*
"Keluar dari rumah sakit sangatlah menyenangkan, bahkan aku tidak perlu bertemu dengan Bumi."
*
Dua hari kemudian, dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa pulang ke rumah karena keadaanku sudah membaik.
Aku sangat senang karena sudah bisa keluar dari rumah sakit yang menakutkan ini.
"Bi, cepatlah aku ingin segera ke rumah!" ujarku, dan Bi Imas tengah membereskan pakaianku.
"Sabar, Non."
Aku yang sudah siap memutuskan untuk berpamitan ke ruang sebelah, semoga saja ada Mama Cian disana.
"Bi, aku pergi ke sebelah ya!"
"Baik Non. Tapi jangan kemana-mana lagi!"
"Iya!"
Langkah kakiku yang sedikit melompat karena bahagia itu langsung mengarah ke tempat dimana Bumi di rawat. Aku tidak mau bertemu dengan nya, tapi dengan Mama Cian.
"Permisi, apakah ada orang?" ujarku karena disana tidak ada siapa-siapa.
Aku hanya melihat Bumi yang tengah terbang di atas ranjang rawat. Bagaimana pun aku sudah berkenalan dengan dia.
"Bumi, dimana Mama mu?" tanyaku, sedangkan dia hanya diam saja.
"Kamu bisu?"
"Kenapa kamu banyak bicara?" tanya Bumi dengan tatapan tajam kearahku.
"Kenapa memangnya? Kamu tidak suka?"
"Iya, aku tidak suka!"
"Keluar!" tegas Bumi.
"Huh, dasar batu!"
"Pergi!"
Aku pergi dari ruang inap Bumi, dia benar-benar menyebalkan. Aku berharap tidak akan bertemu dengan dia lagi, semoga hari ini adalah pertemuan terakhiku.
***
Sepulangnya dari rumah sakit, aku sudah tidak di izinkan untuk minum ice lagi. Apapun itu bentuknya, Bi Imas sudah melarangku. Terpaksa aku harus bersembunyi-sembunyi untuk memakannya.
Dan hari ini, hari Rabu. Aku sudah bisa kembali bersekolah lagi. Kangen memang ada, tapi takut juga ada. Semoga saja Zeana tidak menggangguku.
Tiba di sekolah, aku bergegas pergi ke kelasku. Dimana dua tahun lagi aku akan lulus SD dan bersekolah di tempat lain yang tingkatannya lebih tinggi.
Aku bahkan tidak sabar untuk masuk SMP agar terbebas dari jeratan Zeana, aku sudah lelah. Meski begitu aku tidak mengeluh pada orang lain, karena aku sadar mengeluh kepada orang lain tidak akan mendapatkan jalan keluarnya.
"Pagi Senja!"
"Pagi juga!"
"Kamu sudah lebih baik?"
"Ya, aku sudah lebih baik. Nanti, bolehkah aku meminjam buku pelajaran waktu itu Hana?"
"Boleh!"
"Tidak boleh!" tegas Zeana yang baru saja datang.
Dengan tatapan mautnya Zeana duduk di atas meja belajarku. Dia mencengkram daguku, dan membisikkan sesuatu.
"Senja, aku akan ikut kemana pun kamu melangkah." bisikan Zeana itu mampu membuatku merinding.
Sontak aku bangkit dari duduk, dan menatap Zeana dengan mata sayu."Zeana, hentikan!" teriakku.
Zeana tidak terima karena aku membentaknya. Dia bangkit dan menatapku dengan tajam.
"Berani sekali kemu Senja!"
Plak!
Zeana menamparku, lalu dia mengangkat tangan nya kembali hendak menamparku untuk kedua kalinya.
"Awas kamu!"
Aku memejamkan mata karena ketakutan, tapi tamparan itu tidak ada. Perlahan mataku terpejam, aku kaget ketika melihat tangan Zeana sudah di cekal oleh seseorang.
"Beraninya!" kesal Zeana menoleh kearah orang yang menahanya.
"Cian?" tanyaku yang terkejut.
"Hai, Senja. Apakah dia perlu aku tampar balik juga?" tanya Cian kearahku.
Aku menggeleng, tidak ada baiknya membalas keburukan dengan hal yang sama.
"Jangan Cian, biarkan saja."
Cian mengangguk dengan senyuman kearah Senja, tapi seketika wajah Cian berubah menyeramkan ketika menatap Zeana.
"Kenapa? Kamu merasa hebat dengan cara seperti itu? Tidak!" ujar Cian, mendorong tubuh Zeana hingga tersungkur.
Cian menarik pergelangan tanganku, memabawaku ke suatu tempat. Tapi sebenarnya aku juga tidak tahu bahwa Cian juga bersekolah di tempat yang sama.
"Kamu kenapa ada di sini? Kamu sekolah di sini?" tanyaku.
Cian hanya tertawa, dia mengangguk pelan."Dari aku kelas satu, kamu saja yang tidak pernah melihat ke sekitar. Aku juga selalu melihatmu."
"Kamu di kelas mana?"
"Kelas empat C."
"Pantas saja, aku tidak kenal satu pun anak dari kelas itu."
"Iya, karena aku juga tidak mengenalmu waktu kelas satu. Tapi semua orang membicarakanmu waktu kelas dua, dan aku sekarang sudah mengenalmu."
Aku terkejut."Aku tidak tahu, apakah kamu pernah menyapaku?"
"Iya, tapi kamu tidak melihat kearahku, sombong kamu Senja."celetuk Cian.
"Eh, sumpah. Aku tidak pernah melihatmu di sini, aku kira kamu anak dari sekolah lain."
"Bukan, dan aku juga bukan anak pindahan."
"Baik, maafkan aku Cian." ujarku, merasa bersalah karena baru mengetahui bahwa selama ini Cian berada di dekatku.
"Santay saja, aku tidak masalah karena mungkin kamu tidak pernah bercengkrama dengan orang lain."
"Iya, aku tertutup Cian. Dan aku juga tidak suka di percayai atau mempercayai orang lain."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mampu."
"Senja, dengar. Mulai saat ini kita bersahabat. Kamu cerita apapun kepadaku, dan kamu juga sudah mengenal kedua orangtuaku bukan?"
"Iya, aku mengenal mereka. Mereka baik, sudah menganggapku seperti anak."
"Nah, dan mereka memintaku untuk membawamu ke rumah. Rumah kami juga satu komplek denganmu."
"Benarkah?"
"Kamu polos atau bagaimana? Kita kan bertemu di taman komplek. Itu berarti aku juga tinggal di sana."
"Iya juga."
"Nahkan, kenapa kamu baru sadar?"
"Mungkin karena polos?" ujarku sambil tertawa.
"Dasar!"
Sepulang sekolah aku pergi ke rumah Cian, itu artinya aku juga akan bertemu dengan Bumi. Menyebalkan, aku berharap tidak ada Bumi di rumah Cian.
Sesampainya di rumah Cian, aku sudah melihat ada Mama Cian yang tengah membersihkan taman.
"Mama!" panggil Cian dengan sumbringah.
Aku jadi iri kepada Cian, setiap pulang sekolah dia bisa memangil Mamanya.
"Cian!" ujar Mama nya, dan memeluk Cian.
Aku terdiam menatap mereka, aku juga ingin di peluk oleh Mama.
"Sini Senja, Mama juga ingin memelukmu." ujar Mama Cian.
Aku menghampiri mereka, lalu Mama Cian memeluk kami dengan erat. Hangatnya pelukan Mama Cian, membuatku berpikir apakah aku bukan anak kandung kedua orangtua ku?
Mama Cian membawaku ke dalam, dai menceritakan banyak hal kepadaku. Di ruang keluarga, kami di suruh untuk membuka tas ransel dan makan terlebih dahulu.
"Mama." panggilku.
Mama Cian menghampiriku."Kenapa sayang?"
"Boleh aku numpang ke toilet?"
"Boleh, ada di dekat dapur sebelah kanan."
"Terimakasih."
Selama aku di toilet, aku mendengar banyak hal yang membuatku semakin iri. Keluarga yang satu ini selalu mengungkapkan rindu dan cinta kepada sesama. Pantas saja kalau mereka baik, ternyata di didik dengan cara luar biasa.
Setelah menyelesaikan urusanku di toilet, aku melihat Cian di kecup keningnya oleh Mama nya.
"Mama aku mencintaimu!" ujar Cian.
Aku yang hanya mengintip saja, cuman murung sambil melihat kearah mereka.
"Senja, kamu sedang apa di sana?" tanya Mama Cian yang melihatku tengah mengintip.
"Tidak." ujarku sambil menggelengkan kepala.
Aku berjalan kearah mereka, lalu tiba-tiba Mama Cian mencium puncak keningku juga.
"Jangan sedih, ini hadiah untukmu. Dan jika kamu sedih, ingatlah bahwa kamu sudah di beri penangkal kesedihan di kening ini. Jadi jangan sedih, Mama tidak mau melihatmu sedih, ya?"
Aku terdiam, pipiku merah merona."Mama."