webnovel

Bullying (Apa salahku?)

*

"Apakah seseorang akan merasa puas jika membully? Apakah mereka tidak tahu bagaimana perasaanku? Ini sangat menyakitkan.

*

Rambutku yang acak-acakan menjadi pusat perhatian orang di sekitar. Karena aku tidak mau di lihat seperti itu, maka sebelum ke kelas aku memutuskan untuk pergi ke toilet.

"Kenapa kamu tidak meminta pertolonganku? Kalau kamu tidak bisa mintalah aku." ujar Cian yang berada di belakangku.

Sebenarnya aku tidak mau membuat Cian kesusahan lagi, cukup pembelaan yang tadi saja. Cian orang yang baik, aki tidak ingin dia tertimpa masalah karena aku.

"Kenapa Senja? Kamu tidak mau meminta bantuan ku ya?" tanya Cian.

Aku menggeleng, bukan maksudku. Tapi aku hanya tidak enak hati saja jika harus meminta bantuan Cian setiap saat. Aku tidak enak hati.

"Kenapa Cian?" tanyaku karena Cian malah menatap pantulan wajahku di cermin.

"Sejak kapan kamu pakai kacamata?"

"Sejak aku kelas dua SD, memangnya kenapa?"

"Karena apa?"

"Aku tidak bisa melihat dengan jelas, dan dokter menyarankan aku menggunakan kacamata."

"Oh seperti itu, ini pertama kalinya aku melihatmu tanpa benda bulat itu." ujar Cian.

"Iya, karena aku tidak membukanya. Kalau aku cuci muka baru aku buka."

"Ya iyalah Senja, kalau tidak mana mungkin kamu bisa nyaman cuci muka."

"Iya juga."

Untungnya ada Cian, rambutku kembali seperti semula. Bahkan Cian mengikatnya lebih indah, aku menyukai mahakarya nya.

"Cian, ini sangat indah. Bagaimana kamu bisa melakukan ini semua?" tanyaku.

Cian tersenyum."Magic!"

"Wah ternyata aku punya ibu Peri!"

"Benar sekali, sini biar aku sihir kamu lebih indah lagi." ujar Cian, dia membuka tas ransel bagian kecil dan mengeluarkan sebuah pita indah dari sana.

"Sini, sini!"

Cian menempelkannya ke rambutku, indah sekali."Luar biasa!"

"Cian, ini sangat indah!"

"Benar bukan?"

"Iya, kau menyukainya. Terimakasih Peri!"

"Sama-sama."

Aku kembali ke kelas dengan penampilan baruku, pita berwarna pink itu menambah kecantikan di rambutku.

"Wah Senja, pita itu sangat indah!" puji salah satu teman sekelasku.

"Terimakasih!"

Aku duduk di bangku milikku, lalu mengeluarkan buku belajar dan juga pena di atas meja.

"Kenapa kamu menatapku?" tanyaku pada salah satu teman yang berada di sebelahku.

"Senja, lebih baik kamu buka pita itu sebelum Zeana ke kelas. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kamu di siksa oleh dia, aku takut dia tersaingi." ujarnya.

Aku mengangguk. Baru saja akan di buka ternyata Zeana lebih dulu tiba di kelas sebelum aku yang membuka pita di rambutku.

"Wah, Senja pitamu sangat indah. Untukku?" tanya Zeana, dia bertanya setelah mendapatkan pita itu.

"Jangan Zeana, itu bukan milikku. Tapi itu milik Cian, tolong jangan ambil itu."

"Tidak, sekarang ini milikku. Ini ada di tangan siapa? Aku bukan?" tanya Zeana.

"Zeana, itu milik Cian."

"Cian yang tadi? Oh tidak peduli. Lagian kalian bertemankan? Itu artinya dia memberikan itu untukmu bukan?"

"Dia memang memberikannya untukku, tapi aku tidak ingin kehilangan ini. Kamu bisa membelinya Zeana, beli di toko kan bisa?"

"Senja!" kesal Zeana mencengkram kerah bajuku.

"Kenapa Zeana? Cukup, jangan bully aku lagi."

"Iya, kalau kau sudah mati. Mungkin aku tidak akan membully mu lagi."

Aku terdiam, perkataan Zeana sangat kejam. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu, apakah Zeana tidak memikirkan bahwa apa yang dia katakan akan berakibat buruk untukku.

"Zeana!"

Aku berusaha merebut pita tersebut, namun Zeana malah meloroti seluruh ikat rambutku sehingga acak-acakan kembali.

"Zeana!"

"Zeana kembalikan!"

"Zeana!"

Zeana malah tersenyum, dia mendorongku sampai terjatuh ke lantai. Dia begitu kejam, sampai tanganku di injak oleh dia.

"Awww... Sakit Zeana!" ringisku.

Namun, wajah Zeana seperti tidak merasa bersalah. Dia terus saja mengejekku dengan kata-kata yang tidak layak. Bahkan Zeana juga mengambil air minum milik seseorang murid di kelas dan menumpahkan nya di atas kepalaku.

"Kamu tidak usah banyak bicara Senja, dari dulu seharusnya kamu sudah seperti ini. Sangat hina sekali dirimu itu senja, aku jijik!" ujar Zeana.

"Apa salahku Zeana?"

Semua orang menatapku, dan teman Zeana juga memberiku makian. Tidak lupa mereka juga mengotori tubuhku dengan tanah.

"Kenapa kamu tega sekali Zeana!"

"Mulai sekarang, aku mau seisi kelas ini tidak ada yang berteman dengan Senja. Baik itu mengobrol, bermain, atau pun meminjamkan sesuatu. Kalau tidak dia akan menerima akibatnya, bahkan lebih parah." ujar Zeana menatap seluruh murid yang berada di kelas.

Kali ini Zeana benar-benar keterlaluan. Senja sudah muak dengan tingkah Zeana kepadanya. Namun, Senja selalu ingin memberikan kesempatan kepada Zeana untuk berubah.

Aku hanya diam saja, tidak ada gunanya juga membalas kelakuan Zeana kepadaku. Suatu saat nanti pasti Zeana akan merasakan apa yang aku rasakan ini.

Tibalah jam pelajaran akan di mulai, guru akan datang sekitar sepuluh menit lagi. Dan Zeana sudah mengancam seluruh murid agar tidak ada yang mengadu tentang apa yang mereka lihat tadi.

Aku bangkit dengan rambut basah dan acak-acakan. Sialnya hari ini adalah pemeriksaan kerapihan seragam.

Tidak ada kata rapih di seragamku. Hanya ada basahan air dan rambut yang tidak karuan, serta baju seragam yang kusam.

"Senja, kenapa pakaianmu seperti ini?" tanya Bu guru.

Aku hanya menunduk, diam seribu bahasa.

"Senja!"

"Tidak, Bu."

Aku tidak bisa menjawab apa yang di tanyakan oleh Bu guru. Apalagi Zeana menatapku dengan nanar, aku tidak bisa mengatakan segalanya.

"Kenapa Senja? Bilang. Kalau begitu ikut ibu ke kantor, biar ibu minta ibu kamu untuk ke sekolah."

Aku bangkit, ikut bersama dengan Bu guru ke kantornya. Disana aku duduk, tidak ada yang bisa aku katakan. Tanganku juga bergetar hebat, mana bisa aku mengucapkan kata dengan rinci. Apalagi ancaman Zeana sangat kejam.

"Senja, apakah ibu boleh minta nomor handphone ibumu?"

Aku menggeleng karena tidak tahu nomor telpon Mama, hanya memiliki nomor Bi Imas saja.

"Hanya ada nomor Bi Imas Bu." ujarku memberikan sebuah kertas yang selalu aku bawa di saku.

"Bi Imas? Pembantumu?"

"Tidak, dia sudah seperti Mamaku."

"Baik, kalau begitu ibu telpon Bi Imas. Kamu tunggu di sini dulu, jangan kemana-mana."

"Baik Bu."

Aku menunggu di kantor, hingga Bu guru kembali."Sebentar, Bi Imas sedang berada di perjalanan kemari."

"Baik Bu."

"Senja, apakah kamu bisa ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu. Karena dulu kamu adalah anak terbaik di sekolah, namun sekarang kenapa kamu jadi begini, dan Zeana yang berhasil menerobosmu."

"Tidak tahu, Bu."

Bi Imas kemudian datang, dia memelukku yang tidak berdaya ini. Pertanyaan Bi Imas sama dengan apa yang di tanyakan oleh Bu guru.

"Kenapa Non Senja bisa seperti ini?" tanya Bi Imas.

Aku terdiam, sepertinya aku akan menjadi orang bisu jika di tanya soal siapa oranh yang membully ku dan bagaimana aku seperti ini.

"Kenapa kamu hanya terdiam Senja, Bi Imas bertanya kepadamu." ujar Bu guru.

Aku hanya menggeleng.