webnovel

CHAPTER I: Expectations

"In a room full of people, watching the world from the sidelines, had nothing to prove" -Phoebe Bridgers

Minggu malam, waktu terakhir dari hari-hari wajib mencari nafkah yang mendorong orang-orang pada umumnya untuk merebahkan tubuh di atas kasur, melepas penat dan tanggung jawab sejenak dari pikiran. Namun, berbanding terbalik dengan kondisi kediaman De Rucci, sebuah keluarga berdarah Indonesia-Spanyol, yang aula depannya telah dipenuhi tamu-tamu undangan kakek buyut Artemis—berlalu-lalang mengarahkan kamera belakang ponsel mereka untuk memindai kode QR yang telah disediakan maid sebelum gerbang utama dibuka.

Artemis, cicit kedua Luca De Rucci, mengenyahkan rasa panik yang mulai menyelubungi dada dan perut gadis berusia sembilan belas tahun itu. Kelima jemari kanan perempuan itu terasa mulai gemetar saat meraih gelas ketiganya. "I guess you prefer mock-tail others rather than being cocky-tail!" seru suara seorang perempuan lain dari belakang Artemis. Yup, ralat, cocktail ketiganya.

Begitu wajah dan tubuh cicit Luca itu berbalik, seorang gadis jangkung–jauh lebih tinggi–dibandingkan Artemis, menyunggingkan senyum manis pada muka yang hanya dirias sedikit dan terlihat berkilau di antara helai-helai rambut ebony sepanjang di bawah telinganya.

"Bisa-bisanya lo pakai jins...." Artemis menghela napas lelah, tidak paham lagi dengan kebiasaan teman masa kecilnya, Blair Portia, yang tidak peduli lirikan sinis para tamu lain karena perempuan itu–crop turtleneck sweater putih yang ditutup checker blazer, dan jangan lupa kedua kaki jenjang Blair hanya dibalut sepasang jins biru. Jelas-jelas dress code yang tercantum di link undangan; no jeans or any denim materials. Acara sosialita malam ini bukan hanya ajang bertemu calon partner kerja baru atau sekadar bercengkerama panjang, tetapi juga menonton film dokumenter tentang krisis iklim, lalu menjadwalkan penulisan perjanjian para pengusaha dalam membantu para Non-Government Organizations di Indonesia.

"Lo sendiri? What are you supposed to be?" Blair mengelus bibir bawahnya dengan telunjuk sambil memandang serius atasan rhinestone berlengan big puff transparan dilengkapi sepasang celana satin putih Artemis, menghiraukan tatapan dingin temannya yang sudah ingin mencekik Blair karena tahu perempuan itu hanya akan meledek. " A-ha! A disco ball!" ujar Blair beberapa detik kemudian.

"This outfit is much better than that Virago Mini Dress!" gerutu Artemis sambil menegak habis isi gelasnya. Blair tertawa, lalu memesankan segelas mocktail untuk Artemis dan segelas strawberry milkshake untuknya. Sembari menikmati minuman mereka masing-masing, Blair bertanya apakah baru diadakan perekrutan pelayan lagi di De Rucci, dan Artemis menjawab–masih dengan nada kesal–ada dan maid baru itulah yang menyiapkan dress untuknya. Tidak lagi terbahak, Blair kini justru balik bercerita tentang pelayan muda di rumahnya.

"Dia datang tiga tahun yang lalu, hm ... gimana ya–selalu ceroboh tapi rajin, bangun pagi dan belanja bahan-bahan sarapan, walaupun enggak bisa masak—"

"Kenapa lo jadi cerita tentang kerjaan pelayan, sih? Lo masih belum dapat tempat magang?" Artemis tidak mengerti arah pembicaraan Blair, yang ia paham betul, tenggat waktu untuk mendapatkan magang tinggal dua bulan lagi untuk mata kuliah Internship and Career Acknowledgement bagi angkatan mereka.

"Sabar sedikit!" Blair berdecak sebal karena milkshakenya kurang dingin sebelum kembali lanjut berkata, "Pelayan baru itu adik tingkat di kampus kita, dan dia orang kedua dari barisan para maid yang masih di bawah umur buat bekerja di rumah Opa."

Kepala Artemis sudah terasa sangat pening dengan aroma parfum orang-orang dan keramaian-belum lagi jumlah alkohol yang sudah ia masukkan ke dalam tubuhnya. Namun, Artemis masih mencoba mengikuti alur percakapan dengan Blair, "Berarti ... dia masih enam belas tahun waktu lamar kerja di rumah Opa lo?"

Blair menjentikkan jari dan menganggukkan kepala penuh semangat sebagai jawaban 'benar.'

"Tapi, kenapa gue enggak pernah lihat dia setiap main ke rumah lo?"

"Entah ya, mungkin karena lo sibuk main dating apps, dan SELALU pakai kamar gue jadi background setiap kali video call!" Intonasi suara Blair langsung meninggi dan sengaja menekan satu kata setelah diksi penghubung dalam kalimatnya. Artemis terbatuk-batuk karena perubahan suara Blair yang tiba-tiba. Gadis bertubuh lebih pendek memukul punggung temannya yang terkekeh pelan dengan cukup keras, sampai sedikit milkshake dalam mulut cucu Alvaro Portia itu keluar.

"Kenapa, deh? Mendadak lo jadi peduli sama pendapat paparazzi?" tanya Blair secara tanpa sadar merendahkan intonasi saat bertanya karena Artemis yang berada di sebelahnya terlihat mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan–mencari-cari seseorang atau beberapa orang yang bersikap mencurigakan. "But I feel you, rumah ini selalu kasih vibe yang bikin gue enggak nyaman," ucap Blair sembari meletakkan gelas minumannya yang sudah kosong, sedangkan kedua manik matanya mengedarkan pandangan ke figura-figura foto keluarga–hampir mengenai langit-langit atap–yang terpasang tinggi.

"Lo pikir gue betah?" tanya Artemis balik, ia menggoyang-goyangkan gelasnya yang sudah kosong di depan wajah Blair hingga perempuan itu balas menatap ekspresi temannya yang seolah bersuara dengan sarkas 'Gue betah banget! Saking betahnya gue mau pesan segelas alkohol lagi!'

Blair merangkul pundak Artemis sambil tersenyum lebar seraya menarik tubuh kecil sang sahabat keluar dari kerumunan para petinggi dan pengusaha di aula utama.

"Memangnya lo butuh pendapat gue buat apa, sih...?" bisik Blair setelah keduanya melewati pintu utama dan berjalan beriringan menuju studio dekat paviliun–tempat tidur para maid. Sampai Artemis berbalik arah dan justru menyeret lengan Blair ke rumah bergaya Mid Century, tempat sama yang menjadi lokasi nenek buyutnya dirawat.

"Tentang orang yang terus mendesak masuk pertemanan kita."

Blair terdiam beberapa detik sampai kedua kakinya turut berhenti melangkah, sebelum perempuan itu kembali mengayunkan tungkai jenjangnya menyusul Artemis sambil berujar riang, "Gue udah lupa, hehe, apa dia orang yang pernah berusaha melecehkan Patra?"

"Nope."

"Ha. Padahal tangan gue masih gatal buat ninju cengiran jeleknya itu."

****

Keesokan pagi. 05:45 WIB.

Percakapan empat mata di depan tubuh Oma Artemis yang koma sangat menguras tenaga dan waktu. Blair baru pulang ke rumah larut malam, untungnya ada maid baru yang selalu menyusupkan perempuan jangkung itu masuk tanpa ketahuan tuan besar. Akan tetapi, dampaknya juga harus dirasakan maidnya saat sekolah dimulai.

Berbekal para bodyguards yang dapat diandalkan, dan tentunya seorang maid sebaya, Blair berhasil dimasukkan ke dalam mobil–berseragam lengkap–yang siap membawanya dan maid perempuan itu ke sekolah.

"Setelah lurus dari perempatan, belok kanan–nah, di kiri nanti ada supermarket, berhenti di sana dulu ya, Pak!" pinta Cassandra Wirjadinata, sang maid. Sementara kedua tangan dan arah tatapnya masih fokus pada layar ponsel yang menampilkan personal chat room dengan ketua klub broadcasting di kampus.

"Oh, Blair belum makan?" tanya Pak Budi sambil sekali melirik kedua perempuan remaja itu dari spion tengah mobilnya.

"Buka mata aja enggak bisa, Pak...." gumam Cassandra, tetapi masih terdengar hingga membuat si sopir tertawa kecil dan kembali melirik Blair yang tidur bersandar dengan mulut terbuka. Setelah mengetik dan mengirim bubble terakhir berisi kesanggupannya menghubungi dan melakukan wawancara pada seorang youtuber, Cassandra mematikan layar ponsel dan memasukkannya ke saku yang terjahit bersama furing–di balik bomber jacket.

Baru saja Cassandra akan menutup kelopak matanya, mendadak kedua netra secokelat madunya terbuka dan mendelik ke arah Blair. Selain terlihat konyol, akan sangat bahaya jika majikannya tersedak sewaktu-waktu mobil melaju di atas polisi tidur atau tanjakan. Cassandra bergeser sedikit dan memperbaiki posisi kepala Blair yang mendongak menjadi terarah sejajar dengan kepala kursi penumpang di depannya, sehingga mulutnya tertutup.

Tiba-tiba dering ponsel tanda seseorang memanggil berbunyi nyaring di balik jaket Cassandra. Seke6tika Blair tersentak kaget dan langsung mencekal salah satu pergelangan tangan perempuan di sebelahnya. "Siapa?! Kapan...? Ini ... dima–" Blair yang gelagapan perlahan tersadar ia sudah tidak lagi berada di rumah tahun 80an kesukaan Artemis.

"Waktunya sekolah, Non!" sapa Pak Budi riang dari jok pengemudi.

"Ah ... iya...," sahut Blair, lalu menoleh ke samping dan terkejut sendiri melihat dirinya mencengkeram tangan Cassandra.

"Belakangan ini lo susah tidur, ya?" tanya Cassandra.

"Enggak, gue cuma...," Blair terdiam, sesaat ia teringat obrolannya bersama Artemis tempo hari, serta penyelidikan diam-diam mereka yang membuat cucu termuda Alvaro itu enggan melihat wajah Cassandra. "Yah ... kayaknya gue memang lagi enggak suka tidur," sambung Blair.

Cassandra dibuat tertawa karena jawaban majikan mudanya yang sudah ia anggap seperti kakak perempuan sendiri. Setelah merespon perkataan Blair dengan tidak percaya, Cassandra langsung teringat panggilan yang tidak diangkatnya tadi karena panik melihat ekspresi panik Blair.

Tanpa Cassandra sadari, Blair memperhatikan layar ponselnya dari jarak yang cukup jauh. Si penyandang marga Portia itu menggigit bibirnya cemas. "Tadi ... telepon dari Pram ya?" tebak Blair menyebut nama teman satu angkatan sekaligus ketua klub broadcasting yang diikuti Cassandra.

Yang ditanya menggeleng dan tanpa berhenti tersenyum pada pesan yang terpampang di layar ponsel. "Ethan," sebut Cassandra.

"Ugh!" keluh Blair kesakitan sambil memegangi perutnya. Kebiasaannya setiap merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

Cassandra yang mengira sakit perut Blair karena belum makan, langsung meminta maaf dan berujar penuh rasa bersalah, "Maaf ya, Blair, gue kebagian piket buat siapin ruang rapat klub nanti sebelum istirahat makanya jadi berangkat pagi-pagi ... oh! Tenang aja! Nanti gue beliin roti isi sama onigiri buat lo sarapan, di rumah adanya sup, terlalu ribet, jadi enggak sempat dibung–"

"Oke! Makasih! Sakitnya cuma kecil, kok!" potong Blair, turut menjawab dengan bertubi-tubi sampai gadis yang berambut cokelat madu panjang tergerai mengernyitkan kening kebingungan.

'Kecil?' batin Cassandra, tidak paham.

****

Ruang kelas 19, lantai 3, Gedung Fakultas Sastra. 11:00 WIB.

Sejam sebelum istirahat, Prampal mengumpulkan seluruh anggota klub broadcasting di ruang kelas yang baru saja dipakai para mahasiswa sastra Inggris karena sulit meminta izin pada satpam atau staf keamanan lainnya untuk menggunakan ruangan khusus rapat di hari kerja, apalagi pada waktu belajar dan mengajar aktif, di kampus seperti saat ini. Terdapat dua media penting milik kampus yang dikelola klub ini, yakni stasiun televisi dan radio.

Pada rapat kali ini, selain membahas perlu atau tidaknya membuat podcast. Sang ketua juga klub juga menjelaskan bahwa mulai lusa anggota lama maupun baru kemungkinan akan melakukan lebih dari satu tugas, dikarenakan para kakak tingkat yang sudah harus mempersiapkan skripsi atau non-skripsi sebagai syarat kelulusan.

"Duh! Jadi deg-degan! Tahun depan udah giliran kita yang skripsweet-an! Akh!!" Nando, si videographer berambut gondrong sebahu, berkumis tipis, dan berahang tirus yang juga satu jurusan dengan Cassandra, mengerang–dan bergidik kemudian karena terlalu serius membayangkan tugas akhir mahasiswa itu sebagai hal yang paling mengerikan.

Ifa, perempuan berambut ikal sepunggung, berkacamata bulat yang menjabat sebagai scriptwriter seperti Cassandra, langsung teringat obrolannya dengan Nando saat semester dan bertanya, "Lo jadi mau bahas soal cyber trafficking terhadap anak-anak?"

"Aduh, gue enggak kuat dengarnya! Berat banget!" keluh Prampal sebelum menggeser kursi dosen yang didudukinya menuju meja tim bendahara dan sekretaris di seberang barisan anak-anak tim kreatif.

"Enggak tertarik pilih salah satu poin SDG (*Sustainable Development Goals) aja, Do?" Cassandra mengusulkan ide sambil menaik-naikkan kedua alisnya. Nando mencibir temannya yang beruntung karena memiliki koneksi kuat dimana setiap setengah tahun sekali Genesis Portia mengunjungi rumah–sekaligus tempat kerja–Cassandra.

"Enggak semudah itu! Gue kan cuma maid di sana ... gue enggak mau beliau bersedia membantu hanya karena Papa suka silaturahmi sama kakeknya." Perkataan Cassandra itu lantas menerima tepuk tangan dan acungan jempol dari Nando dan Ifa.

"Tapi enggak mungkin juga setelah bantu skripsi lo, Om Gene bakal komplotan sama bokap dan maksa lo balik ke rumah," gumam Nando sembari melirik ke kanan dan kiri. Takut jika ada yang menguping. Setelah keceplosan bertanya kepada Cassandra tentang apa merek sabun Blair Portia di depan Ifa, Nando kapok dan berjanji dengan segenap jiwa akan menjaga rahasia sahabat dan teman sekelasnya itu.

Ketika Ifa lanjut membahas dirinya yang masih tidak percaya Cassandra bisa tinggal di kediaman Portia karena 'ketidaksengajaan', perhatian orang yang dibicarakan teralih ke notifikasi pesan baru dari Prampal. Cassandra menoleh ke arah kakak tingkatnya yang juga sedang menatap layar ponsel. Tak lama Prampal balas memandang Cassandra dan mengangkat benda pipih di salah satu tangannya sambil berseru ringan, "Jangan lupa hubungi guest baru kita nanti malam...!"

Cassandra mengacungkan jempol sambil meringis dalam hati. Usai menambah nomor telepon yang diberikan Prampal, gadis itu beralih membuka ruang pesan dengan kekasihnya, Ethan. Terpaksa membatalkan acara menonton mereka nanti sore.

****

Setelah kegiatan belajar mengajar di kampus selesai–dan kebetulan juga tidak ada jadwal siaran–Cassandra cepat-cepat pulang untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Setidaknya tugas melayani keluarga Portia selesai sebelum jam tujuh malam karena gadis bernetra kelabu itu memiliki catatan penting untuk menghubungi Si Vlogger. Seseorang di balik nama akun youtube ART-EA merekam rutinitas dan motivasi belajar menyusun naskah film, tetapi baru-baru ini mengunggah beberapa video bertema self-dating. Kreator vlog kebanyakan menunjukkan wajah dan berbicara langsung pada kamera, lain halnya dengan ART-EA. Satu-satunya suara yang terdengar dan terlihat di depan kamera adalah ketenangan dari seduhan tea bag, suara kicauan burung di pagi hari, rintik hujan, dan bunyi alam lainnya.

Beberapa hari lalu, Prampal mengutarakan kesungguhannya mencaritahu siapa orang bernama ART-EA karena ia menangkap dua sampai tiga detik dari video terbaru Vlogger itu—dirinya membawa almamater berlogo universitas mereka, juga varsity dengan lambang yang sama.

Begitu memasuki kamarnya, Cassandra menaikkan suhu AC supaya cokelat panas yang diseduhnya tadi menjadi lebih hangat. Sebelah tangannya sibuk menempelkan benda pipih usai menekan angka-angka nomor kontak ART-EA. "Benar-benar introvert, ya...." gumam Cassandra mengetuk-ngetuk telunjuk di pelipisnya. Ia sedikit uring-uringan melakukan wawancara lewat panggilan telepon ketika sudah ada online meeting room dari Google.

"Eggak juga, sih," sahut seseorang di seberang.

"PURFF!" Cokelat hangat yang baru saja memasuki mulutnya tersembur. Kedua manik mata Cassandra membelalak terkejut. 'Sejak kapan nada sambungnya terputus?!' jeritnya kepalang malu dalam hati. "Ha-halo...? Maaf, Kak! Saya enggak dengar...."

Tawa rendah yang terdengar ramah sedikit menetralisir kegugupan Cassandra, "Ahahaha, it's okay, Senin memang harinya semua orang sibuk ... wajar kalau enggak fokus."

"Betul tuh, Kak! Kalau misalnya kita wawancara lewat Google Meet—mungkin aku bakal lebih cepat sadar dari bengongnya, mohon maaf sekali lagi ya, Kak—karena mengganggu waktu istirahatnya," tutur Cassandra berusaha menanggapi perhatian perempuan di seberang. Sementara satu tangannya buru-buru membuka memo yang tadi masih tertutup, begitu juga pulpennya. "Selama wawancara, aku izin aktifkan loudspeaker dan rekam boleh enggak, Kak?"

"Silahkan," sahutnya di seberang.

Karena ART-EA sudah jelas-jelas menulis di bio profil Youtubenya bahwa ia nyaman identitasnya tidak diketahui, Cassandra langsung bertanya tentang kesibukan apa yang sedang perempuan itu lakukan sekarang. Tanpa ragu ART-EA menjawab bahwa ia seorang mahasiswi dan scriptwriter dari film-film pendek milik teman-teman sekolahnya. "Sayangnya, sekarang mereka lagi enggak ikut lomba film pendek lagi. Jadi, aku lagi hiatus dulu jadi bagian perfilman."

Berbekal bukti screenshot almamater yang Prampal berikan, Cassandra kembali mengajukan pertanyaan, "Apa kakak juga aktif ikut UKM di kampus?"

"Wah, bertolak belakang banget! Aku lebih aktif di luar! Kalau di kampus, belajar sama mikirin skripsi aja, sih," sahutnya diakhiri tawa kecil yang dipaksakan.

Rahang Cassandra langsung jatuh ke lantai. Sepengetahuan Cassandra, hanya anggota sebuah organisasi atau perwakilan kegiatan non akademik tertentu yang diperbolehkan mengenakan almamater sebagai simbol kebanggaan sebuah institusi. "Kalau boleh tau, kakak belajar di kampus mana, ya?" pancing Cassandra. Ibu jarinya mengusap logo Garuda berhiaskan untaian nama 'Universitas Rasasvada' dengan batin bergemuruh penuh harap.

Hingga suara di seberang menentukan nasib selanjutnya dari wawancara hari ini.

"Rasasvada University."