webnovel

Her Sweet Breath

"Menikahlah denganku! Aku yang akan menjagamu menggantikan kakek" Sebuah janji yang terucap begitu saja disaat melihat gadis dengan aroma nafas manisnya yang sedang menangis karena kehilangan satu-satunya keluarga dekatnya. Sebuah janji yang tidak bisa ia penuhi ketika dia harus pergi secara tiba-tiba dan kehilangan jejaknya. "Be my Chika" TIGA KATA Rayuan yang mampu membuat semua perempuan yang memiliki nama panggilan Chika bertekuk lutut dan dengan suka rela memberikan tubuhnya kepada Leo, pengusaha muda yang sukses dengan senyum seksual, merayu perempuan semata-mata untuk mencari seorang gadis dengan aroma nafas manis yang tidak bisa ia lupakan selama 8 tahun lamanya.

KeySiswanto · Urbain
Pas assez d’évaluations
21 Chs

SEMBILAN BELAS: TAHUN BARU

"Kamu tahu, aku tidak akan pernah berhenti walaupun kamu memohon untuk berhenti, Chika!" ucapku dengan menatap lurus mata Chika yang ada di hadapanku saat ini. Pengakuan dan ciumannya yang tiba-tiba berhasil membuatku hampir hilang kendali, tapi aku tidak ingin menjadi lelaki berengsek yang memaksakan kehendaku kepadanya.

"Aku tidak akan memohon untuk berhenti."

Jawaban Chika berhasil membangunkan sisi lain diriku yang selalu aku tahan saat bersama dirinya. Darah di seluruh tubuhku mulai berdesir kencang disaat bersamaan ia memberikan izinnya untukku. Aku mencengkram tubuhnya mendekat kepadaku, meraih tenkuknya dan mendekatkannya kepadaku. Aku langsung menguasai bibir merahnya yang selalu berhasil menggodaku. Aku mengecup pelan bibirnya perlahan sambil menanti respon darinya yangg langsung aku rasakan saat itu juga. Aku pun melumat bibirnya yang sedikit tebal tanpa memberikan jeda. Aku menginginkannya saat ini juga di sini dalam dekapanku selamanya.

Aku melepaskan tautan kami saat menyadari dirinya yang mulai kehabisan napas. Aku mendekatkan dahiku ke dahinya. Ia menatap mataku dengan napas yang tersenggal, kedua ujung bibirku mulai tertarik ke atas menyimpulkan sebuah senyuman untuknya. Dengan hati-hati tangannya naik ke kapalaku dan membuat rambut belakangku berantakan. Kali ini, ia menempelkan kembali bibirnya kepadaku. Aku menikmati setiap sentuhannya. Aku meraba pelan punggungnya di atas kain satin dari babydoll yang ia kenakan. Tidak puas, tangan kiriku mulai menyusup masuk sehingga kulit tanganku bersentuhan langsung dengan kulit punggungnya dan berhasil membuatnya mendesah di sela ciuman kami.

Aku mengangkat tubuhnya dan membaringkannya pelan di atas ranjang. Aku melepaskan ciuman kami, bangkit dan duduk di atas pahanya seakan menguncinya tetap di bawahku. Aku melepas jas dan dasiku, melemparkan begitu saja ke lantai samping ranjang. Aku melepas satu persatu kancing kemeja dan membuangnya. Chika terdiam menatapku dengan napas yang masih tersenggal. Perlahan aku mendekatkan kembali tubuhku padanya, mencium dahinya, hidungnya dan berakhir kembali di bibirnya dengan matanya yang kembali terpejam. Tanganku mulai bergerilya meraba tubuhnya dan menemukan gundukan dadanya. Perlahan aku meremas dadanya di balik kain yang masin membalut tubuhnya. Ia mulai menegang seakan ketakutan. Aku melepas ciumanku begitu juga tanganku dari dadanya.

"Jangan." Chika menggegam tanganku, "jangan berhenti." Ia meletakan kembali tanganku di atas dadanya. Aku mulai tersenyum mengingat saat Chika yang dulu tiba-tiba meletakan tanganku di dadanya pada malam pertama aku tersadar.

"As you wish," tanganku mulai memijat pelan dadanya yang begitu pas di genggamanku. Ia mulai mendesah pelan, membuat aliran darah di tubuhku berdesir kencang dan panas. Aku menutup mulutnya kembali dengan mulutku. Kali ini kedua tanganku mulai meremas penuh ritme membuat tubuhnya sesekali terangkat. Puncak dadanya mulai terasa menegang dan keras, begitu juga juniorku di bawah sana yang mulai bangun dan membuat celanaku terasa sempit.

Tangan kananku mulai mencari ujung pakaiannya yang berada di pahanya. Aku mengelus lembut paha lembutnya, membuatnya mengangkat salah satu kakinya sedikit sehingga dengkulnya terangkat den menyentuh juniorku di atasnya.

"Akkh..." Aku menggeram di depan bibirnya membuat Chika tersikap menatapku. Aku melayangkan senyumanku dan langsung mengangkat gaunnya ke atas melewati kepalanya dan membuangnya begitu saja. Tubuh polosnya yang masih mengenakan celana dalam mulai nampak dengan jelas di bawahku. Secara tidak sadar, Chika menyilangkan tangan di dadanya seakan ingin menutupinya.

"Jangan menutup tubuh indahmu, sayang," ujarku. Aku meraih kedua pergelangan tangannya dan mengunci di samping kepalanya. Tubuhnya mulai bergetar, tapi sesuai perkatannya dan perkataanku di awal, aku tidak akan berhenti.

Aku mengecup pelan bibirnya, turun ke lehernya dan saat ini wajahku ada di antara buah dadanya dengan puncak yang mengeras. Aku mencium salah satu putingnya yang indah dan menjilatnya. Suara desahan kembali terdengar dari mulutnya. Aku melepas genggamanku pada tangannya dan meraba pahanya dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku bermain dengan salah satu dadanya. Kedua tangan Chika yang bebas kali ini meraih rambutku dan sesekali menjambaknya pelan saat aku menggigit dan menghisap putingnya yang mulai merah di sekitarnya karena aku membuat tanda di sana bergantian dengan yang satunya. Puas dengan tanda yang aku buat disana, tubuhku mulai turun menciumi perut datarnya, pusarnya, pinggulnya dan berhenti tepat di depan kewanitannya yang masih berbalut celana dalam yang mulai basah. Aku menciumnya, menjulurkan lidahku dan menekannya di balik celana dalam berendanya membuatnya mendesah lebih keras dari biasanya.

Aku mengangkat tubuhku untuk melihat Chika yang saat ini memejamkan matanya dan meremas seprei di sampingnya. Matanya perlahan terbuka saat aku tidak melakukan apapun padanya, tatapannya kali ini terlihat begitu sedih. Aku hanya bisa tersenyum dan kembali melahap bibir merahnya nan manis. Tangannya yang meremas seprei kali ini kembali meraih rambutku dan menekan kepalaku sehingga aku menciumnya dalam. Lidahku mulai ikut bermain ke dalam rongga mulutnya yang terbuka dan bermain dengan lidahnya saat menemukannya di dalam. Tangan kiriku yang bebas menyusup masuk ke dalam celana dalamnya dan memijat pelan bibir kewanitannya yang sudah basah. Tubuhnya mulai terangkat sedikit ketika aku memasukan telunjukku ke dalam sana.

"Aaaah..." Ia mulai memekik ketika aku bermain dengan klitorisnya di dalam sana. Aku memasukan satu lagi jari tengahku, sehingga membuatnya kembali berteriak. Aku menutup mulutnya dengan bibirku. Ia mencengkram kedua bahuku membuatku sedikit kesakitan tapi tak aku perdulikan. Tubuhnya terangkat dan menegang membuatnya melepas tautan kami, disaat bersamaan cairan hangat mengalir dari kewanitannya, membasahi kedua jariku yang ada di dalam sana. Aku mengeluarkan kedua jariku dan membuatnya terpekik pelan. Aku pun tersenyum dan menjilat cairannya di tanganku.

"Ini belum selesai, Chika," ujarku. Aku pun turun dari ranjang melepaskan celana kainku beserta boxerku. Juniorku yang sudah menegang berdiri dengan bangganya dan membuat kedua mata Chika sedikit terbelalak.

Aku kembali menaiki ranjang, melepas celana dalamnya dan merangkak di atas tubuhnya. Ia menatap lekat mataku dan menelan ludahnya saat aku mataku sudah ada tepat di depannya. Aku mengelus wajahnya sampai dagu. Aku mencium singkat bibirnya. Aku memiringkan kepalanya dan mencium lehernya, telinganya dan mengigit pelan daun telinganya yang mungil.

"Ini akan sedikit sakit. Apa kamu siap?" bisikku di depan telinganya. Kepalanya bergerak kembali untuk menatapku, matanya mulai berkedip sedikit cepat. Seakan penuh pertimbangan, ia pun menganggukan kepala dengan rona merah yang mulai muncul di wajahnya. Aku mengusap rambutnya dan mencium dahinya. Aku memosisikan diriku di antara kakinya. Aku membungkukkan tubuhku kepadanya, tangannya meraih pungunggku dan memeluknya sehingga aku bisa merasakan napasnya di telingaku.

"Lakukanlah dan jangan berhenti." Seperti sebuah mantra, Aku pun mengarahkan kejantananku pada diniding kewanitannya, dengan perlahan aku masuk ke dalam. Belum sampai setengah ia memekik kembali dan merangkulku lebih erat. Aku diam di tempatku memberinya waktu untuk terbiasa. Saat pelukannya melonggar aku memasukan sisanya dengan cepat masuk ke bagian terdalam dirinya.

"Aaaahhh... " Chika berteriak dengan keras. Tubuhya mulai terangkat kembali. Aku merengkuhnya dan mencium bibirnya. Secara pelan aku menggerakan tubuhku naik turun, membiarkannya sedikit terbiasadan teriakannya berubah menjadi desahan dalam ciumanku.

"Shit! Chika, kamu begitu rapat," ucapku saat aku mengeluarkan milikku darinya dengan kesusahan. Chika terengah-engah membuat dadanya naik turun dan terlihat begitu menggairahkan. Aku mencangkup kedua dadanya dan memijat nya disaat aku memasukkan milikku kembali ke dalam kewanitannya. Ia berteriak kembali dan tubuhnya menegang. Cairan kewanitannya keluar kembali membasahi milikku yang masih di dalamnya.

Dia orgasme. Dua kali. Tanpa mengeluarkan milikku, aku bergerak kembali naik turun menghujamnya secara perlahan. Chika memejamkan matanya kembali, mengulurkan tangannya ke wajahku dan mendekatkannya ke wajahnya. Kali ini ia menciumku dengan dalam dan panas.

"Sedikit lagi, sayang," bisikku di depan mulutnya. Aku memepercepat gerakanku karena sedikit lagi aku mendekati pelepasan. Chika yang mulai terbiasa ikut menggerakan tubuhnya sehingga mempermudahkanku. Bulir keringat mulai keluar di dahiku begitu juga dengan Chika. Aku mencengkram pinggul Chika saat aku mulai dekat dan mendekatkan tubuhnya kepadaku.

"Chikaaa!!" geramku saat aku melakukan pelapasan di dalam sana dan membiarkan spermaku masuk ke dalam dirinya bercampur dengan cairannya yang kembali keluar. Aku pun menjatuhkan tubuhku di samping tubuh Chika yang sudah berbaring lemas. Aku meraih kepalanya mendekat padaku dan menciumnya.

"I love you, Chika." Aku mendekap tubuhnya dan membaliknya sehingga saat ini ia berbaring di atasku dengan menciumi kembali bibir manisnya. Secara samar, aku bisa merasakan senyuman di bibirnya .

Dor ... Dor... Suara kembang api tahun baru mulai terdengar, membuat kami berdua mendongak ke arah jendela dengan tirai terbuka menampakan kehindahan langit gelap yang menjadi berwarna. Aku menggulingkan tubuhnya di sampingku, melepaskan milikku yang masih di sana dan membuatnya terpekik pelan. Aku menyingkirkan helaian rambut di wajahnya dan tersenyum melihat wajah cantiknya yang tersinari cahaya kembang api.

"Selamat tahun baru, Chika!"

"Selamat tahun baru," jawabnya dengan senyum mengembang. Ia pun mendekatkan tubuhnya ke dadaku dan mulai tertidur dalam dekapanku begitu juga denganku yang menikmati hembusan napasnya yang teratur.

Panggilan alam yang begitu mendesak, membuatku terbangun dari tidurku yang hanya beberapa jam. Aku melirik jam yang ada di nakas, jarum jam menunjukkan pukul dua pagi. Aku baru tertidur dua jam. Sudah di ujung, Aku loncat dari ranjang dan dengan cepat menyelesaikan urusanku agar bisa kembali kepada Chikaku. Ketika aku kembali, Chika sudah membalikkan tubuhnya ke arah lain ranjang. Aku naik di atas ranjang, mendekati tubuhnya kembali. Aku meraba lembut punggung belakangnya, mencium pundaknya dan membuat pundaknya sedikit terangkat. Chika membalikan tubuhnya dan menghadapku kembali masih dengan mata terpejam. Cantik. Chika ku sangat cantik. Aku mencium bibirnya, tanganku menyusuri tubuhnya dan meremas pelan pantatnya yang padat.

Dor ... Dor ... suara kembang api terdengar kembali, tapi kali ini terasa begitu kencang. Aku melihat ke arah jendela, sebuah kembang api tampak begitu jelas dan besar, seakan kembang api terpasang di tempatku.

"Shit!" makiku saat menyadari apa yang terjadi, "bocah tengik itu," aku turun dari ranjang, berjalan ke arah walk-in closet untuk mengambil celana training dan kaos berwarna biru senada.

"Ada apa? Apa acara tahun baru belum selesai?" tanya Chika yang ikut terbangun. Ia duduk di atas ranjang dengan mengusap matanya tanpa menutup badan polosnya. Kurasa dia lupa. Aku naik ke atas ranjang dan mencium dahinya.

"Tunggu disini, jangan kemana-mana," ucapku. Aku langsung melesat keluar kamar dan berjalan ke arah tangga. Aku mengintip balkoni di lantai bawah sejenak, tapi pintu geser kacanya masih tertutup rapat. Kaki pun memutar ke arah balkoni atas. Seperti yang kuduga kedua bocah tengik itu sedang sibuk memegangi kembang api panjang yang melesat tinggi ke langit.

"ALICE! APA YANG KAMU LAKUKAN?"

"Ah, Sial!" ucap Alice saat mendapatiku berdiri di ambang pintu balkon. Dengan cepat ia mencelupkan kembang api yang ada di tangannya ke dalam ember air di dekat kakinya. Ia menyikut teman laki-lakinya yang bisa kutebak adalah Ekky. Ekky melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan Alice saat mendapatiku memandang mereka berdua dengan geram.

"Selamat tahun baru, kak Leo." Ekky memasang wajah tak bersalah dan tersenyum ke padaku.

"Tumben kakak ada di sini saat tahun baru? Kakak tidak ikut pesta tahun baru seperti kak Dimas?" Alice menghampiriku dan bergelayut di lenganku sambil mengayunkannya manja.

"Aku tanya, apa yang kalian lakukan disini?" tanyaku lagi dengan memberi tatapan tajam ke arahnya.

"Tentu saja menyalakan kembang api. Ini Tahun baru?!"

"Jam dua pagi?" tanyaku sambil menaikan sebelah alisku yang tidak percaya sama sekali dengan ucapannya.

"Oh, Ayolah ... Kakak sudah tahu pasti alasanku berada disini. Ini sudah menjadi tradisi kami berdua."

"Hah..." aku mendesah pelan, "kenapa kalian harus melakukannya di tempatku? Dan bagaimana kalian masuk kesini? Apa kalian mencuri kunci dari Rekka?"

"Enak saja. Kita tidak mencuri. Kak Rekka sendiri yang meminjamkannya dengan senang hati, ia bilang kita harus menemani kakak jangan sampai sendirian." Alice meletakan kedua tangannya pada pinggulnya dengan memajukan bibirnya, "kita harus menyalakannya di tempat kakak, karena kakak tempat kakak sangat strategis."

"Semua baik-baik saja?" Aku membalikan badanku ke sumber suara dan mendapati Chika dengan menggenakan kemaja yang semalam aku buang di lantai begitu saja, jalan mendekat secara perlahan dan berpegangan pada dinding.

"Semua terkendali, kembalilah." Aku berdiri tepat di depan Chika dengan membelakangi Alice agar ia tidak melihatnya. Namun, Alice yang tanggap langsung muncul di belakangku dan melihat Chika yang ada di depanku.

"Siapa? Kekasih kak Leo?" tanyanya kepada Chika. Ia mendorong tubuhku kesamping agar ia bisa dapat melihat sosok Chika ku dengan jelas. Ia menatapku dan menatap Chika bergantian. Tangannya bertepuk seakan menyadari sesuatu, "jadi kalian ... berarti kita menganggu."

"Kedatanganmu ke tempat ini saja sudah cukup mengangguku." Aku menatap kesal kepada Alice yang saat ini berdiri di hadapanku.

"Tapi tumben sekali kakak membawa wanita kesini? Bukankah kakak paling anti membawa orang asing ke tempat ini?" Alice memandangku penuh penasara.

"Dia orang yang spesial." Aku menjawab dengan menatap langsung manik mata Chika di hadapanku.

"Jadi siapa nama kakak cantik ini?" Ekky berdiri di samping Chika dan mengulurkan tangannya di depan Chika. Tidak suka, aku meraih tangannya terlebih dahulu dan meremasnya dengan erat.

"Chika! Kalian cepat kembali pulang. Kita mau kembali tidur." Aku melepas genggamanku saat Ekky merintih kesakitan. Alice dengan sigap meraih tangan Ekky dan mengelus lembut tangannya yang kesakitan. Chika meraih lenganku dan mendekatkan tubuhnya kepadaku yang berada di sampingnya saat ini.

"Sudah pagi, kenapa kalian mau tidur lagi?" tanya Alice setelah memastikan tangan Ekky baik-baik saja.

"Ini jam dua pagi, Alice. Jam Dua, waktunya tidur."

"Ini tahun baru, hari baru, apa kalian tidak ingin melihat matahari terbit pertama kali tahun ini?" usul Alice.

"Tentu saja tidak. Kita-"

"Matahari terbit?" ucap Chika yang memotong kalimatku. Aku menatapnya yang saat ini menatapku memohon, usul Alice sepertinya berhasil memenuhi pikirannya.

"Kamu ingin melihat matahari terbit?" tanyaku padanya yang di balas dengan anggukan pelan.

Plok ... Ekky menepuk telapak tangannya sehingga semua mata tertuju padanya, "rencana sudah di tentukan. Mari kita melihat matahari terbit."

"Yey!!" Alice berteriak dengan riang.

"Kakak cantik segera ganti baju yang hangat, sebentar lagi kita lepas landas," canda Ekky yang berhasil membuat wajah Chika merona. Aku tidak menyukainya.

"Jangan mengambil keputusan seenaknya," grutuku.

"Sudah. Kalian berdua cepat ganti baju, kita harus cepat berangkat keburu matahari terbit karena perdebatan tak jelas."Alice mendorong tubuhku, "biar aku menyiapkan cemilan di dapur."

"JANGAN!" Aku dan Ekky berteriak bersamaan. Kita berdua tahu pasti betapa buruknya Alice saat di dapur, sama seperti Chika ku.

"Biar aku saja." Ekky menawarkan diri, aku pun mengangguk karena tahu ia ahli membuat makanan, "kamu lebih baik merapikan sisa kembang api di sana," lanjutnya sambil menunjuk ke arah ember air dan bungkus kembang api yang berserakan di balkon.

Ekky segera turun ke arah dapur sebelum mendengar bantahan Alice, begitu juga denganku yang menuntun Chika untuk kembali ke kamar berganti baju. Meski rencanaku untuk menghabiskan waktu berdua dengan Chika gagal, tapi setidaknya aku bisa melihat semangatnya yang sudah lama tidak aku lihat hanya untuk melihat matahari terbit. Kali ini aku akan mengalah demi melihat senyum bahagia dari wajahnya.

Aku memperlambat mobilku ketika mendekati pintu masuk pelabuhan muara baru, dimana sudah banyak nelayan yang tampak keluar masuk membawa ikan. Aku mengikuti mobil Ekky yang ada di depan dan berhenti tepat di pinggir jalanan mengikuti mobil lain yang terparkir disana. Aku dan Chika turun dari mobil saat melihat mereka berdua turun.

"Ngapain kita ke sini?" tanyaku sambil menutup hidung karena bau amis ikan, secara tempat ini terkenal dengan pasar ikannya.

"Melihat matahari terbit. Ini tempat paling strategis untuk berburu matahari terbit," jawab Ekky dengan bangga.

"Kenapa harus kesini? Ini pasar, ancol juga bisa lihat matahari terbit."

"Ck ... ck ... Ancol itu udah mainstream, terlalu banyak orang. Gak seru." Alice berdecak kesal, "Ayo kak kita kesana." Alice pun menarik Chika bersamanya untuk turun di dermaga dan duduk di bebatuan yang sudah ada beberapa orang duduk disana dengan alat pancing.

Aku hanya bisa mendesah pendek melihat kedua perempuan di depannku yang dengan riang mendekat ke pantai. Aku pun membantu Ekky membawa makanan yang ia siapkan tadi, dengan terpaksa, karena Ekky dengan seenaknya menyerahkan padaku, sama seperti Alice.

"Kalian benar-benar pasangan serasi. Sama-sama menyebalkan," grutuku yang berjalan di sampingnya.

"Siapa? Aku dan Alice?" tanyanya. Aku hanya menaikan kedua bahuku.

"Kita tidak berpacaran. Kita murni berteman." Ekky menjawab dengan mantap dang berlari kecil menghampiri kedua perempuan yang sudah duduk dengan posisi nyaman mereka.

"Bullshit, tidak ada pertemanan murni antara lelaki dan perempuan," bisikku. Aku berjalan menghampiri wanitaku dan duduk disampingnya. Chika menoleh ke arahku saat aku menaruh lenganku pada bahunya.

"Kamu tidak dingin?" tanyaku khawatir kepada Chika, karena angin berhembus lumayan dingin pagi ini. Chika menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kepadaku, senyuman yang selalu membuatku bergairah. Aku pun mendekatkan wajahku padanya dan melumat bibir manisnya yang tidak pernah membuatku bosan.

"Jangan menyebar kemesuman di tempat umum!" grutu Alice berhasil membuat Chika mendorong tubuhku agak menjauh darinya. Aku hanya bisa mendengus kesal menatap Alice yang melotot kepadaku.

"Omong-omong, kak Leo belum mengenalkan kakak ini secara resmi kepada kita." Ekky memberi tatapan penuh harap, karena tadi dengan jelas aku menghalanginya saat hendak memperkenalkan dirinya kepada Chika. Aku pun mendesah pendek.

"Chika, kenalkan ini Alice sepupu perempuan paling menyebalkan dan pasangannya Ekky. Kalian kenalkan ini Chika." Aku memperkenalkannya dengan singkat dan cepat.

"Kita bukan pasangan!" Alice dan Ekky menyahut bersamaan. Aku dan Chika yang mendengarnya pun mulai tertawa akan kekompakan mereka.

"Kartika. Namaku Kartika," ucap Chika membetulkan namanya sambil mengulurkan tangan kepada Alice. Alice menyambut uluran tangannya dan membalas dengan senyumannya.

"Alice. Satu-satunya sepupu perempuan dari lelaki mesum di samping kakak yang paling peduli padanya." Aku hanya bisa mendesis mendengar perkenalan dirinya dengan menjelekkanku. Chika mulai tertawa kecil mendengarnya. Aku menarik tubuhnya kepadaku sehingga aku bisa melihat iris mata hitamnya.

"Kamu senang sekali jika ia menjelekanku?" tanyaku yang mencium kembali bibirnya.

Pltak... Alice memukul keras lenganku yang melingar di bahu Chika yang duduk di sampingnya, "sudah dibilang jangan berbuat mesum di tempat umum," omelnya sambil melotot ke arahku. Aku menatap balik dirinya dengan tatapan marahku yang biasanya berfungsi kepada orang lain tapi tidak dengannya.

"Sejam lagi matahari akan terbit." Ekky memperingati sambil melihat jam tangannya. Ia membuka kotak berisi makanan yang ia buat tadi dan mengambil roti tawar dengan selai stroberi, "kak Kartika mau?" tawarnya sambil menyodorkan roti itu kepada Chika. Sebelum Chika mengambilnya, aku mengambil terlebih dahulu roti itu dari tangannya dan memakannya.

"Kak Leo, nyebelin banget. Kak Kartika kan mau ambil rotinya." Alice mulai mengomel saat melihat tangan Chika yang hendak mengambil roti itu tadi.

"Kamu mau?" tanyaku kepada Chika. Tanpa menunggu jawabannya, Aku mengambil kotak yang di pegang Ekky dan menyerahkannya kepada Chika, "makanlah. Roti isi stroberi kesukaanmu."

"Akkh ... kak Leo menjijikan!" Alice berteriak geli saat aku menyerahkan kotak itu kepada Chika.

"Alice, diam!" perintahku padanya. Alice mendesis kesal dan mengambil dua potong roti dari kotak yang di pegang Chika. Ia memakan satunya dan memberikan kepada Ekky sisanya. Aku hanya melotot akan kelakuannya dan mendapat juluran lidah darinya.

Bocah satu ini selalu mencari gara-gara denganku, mau dia kecil atau sudah besar selalu menyebalkan. Aku hanya bisa mendesah pelan melihat kelakuannya yang berhasil memancingku. Ini semua mungkin salahku juga, karena dulu aku terlalu memanjakannya saat kecil. Mau bagaimana lagi, dia satu-satunya perempuan yang lahir di keluarga Kandou setelah tante Rima.

Sambil menunggu matahari terbit, kami bercakap-cakap ringan. Mungkin lebih tepatnya Alice mengintrogasiku dan Chika, karena selama ini ia tidak pernah melihatku membawa wanita menginap di tempat pribadiku ataupun mengajak wanita lain pergi bersama seperti ini, yang ia sebut kencan. Aku hanya bisa tertawa mendengar perkatannya, apa semua perempuan remaja mengidamkan kencan? Bahkan dulu Chika pernah memaksaku kencan denganya di pasar malam. Jika ini di sebut kencan, berarti saat ini aku mengajak Chika berkencan di pasar ikan. Sepertinya aku tidak bisa jauh dari yang namanya pasar. Aku hanya bisa tertawa geli memikirkannya.

Beberapa menit kemudian, matahari pertama tahun ini pun terbit dengan indah. Kami berempat memandang dengan takjub keindahannya yang muncul perlahan di atas lautan. Chika memeluk tubuhku erat, begitu juga denganku yang tidak ingin melepaskannya dariku. Hari ini adalah hari terindah dalam hidupku yang aku lewati bersama Chika.

Pagi ini, Aku membuka berkas-berkas yang sudah menanti di atas meja kerjaku. Berkas perencanaan yang selalu menyapa dengan bahagia setelah libur tahun baru. Aku hanya bisa mendesah membuka sekilas dan segera menutupnya saat mendapatkan inti perencanaan setiap devisi di awal tahun. Rekka yang sudah kembali dari liburannya masuk kedalam ruanganku dan menyerahkan satu berkas baru. Dengan malas aku menerimanya dan mulai membacanya dengan seksama.

"Bagaimana liburanmu?" tanyaku basa basi masih membaca berkas di depanku.

"Seperti itulah. Bagaimana denganmu? Aku dengar kamu pergi ke pesta yang diadakan Reno dan pergi begitu saja saat acara belum dimulai."

"Wow ... kamu benar-benar asistenku yang paling hebat. Bahkan kamu mengetahui hal-hal yang tidak seharusnya kamu ketahui. Sebagai informasi tambahan, liburanku FABULOUS." Aku memberikan seringaianku.

"Bagaimana aku tidak tahu, jika mereka mengganguku karena kamu menghilang begitu saja bahkan bang Fajri tidak bisa mengontakmu setelah kamu memarahinya." Rekka menatapku datar seakan kesal karena ada yang menggangu liburannya. Aku hanya tersenyum tak peduli sambil menutup berkas yang sudah selesai aku baca.

"Aku tidak menghilang. Aku ada di penthouse menikmati kembang api tahun baru dari kamarku," ucapku sambil mengingat kegiatanku bersama Chika malam itu.

"Mana Kartika? Aku tidak melihatnya dari tadi." Rekka melirik ke arah meja kerja Chika yang kosong melalui jendela buram di ruanganku.

"Aku memberinya izin sakit beberapa hari, dia tidak enak badan"

"Dia benar-benar sakit atau kamu membuatnya sakit?" tanya Rekka penuh curiga.

"Tenang saja. Aku tidak menyakitinya. Aku hanya membuatnya tidak bisa berdiri sementara." Aku mengembangkan senyumanku sambil mengingat kembali kejadian setelah melihat matahari terbit.

Setelah para bocah tengik pergi, aku melakukannya lagi, lagi dan lagi bersama Chika. Tubuhnya membuatku kecanduan dan tidak ingin melepasnya. Bahkan tadi pagi aku sempat bercinta dengannya dan memberikan banyak tanda di tubuhnya yang selalu terasa manis.

"Lebih baik kamu hentikan senyumanmu, nanti jika ada yang masuk, mereka akan lari ketakutan saat melihatnya." Rekka memutar matanya kepadaku.

"Omong-omong, siapa penanggung jawab acara Valentine tahun ini di perusahaan?" tanyaku mencoba mengalihkan pikiranku sendiri dari tubuh Chika yang begitu membekas. Acara Valentine adalah serangkain acara wajib yang selalu di adakan perusahan sebagi apresiasi kerja karyawan. Entah, siapa yang mengagas acara tersebut awalnya, dia pasti seorang dewa cinta yang dengan pintarnya menghamburkan uang perusahaan yang berlebih.

"Kenapa?"

"Aku ingin meminta sedikit waktu saat di panggung nanti. Aku ingin memperkenalkan Chika kepada semua orang."

"Memperkenalkannya sebagai siapa? Istrimu? Apa kamu gila? Bagaimana tanggapan semua orang jika kamu tiba-tiba mengenalkannya sebagai istrimu begitu saja."

"Aku tidak bodoh Rekka. Aku ingin memperkenalkannya dulu sebagai tunanganku, meski secara hukum dia sudah sah istriku. Aku tidak bisa begitu saja menurunkan harga sahamku karena berita mengejutkan seperti itu. aku ingin memberi berita ringan dulu, membuat mereka menerima Chika. Lalu berikutnya aku mengadakan acara pernikahanku secara mewah." Aku tersenyum kembali membayangkan sebuah pernikahan, diriku dan Chika di hadapan semua orang terutama tante Rima.

"Bagaimana dengan Jessica Windler?"

"Kenapa dengannya?"

"Bukankah dia dijodohkan denganmu."

"Aku sudah menolak perjodohan itu, jadi ini tidak ada hubungannya dengan si gendut Jessica." Aku menggunakan nama aslinya, Jessica, kali ini. Karena kemarin Chika memberitahuku bahwa dia tidak suka jika aku memanggil wanita lain dengan sebutan Chika sama dengannya. Ia juga tidak suka saat aku memanggilnya Kartika, ia merasa diriku seperti orang lain baginya, membuatnya takut.

"Tenang saja, sayang. Kamu satu-satunya Chika dalam hidupku, aku tidak akan menyebut wanita lain Chika dan aku tidak akan memanggilmu Kartika seperti waktu itu."

Senyuman kembali mengembang diwajahku saat mengingat kembali janjiku kepada Chika dan mendapat ciuman lembut dari bibir manisnya. Seakan ia menyegel janjiku dengan bibirnya.

"Dua minggu lagi aku akan mengambil cuti," ujarku tiba-tiba saat Rekka membereskan berkas yang sudah aku baca di meja kerjaku.

"Memang mau kemana?"

"Sudah jelas bukan. Aku akan mengajak Chika berbulan madu."

'Ya. Aku akan membawanya ke tempat spesial dan mengganti waktuku yang hilang bersama dengannya.'