webnovel

Papa & Mama (Pulang)

*

"Melihat mereka pulang saja aku sudah bahagia, apalagi bermain bersama mereka, mungkin aku akan berhenti terluka."

*

"Non, Senja!"

"Non, Papa sama Mama pulang!"

Aki yang baru saja mandi langsung memakai baju dan berlarian ke lantai bawah untuk menyambut kepulangan kedua orangtuaku.

"Mama, Papa!" teriakku berlarian sambil meregangkan tangan.

Tapi kalian bisa menebaknya, apa yang di lakukan oleh mereka. Aku di di tepiskan karena mereka tengah kelelahan. Aku hanya ingin di peluk, bukan meminta hal yang besar.

"Ma, Pa, aku ingin di peluk!"

"Nanti aja, kami sedang capek!"

"Ma, Pa!"

"Nanti!" ujar Papa menepis tanganku hingga aku tersungkur.

"Ma!"

"Senja!"

Aku terdiam di lantai dengan kekecewaan, kenapa mereka harus membentakku. Mereka bisa memelukku sebentar dan mengatakan secara lembut bukan? Karena aku terlanjur senang karena kedua orangtuaku tidak biasanya pulang lebih awal.

"Bi, kenapa Mama sama Papa begitu?" tanyaku.

Bi Imas memelukku, dia membawaku ke kamar agar aku tidak bersedih. Bi Imas tahu bahwa aku selalu berharap hal ini, nyatanya ekspentasi tidak sesuai dengan kenyataan.

"Non, tidur siang ya. Jangan pikirkan haltadi, lagian kedua orangtua Non Senja kan baru saja pulang, sepertinya mereka capek."

"Iya, Bi." aku hanya bisa menjawab itu, tanpa harus mengeluh.

Setelah Bi Imas keluar dari kamarku, aku yang berpura-pura tertidur langsung terbangun kembali dan pergi ke kamar mandi untuk mandi. Aku berpikir, apakah aku belum bersih sehingga kedua orangtuaku tidak mau memelukku?

***

Aku tengah duduk di meja makan, ini sudah saatnya makan malam. Tapi tidak ada seorang pun yang duduk di meja makan selain aku. Hanya ada Bi Imas yang tengah menyiapkan masakan, bahkan banyak.

"Bi, apa kedua orangtuaku akan makan?"

"Tentu, bukankah mereka juga perlu makan malam. Benarkan?"

"Iya, Bi."

Tidak lama Papa ku datang sambil membawa gelas kosong."Untuk apa memasak Bi?" tanya nya.

Aku tersenyum."Bukankah kita akan makan bersama?"

"Siapa yang bilang? Kami sedang sibuk. Mungkin tidak bisa makan malam. Jadi Bi, urus Senja saja. Biarkan dia makan." ujar Papaku.

"Pa, tapi aku ingin makan bersama. Ini kali pertamanya kita berkumpul. Bukankah Papa dan Mama selalu sibuk di kantor. Ini rumah Pa, bukan kantor."

"Senja, diamlah. Anak kecil tidak akan bisa berpikir panjang, kami bekerja agar hidup kamu lebih nyaman."

Aku tertunduk,"Tapi Pa-"

"Sudah Senja, setelah makan kamu istirahat sana." itu kalimat terakhir Papa kepadaku sebelum dia pergi.

Bi Imas menyuruhku makan, bahkan nasi yang berada di atas piringku hanya di mainkan saja.

"Makan Non."

Aku menggeleng, tidak selera untuk makan.

"Bi, aku ke atas dulu. Bibi makan saja dengan pekerja yang lain, percuma saja karena mereka tidak akan makan."

Bukankah terlalu menyakitkan? Aku hanya ingin makan bersama saja tidak bisa. Makan yang wajib saja tidak, bagaimana dengan yang tidak.

"Kenapa mereka selalu seperti itu?" tanyaku.

Kulihat buku diary yang sudah lama tidak aki tulis. Aku mencurahkan seluruh isi hatiku di sana, di atas kertas dengan pena.

Namun kali ini aku tidak menulis puisi, melainkan melihat-lihat puisi apa saja yang sudah aku tulis. Isinya tidak ada kebahagiaan, hanya ada harapan dan rasa sakit saja.

"Kenapa aku tidak menangis?" tanyaku.

Dari dulu aku selalu berharap untuk bisa menangis, karena menahannya di dada sangatlah sesak. Lebih baik melepaskannya dengan cara menangia, dari pada seperti ini.

"Senja, untuk apa kamu hadir kalau kamu tidak di jadikan takdir?" tanyaku pada diri sendiri.

Tidak ada yang bisa membuatku bahagia kecua melihat keluarga Cian yang harmonis. Sepertinya sangat menyenangkan jika mempumyai keluarga seperti itu.

"Bulan, apakah Senja bisa berharap kepadamu. Tolong kabulkan harapanku, semoga saja besok mereka bisa mengantarku ke sekolah." ujarku kembali sambil menatap bulan yang terang.

"Terimakasih karena kamu sudah mau mendengarkan keluh kesahku ." ujarku sebelum tidur.

Pagi mulai menyambut, aku bergegas membenahi peralatan sekolah yang akan aku bawa seperti buku, dan yang lainnya.

Sedangkan urusan seragam, ada pelayan yang sudah menyiapkan nya.

"Non Senja sudah siap?" tanya pelayan perempuan bernama Yuni.

"Bi Yuni, apakah aku akan di antarkan oleh kedua orangtuaku?" tanyaku.

"Non, Tuan dan Nyonya sudah berangkat." ujar Bi Yuni.

Aku terdiam, menalan saliva lalu menyisir ramputku di bantu oleh Bi Yuni yang mengikat rambutku menjadi dua seperti kelinci.

"Bi Yuni, kapan kedua orangtuaku bisa ada waktu seperti orang lain?" tanyaku, sedangkan Bi Yuni hanya diam saja. Mungkin dia juga merasa iba kepadaku.

"Apa dulu Bibi sepertiku juga?"

"Non, Pak Jono sudah menunggu di parkiran. Ayo kita berangkat."

"Baik Bi."

Aku berjalan ke parkiran, disana sudah ada Pak Jono yang tengah memanaskan mobil.

"Non, ayo berangkat."

"Iya Pak."

Tidak lama, aku sampai ke sekolah. Semua orang di antarkan oleh orangtua mereka, namun aku hanya di antar oleh supir. Bukannya aku tidak bersyukur, tapi nama nya juga anak kecil. Dia pasti berharap untuk selalu di berikan perhatian oleh kedua orangtua nya, itu saja.

"Kenapa Non?" tanya Pak Jono.

"Tidak Pak."

Aku menyalami punggung tangan Pak Jono sebelum pergi ke kelas. "Aku berangkat ya, Pak."

"Iya, Non. Hati-hati."

Baru saja aku melangkah dari gerbang, ternyata di belakang mobilku adalah mobil Zeana.

"Heh Senja!" teriak Zeana melempar tas ranselnya ke arahku.

"Zeana, kenapa kamu memberikan tas ranselmu kepadaku?"

"Bawa, kamu kan budakku!"

"Zeana, aku tidak mau!" ujarku melempar tas ranselnya.

Zeana mengambil tas ranselnya, dia menyeretku kearah lain. Aku pikir, Zeana takut ada yang melihat kelakuannya. Dia kan anak pintar yang berkedok mencontek ke orang lain.

"Senja, aku peringatkan dirimu. Patuhi apa yang aku katakan, aku membenci penolakan!" ujar Zeana menginjak kakiku.

"Tapi Zeana, sudah Zeana sakit. Jangan injak kakiku!" ujarku meringis kesakitan.

"Kenapa Senja? Sakit? Apa aku perlu merobek bibirmu juga?

"Zeana, kenapa kamu melakukan semua ini kepadaku?" tanyaku dengan lembut.

"Senja!"

Zeana menarik satu kunciranku hingga terlepas. Bahkan Zeana mengacak-acak rambutku agar berantakan karena hari ini adalah pengecekan kerapihan.

"Zeana!"

"Jangan Zeana!" aku terus berteriak, namun Zeana tidak mau menghentikan aksinya.

"Zeana!" teriak Cian berlarian menghampiri aku dan Zeana.

"Cukup Zeana!" teriak Cian menghentikan hal itu.

"Apa masalahmu denganku?!" tanya Zeana.

"Kamu menggangu temanku!"

"Temanmu? Si cupu ini? Lihat penampilannya, sudah seperti anak yang tidak di urus oleh kedua orangtua. Kamu masih mau bermain dengan dia?"

"IYA!"

"Kenapa? Karena kamu terpaksa bukan? Ayolah jauhi dia, menghina dia jauh lebih membahagiakan. Dia juga tidak cantik, bahkan buruk sekali!" ujar Zeana.

"Kacamata bulat itu menggangguku, dia sangat buruk!" sambung Zeana.

"Kalau dia buruk, lalu kamu apa? Sampah?!" ujar Cian dengan tegas.

"Sekali lagi kalau kamu mengancam dia, aku tidak akan segan-segan. Aku membenci bullying. Kamu sampah Zeana!" teriak Cian sebelum dia pergi bersamaku.