Lalu bagaimana keadanmu Senja?" sambung Cian bertanya.
"Sepertinya tubuhku sudah tidak panas lagi."
"Kalau tidak panas, artinya kamu mati bukan?"
"Iya juga, maksudku suhu tubuhku tidak tinggi lagi sudah normal."
"Lalu apa kata dokter?"
"Aku tidak tahu, aku juga bari terbangun karenamu. Kalau tidak mungkin aku masih tertidur lelap." ujarku.
"Iya juga, kamu kan tidur seperti kerbau."
"Cian, bisa tolong ambilkan kacamataku. Maksudku tolong carikan, aku kehilangannya di saat malam."
"Malam kamu kemana? Kenapa bisa tidur di sini?"
"Tidur di ranjang sangat menakutkan Cian, aku berjalan dan duduk di sofa sambil menonton TV hingga aku tertidur."
"Kunciranmu juga sudah mulai tidak jelas Senja."
"Benar juga, aku sekarang sudah seperti orang gila bukan?"
"Tepat sekali!"
"Jahat kamu Cian!"
"Hahaha, itulah aku."
Aku menerawang sampai ke bawah lantai tempat dimana Bi Imas tidur semalam, bahkan karpet dan selimutnya masih berada di sana tapi orangnya sudah tidak ada.
"Kemana Bi Imas?" tanyaku pada Cian.
"Bi Imas? Ah pembantu yang menemanimu. Aku kira dia ibumu, waktu pertama kali aku kemarin untuk bertemu denganmu. Ternyata dia pembantumu setelah di jelaskan oleh Bi Imas."
"Iya, dia pembantuku. Sekarang dimana?"
"Tadi sepertinya dia keluar, mungkin mencari makan. Tenang jangan takut, ada aku kok. Dan Papa juga ada di rumah sakit ini kalau hari Senin-Jum'at."
"Oh begitu, baiklah aku tidak akan khawatir lagi."
"Nah!"
"Lalu ibumu dimana?" tanya Cian.
Pertanyaan Cian kepadaku sangat berat untuk aku jawab. Namun aku harus menjawabnya tanpa merasa sedih karena bagaimana pun kedua orangtua orang lain juga selalu sibuk.
"Bekerja."
"Keduanya?"
"Iya." ujarku sambil mengangguk.
Cian menarik pergelangan tanganku yang tidak di infus."Kalau begitu kamu mau melihat ibuku? Ada di sebelah sedang menemani kak Bumi. Ayo!"
Aku ikut bersama Cian, karena aku penasaran juga dengan ibunya Cian. Anak yang baik-baik pasti berasal dar orangtuanya, apalagi seorang ibu yang selalu mendidik dengan lemah lembut.
"Cian, dari mana saja kamu?" tanya seorang perempuan yang terlihat masih muda.
"Mama!" panggil Cian dengan aku yang mengekor di belakang tubuhnya.
Perempuan cantik itu tersenyum kearahku."Siapa namamu cantik?"
"Senja, Tante."
"Wah, nama yang indah sekali sama seperti orangnya." pujinya.
Sebenarnya aku sudah muak dengan pujian itu, karena bagaimana pun aku tidak cantik seperti namaku.
"Kamu sakit apa sayang?" tanya Mama Cian kepadaku.
"Katanya panas Tante."
"Sudah, jangan panggil Tante. Mama saja ya?"
"Mama?" ujarku dengan bertanya.
"Iya sayang?"
"Cantik sekali, aku sudah bisa menebak kalau kedua orangtua Cian pasti luar biasa. Dan ternyata meemang benar."
"Kamu bisa saja."
"Lalu kamu hanya sendiri?" tanya Mama Cian.
"Tidak Ma, aku di temani oleh seorang pembantu."
"Lalu ibumu?"
"Sibuk kerja, bahkan dia pergi ke luar kota."
Tanpa di sadari ternyata Bumi juga mendengar percakapan mereka.
"Boleh aku bertanya? Apa benar anak yang terbaring itu anak Mama?" tanyaku menunjuk kearah ranjang rawat.